12 -- Bukan Aku Tapi Dia

30.9K 1.5K 100
                                    

Halloo.. balik lagi nih..

Vote dulu ya sebelum baca dan jangan lupa comment hehe

Ohiya.. sesuai permintaan dan saran dari naadiaa368 itu di mulmed ada foto-foto cast para pemain yaa, jadi kalo ada yang mau gigit atau garuk-garuk muka mereka bisa kok haha

Enjoy, happy reading :*:*

====*****====

Rayhan POV

“Hallo… Mas Rayhan, besok kerumah ku beserta orangtua mu juga ya, aku ingin langsung lamaran.”

Aku hampir saja menyemburkan air putih yang sedang ku minum, langsung lamaran dia bilang? Apa gadisku ini tidak salah bicara? Apa mungkin saat ini ia sedang mengigau mengingat ini sudah masuk jam tidur nya?

“Maksudmu?” tanyaku.

“Besok kerumah aku ajak Ayah sama Bunda juga, Mas. Langsung lamaran saja,” jawabnya.

Benar-benar aku memang tidak salah dengar, ia memintaku untuk melamarnya. Padahal baru tadi kita menjadi sepasang kekasih, tetapi ia ingin aku langsung melamarnya. Dia bahkan belum lulus sekolah, bagaimana mungkin kami bisa menikah? Ah, bisa saja ini hanya lamaran, pernikahan ‘kan bisa dilaksanakan kapan saja. Lagipula ia juga tak perlu susah-susah bekerja setelah lulus nanti, aku lebih dari mampu bila harus menafkahinya.

“Dengan senang hati. Aku akan memberitahu orangtua ku dan menyuruh mereka terbang ke Jakarta besok pagi,” ujarku.

“Oke, aku tunggu besok malam ya, Mas,” katanya sebelum hendak mematikan sambungan.

“Eza, tunggu.. apa kamu yakin? Apa kamu sudah siap?” tanyaku.

“InsyaAllah yakin. Bismillah siap,” jawabnya mantap.

Aku menghela napas lega mendengarnya, mendengar kemantapan jawabannya membuatku ikut yakin. Dan aku juga yakin kalau saat ini ia dalam keadaan 100% sadar.

“Baiklah, kita hadapi hari esok bersama. I love you,” ujarku.

“I love you too. Aku tutup ya, Mas. Good night,” ucapnya sebelum memutuskan sambungan.

Aku sangat bahagia. Masih tak bisa menyangka kalau pengungkapan cintaku tadi memberikan efek begitu besar bagi Eza. Ia bahkan segera bersedia aku lamar.

Sebentar lagi Eza akan menjadi milikku seutuhnya, meskipun sebelum itu kami harus melewati jalan yang tidak akan mudah. Namun bila untuk bersamanya, apapun akan kulalui.

Segera ku nyalakan kembali ponselku untuk mendial nomor Bunda. Tak kupedulikan pukul berapa sekarang, yang pasti aku segera ingin memberitahu kabar gembira ini.

“Assalamualaikum, kenapa Ray jam segini telpon?” tanya Bunda dengan suara serak.

“Waalaikumsalam, maaf Bun aku ganggu tidurnya,” jawabku merasa bersalah.

“Iya nggak apa-apa. Ada apa, Ray?” tanya Bunda lagi.

“Bun, aku mau memberi kabar,” jawabku.

“Kabar apa?”

“Besok Bunda dan Ayah bisa ke Jakarta?”

“Memang ada apa? Perusahaan butuh bantuan Ayah lagi?”

“Bukan masalah perusahaan, Bun.”

“Lalu?” tanyanya bingung.

“Besok kita datang kerumah keluarga Om Harris, Bun,” jawabku.

Our HopeWhere stories live. Discover now