Sepucuk Surat dan Awal Perkenalan

301 25 19
                                    

Braakkk

Tara melompat dan segera melempar stang sepeda yang ia kendarai. Langkahnya tidak sabar segera memasuki rumah yang berdiri asri dengan bebungaan yang hari itu luput Tara sapa.

"Ya ampun, Mbak, mbok ya alus gitu lho. Kalau Ibuk jantungan gimana?" Suara seorang perempuan paruh baya yang Tara temui pertama kali di dalam rumah menghentikan langkah kakinya yang terburu.

"Hehe, maaf, Buk. Surat buat Tara sudah sampai kan? Ibu simpan di mana?" Tara langsung menghampiri ibunya dan menyalami beliau.

"Ibu kurang tahu, Ibu juga baru pulang kok ini. Mungkin disimpan sama Mak Jum, coba kamu tanya sana."

"Oke, Buk. Tara ke belakang dulu ya!" Tara segera berlalu ke ruang bagian belakang rumah untuk mencari Mak Jum dan menanyakan tentang surat miliknya.

Tepat hari ini seharusnya surat untuk Tara sudah sampai di rumahnya. Surat yang selalu Tara nantikan, seperti halnya tahun-tahun sebelumnya.

**********

Tara memasuki kamarnya sambil mendekap paket yang ukurannya lebih besar dari kotak sepatu di dadanya serta ransel yang masih menggelayuti sebelah tangannya. Di benaknya, ia tengah menebak-nebak apa isi paket tersebut karena tak biasanya Willy mengirim paket. Selama lima tahun terakhir, mereka hanya saling menjajikan untuk berkirim surat tepat di tanggal 25 April. Sebuah tradisi aneh yang Tara minta sebenarnya, mengingat tanpa surat pun mereka sudah sering berkomunikasi melalui surat elektronik atau terkadang panggilan video. Tapi obsesi masa kecil Tara untuk punya sahabat pena mau tak mau membuat Willy menurutinya.

"Kenapa harus surat sih Ra? Bikin ribet aja. Sekarang sudah jaman email tau gag sih!"

Begitulah kira-kira protes Willy saat pertama kali Tara memintanya untuk mengirim surat setiap tahun. Namun jelas protes itu harus kalah dengan tabokan keras ala Tara di lengan Willy yang disertai omelan panjang lebar Tara. "Apa susahnya sih, Wil? Aku tuh selalu pingin punya sahabat pena dari kecil tapi engga kesampaian. Sekarang mumpung ada kamu, sahabat aku yang mau pergi jauh, jadi yah kan klop. Plus nanti kalau kamu kirimin aku surat, aku bisa dapet perangko luar negeri! Oke Willy, pokoknya aku tunggu. Awas aja yah kalau sampai engga ada surat. Aku jamin aku bakal sebar foto-foto lama kamu biar gak ada yang mau sama kamu!"

Tara segera menjatuhkan diri ke ranjangnya dan melepas ranselnya sebelum kembali menimang paket tersebut. Ada sebersit buncah yang serta merta mendebarkan hatinya dan memahat senyum di bibirnya. Tara bahkan harus memegangi dada dan lalu menangkup pipinya yang menghangat dengan kedua tangan. Sebenarnya, bagi Tara, tidak penting apa isi paket itu, toh selama ini dia sudah cukup bahagia dengan kesediaan Willy menjadi sahabat penanya, mewujudkan keinginan masa kecil Tara. Dan jika sekarang surat itu datang bersama sebuah kado, apapun itu, maka Tara akan bahagia menerimanya dan menghargai pemberian itu, terlebih ini dari Willy.

Tara segera meraih cutter yang ada di meja belajarnya dan mulai membuka paket itu. Pelan-pelan ia membuka kotak kado di depannya. Mata Tara langsung tertambat pada kain merah yang nampak tebal dan hangat di dalam kotak tersebut, serta sebuah surat yang terlipat di atasnya. Tara meraih surat itu dan segera membuka lipatannya. Isinya tidak panjang.

'Hai Bumantara Rekta, sahabat pena jadi-jadian'

Tara berdecak membaca kalimat pertama Willy. Willy terkadang memang masih suka mengolok Tara karena obsesi itu, terlebih saat dia sedang malas menulis surat.

'Musim dingin tahun ini kegiatanku sebenarnya sudah nggak terlalu sibuk,
jadi aku sempetin belajar hal baru, dan taraaaaaaaaa....
Ini kreasi aku sendiri loh, dan aku yakin kamu gag akan bisa bikin,
kamu kan bukan cewek hahaha :P

Tara & Willy | {IND}Where stories live. Discover now