Kamu yang Kumau

179 19 25
                                    

.

Halo, aku kembali bersama Mbak Tara dan Koko Willy.

Yuk langsung saja...

Ps. maafkan jika banyak typo

______________________________________

Sania berulang kali melirik ke arah Tara tiap kali adik ipar sekaligus juniornya di klub voli sejak masih SMA itu menghembuskan napas berat. Tubuh Tara memang sedang barbaring dan bermain bersama Raya, keponakannya, tapi Sania tahu pikiran gadis itu sedang melayang jauh.

"Lagi mikirin apa sih, Ra, kok kayaknya berat banget?" ujar Sania sembari terus melipat baju putri kecilnya di ujung kaki ranjang. Dia sangat penasaran, tapi tidak mau terlalu kentara dan memaksa Tara bercerita.

Tara mendudukkan dirinya di atas kasur dan bersila, "Kentara banget ya Mbak?"

Sania menatap balik Tara, ia mengangguk. "Banget. Kayak agi mikirin jodoh yang gak dateng-dateng." Sania terkekeh sendiri dengan kalimat godaannya. Sedang muka Tara justru mulai memerah. Ada selapis air mata yang membuat matanya berkaca-kaca.

Sania menangkap gelagat Tara itu, otomatis ia segera teringat sebuah nama. Sania segera membereskan pekerjaan melipat bajunya dan memasukkan ke lemari Raya sebelum kembali untuk duduk di ranjang. Sania lalu meraih Raya yang mulai mencari-cari sumber makanannya.

"Masih soal Willy?" tanya Sania hati-hati.

Tara mengangguk sembari kembali merebahkan dirinya, wajahnya menunjukkan kerinduan sekaligus kelelahan. "Rasanya aku jadi orang paling bodoh gak sih, Mbak? Aku Cuma nungguin dia, cuma mau dia, tapi juga gak pernah berani bilang ke dia. Aku terlalu pengecut untuk bilang duluan. Tapi lebih dari itu, dia juga gak pernah kasih sinyal yang sama buat aku kan?"

Sania turut menghembuskan napas bersama Tara. Ia tahu pasti bahwa Tara, adik iparnya itu, telah memendam perasaan kepada William sejak lama. Mereka bersahabat sejak keduanya masih sekolah dasar. Mereka hampir selalu bersama hingga saat sekolah menengah atas. Dan sepanjang kebersamaan itulah perlahan-lahan perasaan Tara ke Willy telah berkembang dari perasaan sayang seorang sahabat menjadi perasaan sayang seorang kekasih hingga saat ini. Bahkan Sania tahu meski pun Willy telah lama pergi ke luar negeri dan beberapa kali menjalin hubungan dengan perempuan-perempuan lain bahkan sejak ia masih di Indonesia, perasaan Tara masih tidak bergeser. Di sisi lain, Tara justru perlahan menutup hatinya dari beberapa orang taman laki-laki yang ingin mulai mendekatinya untuk tujuan menjadi lebih dari teman.

"Terus kamu maunya gimana, Ra? Kamu juga ngerasain Willy punya rasa yang sama gak ke kamu?" Sania meletakkan Raya kembali ke kasur, di samping Tara sebelum melanjutkan ucapannya. "Apa kamu gak ngerasa buang-buang waktu unuk nungguin dia kalau dia gak punya rasa yang sama ke kamu?"

Tara menghembuskan napas berat beberapa kali sebelum mulai bicara, "Terkadang aku juga mikir gitu, Mbak. Aku buang-buang waktu buat nungguin dia. Aku pingin mencoba buka hati buat yang lain. Tapi... tapi tiap kali aku inget dia, atau dengar suara dia atau saat kita video-call, aku tahu aku gak bisa. Aku Cuma mau dia, Mbak." Setetes air mata jatuh dari kelopak mata Tara.

Sania menyentuh bahu Tara untuk menenangkan dan memberinya kekuatan, "Tapi kamu gak bisa begini terus, Ra. Kamu gak bisa cuma menunggu dan gak ngelakuin apa-apa, ini udah bertahun-tahun, terlebih kamu juga gak yakin soal perasaan Willy yang sebenarnya ke kamu gimana. Selama ini juga Willy udah menjalin hubungan sama beberapa orang lain, kan."

Tara terdiam. Sania benar. Tara tidak bisa hanya terus diam menunggu dan mengharapkan Willy. Berbeda dengan dirinya sendiri, Willy jelas menjalani hidupnya senormal mungkin. Willy pernah beberapa kali berpacaran. Bahkan sejak mereka masih SMA, Tara tahu kisah cinta pertama Willy dan bagaimana perjalanan asmara Willy dengan pacar pertamanya saat itu. Hingga minggu lalu Willy baru bercerita ia baru saja putus dari pacarnya yang sudah dua tahun bersama. Dan jelas Tara tahu semua itu, Willy tidak pernah absen menceritakan tentang hubungan-hubungannya kepada Tara, baik secara detil maupun selintas saja hanya agar Tara tahu. Tara menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Iya, Mbak."

**********

di belahan dunia lain

Willy menjatuhkan tubuhnya di sofa di dalam flat kecilnya. Ia baru saja kembali dari shift malam dari pekerjaan paruh waktu yang dilakoninya. Willy meregangkan tubuhnya sejenak dan beranjak menuju lemari pendingin meraih botol minuman kemudian menenggaknya langsung. Ponsel Willy yang ia letakkan di atas meja bergetar.

Bitch is calling...

Willy meraih ponselnya lalu mematikannya dan melemparkannya ke arah sofa tanpa repot-repot untuk mengangkat panggilan itu. Willy tahu pasti siapa dan apa yang hendak dikatakan si penelepon, dan Willy tidak merasa perlu untuk mendengar lebih jauh. Willy justru memilih untuk segera mandi dan bergegas tidur.

Beberapa jam setelahnya Willy telah terbaring di atas tempat tidurnya, namun kantuk tak kunjung datang meski tanggal telah lama berganti. Pikirannya masih sibuk berkelana, ia mengingat sesosok nama yang amat sangat berarti bagi Willy. Bumantara Rekta, Tara, seseorang yang sangat ia rindukan. Ia sangat ingin Tara ada di situ saat itu sehingga ia bisa menjadi teman bicara terbaik buat Willy dan bisa meringankan beban pikiran yang Willy rasakan karena harus segera menyelasaikan submit tesisnya serta karena masalah asmaranya baru-baru ini

Willy menghela napas. Ingatan tentang kisah asmaranya yang kandas mau tak mau membawa kembali ingatan Willy kata-kata Adeline yang masih terngiang,

"Kamu cuma pengecut yang bahkan gak berani jujur sama perempuan yang kamu suka. Bulshiit sama kedok sahabat. Kamu cuma mau mencari sosok Tara di diri setiap pacar kamu! Kamu pengecut William!"

Willy memandang nyalang pada langit-langit kamarnya. Apa yang dikatakan Adeline memang tidak salah. Bukan Adeline yang sepenuhnya bersalah dalam kandasnya hubungan mereka, meskipun Adelinelah yang berselingkuh dengan teman Willy sendiri. Tapi justru Willy sendiri yang selama ini pengecut dan tidak benar-benar menjadikan Adeline-ataupun pacar-pacar Willy sebelumnya- yang utama dalam hatinya.

Willy selalu menyimpan nama lain di ruang paling dalam di hatinya. Sebuah nama dari seseorang yang paling berarti bagi Willy, bahkan sejak ia masih bocah ingusan dan belum puber. Willy hanya menyimpan nama itu tanpa benar-benar berani mengungkapkan perasaannya secara jujur pada si pemilik nama. Ada rasa takut dan ketidaksiapan jika nyatanya Tara tidak memiliki rasa yang sama seperti yang ia rasakan. Ia takut bahwa semua perhatian, rasa sayang, dan kebaikan Tara selama ini lantaran Tara hanya menganggapnya teman, sahabat, tidak lebih.

Selama bertahun-tahun, bahkan sejak mereka masih sekolah menengah, Willy menerima saja jika ada gedis yang mendekatinya dan memintanya untuk menjadi pacar. Willy pun tidak pernah melihat Tara menunjukkan tanda-tanda cemburu seperti seorang kekasih. Tara memang pernah beberapa kali marah dan ngambek pada, tapi lebih terlihat seperti sahabat yang kehilangan sahabatnya karena Willy mulai membagi waktu dengan pacarnya yang secara otomatis meminta perhatian Willy.

Sedang bagi Willy sendiri, ia selalu mencari sosok Tara dalam diri setiap gadis-gadis yang jadi pacarnya. Ia selalu membandingkan sifat mereka sifat ceria Tara; sikap mereka dengan sikap tomboy dan galak seperti Tara; bahkan kadang penampilan mereka, seperti yang terjadi pada Adeline. Willy mau berpacaran pada Adeline karena ciri fisik dan tinggi Adeline sama dengan Tara, bahkan saat awal-awal Adeline melakukan pendekatan pada Willy, gaya rambut Adeline mirip dengan Tara yang pada saat itu berambut bob sebahu.

Willy menghembuskan nafas dan mengusap wajahnya kasar. "Memang kamu yang kumau, Ra."

**********

______________________________________

Sedikit-sedikit saja ya, yang penting sampai akhir.

Terima kasih kepada kawan-kawan yang sudah mau mampir, membaca, dan bahkan menanti kelanjutan kisah ini. Terima kasih banyak.

Salam,
Vita

Tara & Willy | {IND}जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें