Curhat Buat Sahabat

177 20 11
                                    

Tara duduk bersila di atas kursi belajarnya, menatap lurus layar komputer yang menampilkan halaman panggilan video yang masih dalam status memuat sejak satu menit lalu.

Tara menopang dagu dengan sebelah tangannya. Saat itu hari Minggu pagi jelang siang, dan dia sudah bersiap menghabiskan waktu di depan komputernya menunggu sambungan dari orang dari belahan bumi lain.

Memang tidak biasanya Willy meminta untuk melakukan panggilan di waktu Sabtu malam dalam zona waktu Willy, seperti yang dia minta dari lewat surat elektronik singkatnya hari Kamis lalu, yang membuat Tara terpaksa menggeser jadwal bebersihnya hari Minggu ini. Biasanya mereka akan saling berkomunikasi lewat sambungan panggilan video di waktu Minggu pagi atau malam dalam zona waktu Willy, dan itu pun tidak sering, mungkin hanya dua atau tiga bulan sekali.

"Hai,"

Sebuah suara menyapa Tara dari seberang-mengembalikan Tara dari kelana pikiran.

Tara membalas senyum Willy dengan senyum tersembunyi di balik wajah yang dia buat seolah malas, "Hai Willy Willy Wonka, tumben sih ngajak video call jam segini? Ganggu jadwal aku aja!"

Willy terkekeh di seberang sana. Ia tampak bersandar di kursinya dan menyibak rambutnya yang menutupi dahinya ke belakang. Sebuah usaha yang sia-sia karena rambut itu kembali jatuh ke tempat semula dengan sempurna, membuat Tara gemas dan sekaligus ingin menggantikan tangan Willy yang kembali melakukan pekerjaan sia-sia itu dengan tangannya sendiri.

"Yah, sekali-kali lah, Ra. Temenin malam Minggu-ku. Mumpung lagi kosong ini."

Tara mendecih.

"Keluarga apa kabar, Ra? Sehat semua?" Willy bertanya sambil meraih mug dan meminum sesuatu dari sana. Tara yakin itu adalah kopi asli yang dibawa Willy dari Indonesia, kesukaan Willy sejak dia mulai beranjak dewasa.

"Baik semua, kok. Keluargaku nambah anggota baru lhoo! Mas Seta resmi jadi ayah sekarang. Anaknya cewek, cantik banget! Mungil imut!" Tara berseru mengabarkan tentang kelahiran keponakan barunya, anak pertama Mas Seta, dengan penuh senyum dan rasa bangga serta sayang.

"Waaahh, oh ya? Selamat ya. Semoga adeknya enggak sawan punya Tante macam kamu." Willy sengaja menggoda Tara yang sedang berbinar di balik layar.

"Heh, apa maksudnya itu?" Tara menyipitkan matanya.

"Ya siapa tahu nanti anaknya Mas Seta udah kamu ajarin dribble bola atau gelut karate dari kecil. Atau kamu ajarin lari keliling desa lima kali tiap sore. Haha..."

"Enak aja!" Tara meraih mugnya di samping monitor dan minum, "Aku tante yang manis ya. Lagian kan dia anaknya Mas Seta, jadi aku gag perlu turun tangan."

Tara memandang Willy dari balik layar, lalu kemudian tertawa terbahak. Dalam benak Tara, ia teringat momen-momen Willy ikut latihan lari setiap sore bersama dia dan Mas Seta saat mereka akan menghadapi ujian olah raga. Tara ingat Willy yang napasnya sudah putus-putus tetap terpaksa mengikuti langkah Tara dan Mas Seta berlari di jalanan perbukitan yang menanjak. Kaki Willy yang sudah tidak punya tenaga akhirnya menyerah, membuat Willy jatuh berguling, menggelinding dengan tubuh tambun hingga berakhir di parit sawah. Willy yang saat itu masih kelas enam menangis tersedu dengan tubuh yang luka-luka serta baju yang kuyup. Tara tertawa mengenang hal itu.

"Raaa!" suara Willy rendah, memperingatkan Tara. Dia tahu pasti apa yang ada di benak Tara. Dan itu justru membuat Tara makin terbahak hingga harus menyeka air mata yang keluar dari sepasang matanya. Willy mengerucutkan bibirnya melihat kelakuan sahabatnya yang menertawakan masa lalunya dari balik layar.

Beberapa menit berlalu hingga akhirnya Tara bisa mengontrol dirinya.

"Udah puas ketawanya?" Willy bertanya. Nadanya terdengar kesal, tapi Tara tahu Willy tidak marah.

Tara & Willy | {IND}Where stories live. Discover now