Marwa

6.5K 656 32
                                    

Uang adalah kekuasaan. Mudah mendapatkannya bukan berarti akan menjadi budak. Marwa wanita modern yang berproses menjadi individu milenial. 

Bertemu banyak orang lebih mengenalkan karateristik personal. Paham, tapi Marwa tidak sembrono.

Kali ini, ia bertemu dan mengenal walaupun  belum mendetail seorang Garra. Laki-laki yang masih berstatus suami seorang wanita yang gagal menjadi klien.

Ayuni dilengserkan oleh suaminya dan Marwa kini menjadi kuasa hukumnya untuk memenangkan gugatan yang sedang dilayangkan istrinya.

Anak dan cinta masih menjadi alasan Garra untuk mempertahankan rumah tangga bersama wanita itu.

"Kamu bilang mereka sudah tidur bersama."

"Salah satu kecurigaan saya diantara banyak lainnya."

Marwa memainkan pulpen ditangannya. Akan mudah menyelidiki kasus jika terlebih dulu wanita itu mengenal seluk beluk kliennya. "Mediasi ulang, kamu tidak mau."

"Saya ingin memperlihatkan padanya siapa laki-laki yang setengah mati dipuja Ayuni."

"Walaupun nanti kecurigaanmu benar?"

"Akan kita lihat nanti," jawab Garra. Kini, laki-laki itu mengedarkan pandangannya. Apartemen tidak begitu mewah untuk seorang pengacara ternama seperti Marwa, namun terasa cukup nyaman.

"Kamu hanya menyediakan air mineral?"

"Saya bukan ibu rumah tangga." jadi jangan harap ada cemilan apalagi makanan pokok. Marwa hanya mampir, bukan untuk tinggal di sana. Namun siapa sangka, Garra mengikuti setelah Marwa menolak bertemu hari ini.

Kembali ke pokok masalah, Marwa menekankan satu hal kepada Garra. "Sebelum dimulai penyelidikan, mantapkan dulu hatimu." karena Marwa hanya seorang pengacara, "Saya bukan konsultan hati yang bisa memaklumi pengecualian darimu nanti."

Garra sudah berpikir dengan matang. Ayuni akan kembali padanya. Saat ini, laki-laki itu hanya butuh selingkuhan istrinya berada di tangan yang tepat.

"Kamu bukan menjalani perasaan, karena hukum tegak bukan atas dasar naluri."

Garra mengerti. "Saya akan mengikuti perintahmu. Sebagai gantinya kamu harus memenangkan kasus ini."

Selagi Marwa fokus pada ponselnya, Garra melanjutkan. "Saya mengandalkanmu. Jadi jangan kecewakan saya."

"Saya harus pergi."

"Ke mana?"

Marwa melihat tangan yang menahan gerakannya. 

"Maaf."

"Saya akan bertemu Adiwilaga."

Garra mengerjap. Secepat ini? "Dia bukan orang sembarangan."

"Bagus kalau kamu tahu."

Garra ingin melihat prosesnya, "Boleh saya ikut?"

"Jaminan rusuh, saya mundur."

Meneguk ludah, Garra membuat janji. Ia juga ingin tahu seperti apa sosok bos bernama Adiwilaga itu?

Keluar dari apartemen, Garra harus menahan lontaran tanya dalam benaknya. Mengikuti langkah Marwa bahkan laki-laki itu harus meninggalkan mobilnya.

Mengenakan kaca mata hitam dan sebuah jas yang semakin memukau penampilannya, Marwa masuk ke dalam mobil yang berhenti tidak jauh dari posisi mereka. Mata wanita itu fokus pada tablet yang diberikan oleh seorang lelaki yang duduk di depan.

"Setengah jam perjalanan. Kabarkan saya ditemani seseorang." Marwa berbicara kepada laki-laki di depan. Setelah itu Marwa mengembalikan benda tersebut.

Adalah pola yang mirip ruangan yang dilihat Garra dari layar tablet tadi. Garra tidak sadar jika seseorang telah memasukkan sesuatu dalam saku jas-nya. 

"Kemanan tidak dibutuhkan?" tanya laki-laki di depan.

"Saya datang sebagai tamu. Bukan penyidik."

Lelaki di depan itu bernama Samjack. Menghubungi lewat earphone tim yang telah dikerahkan menggunakan kode berstruktur.

Seolah akan terlibat dalam operasi militer, begitu suasana dalam mobil tersebut.

Di depan sebuah rumah megah, mobil mereka berhenti. Tepatnya jam tiga sore ketika Marwa menapak kaki di depan pintu yang telah terbuka. Kedatangannya telah ditunggu oleh beberapa laki-laki berbadan kekar berpakaian serba hitam lengkap dengan pengaman.

"Saya ada tamu. Tunggu di sini."

Marwa tidak bisa mendengar, tapi mengetahui dari gerakan bibir. Adalah Adiwilaga yang baru saja melepaskan tangan seorang wanita berhijab. Dari tempatnya bisa dinilai arti tatapan Adiwilaga untuk wanita itu.

Tanpa berjabat tangan, Adiwilaga, yang baru pertama kali bertemu setelah Marwa mencari profilnya di website, menanyakan alasan kunjungan Marwa.

"Saya Marwa Dewangga Linggar, pengacara tim Elite."

Awi, penggalan nama yang dikenal oleh banyak orang menyuruh Marwa melanjutkan. Menurut Marwa, fokus laki-laki itu tidak baik. Menyuruhnya bicara sedang mata sering mencuri pandang ke atau wanita berhijab yang duduk di ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu.

"Dia anak buah anda?"

Mengambil foto, Awi memperhatikan baik-baik wajahnya. "Saya tidak mengenalnya." kemudian Awi memanggil seorang lelaki, yang tak lain adalah stafnya.

"Mantan sopir Thexas."

"Anda dengar sendiri." menyerahkan kembali fotonya, Awi mengatakan satu hal. "Jika ada yang mengaku anak buah saya tapi melanggar hukum, hadiahkan saja kepalanya untuk keluarga."

Mata Elang Marwa menangkap tatapan datar wanita berhijab yang masih duduk di sana ke arah Adiwilaga.

"Saya dengar anda pengacara terbaik di Jerman."

Sanjungan Awi tidak disambut oleh Marwa. Wanita itu tahu jika Awi orang licik dan lihai dalam menangkap target. 

"Anda tidak menerima tip atas kemenangan kasus pembunuhan berantai keluarga Gapson?"

Marwa tertegun.

"Bagaimana dengan penggelapan narkotika? Anda membantu mereka mendapat bea cukai?"

"Saya melakukan sesuai prosedur," jawab Marwa pada tanya sinis Adiwilaga.

"Semoga anda tidak dibayangi sekarat saat leher mereka digerogoti tajamnya samurai."

Marwa datang untuk informasi, kenapa Adiwilaga menyudutkannya dengan kasus yang telah terlewat? apakah ini salah satu cara laki-laki itu mengelak untuk memberikan keterangan?

"Saya sudah selesai. Jika ada panggilan dari penyidik mohon kerjasamanya."

Awi mempersilakan, diantar oleh staf pengawal setianya.

"Tidak terlihat seperti mafia," respons pertama Garra saat mereka keluar dari perkarangan rumah Adiwilaga.

"Wakil rakyat kita juga berwibawa. Sekali dapat, bisa bangun satu perusahaan tambang."






 SAMA AKU AJA Donde viven las historias. Descúbrelo ahora