02

40 9 3
                                    

"Jadi, untuk menyelesaikan persamaan ini, mula-mula gunakan rumus ini ..."

Soraru menguap.

Suasana pelajaran terakhir terasa membosankan dengan atmosfer kelas yang diisi bunyi mesin penghangat tua di sudut langit-langit ruangan yang sebentar lagi rusak dimakan waktu. Dengan sebelah tangan menyangga dagu, Soraru mengedarkan pandang ke sekeliling.

Di balik jendela, tampak butir-butir salju yang berjatuhan. Jika salju terus turun hingga lapisannya menebal di tanah sepanjang malam, mungkin besok sekolah akan lebih cepat diliburkan.

Pandangannya bergeser sedikit, menaruh tatapannya kepada meja yang tergeletak di pojok kelas, kosong tanpa penghuninya duduk di kursinya.

Hari itu, Lon banyak meninggalkan kelas.

Kira-kira, apa saja yang dia lakukan?

Mengingat dinginnya suhu di luar, Soraru semakin tidak sabar ingin jam pelajaran berakhir. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, seolah dengan begitu, waktu akan berdetak lebih cepat.

Begitu bel pulang berdentang, Soraru buru-buru membereskan alat tulisnya ke dalam tas.

"Jangan lupa kerjakan halaman empat puluh sebagai pekerjaan rumah. Kelas hari ini selesai."

Ketua kelas memandu ucapan salam dan terima kasih kepada guru yang diikuti anak-anak lainnya. Begitu sang guru keluar, ruang kelas seketika riuh rendah. Soraru yang sudah selesai mengepak barang-barangnya segera beranjak dari tempat duduk.

"Soraru, kita mau main bisbol di tempatnya Yamada, kau mau ikut?"

Belum genap menyentuh pintu, Soraru menoleh. "Aku ada urusan. Ajak aku lain kali lagi, ya?"

Hanya dengan begitu, Soraru melambaikan tangan singkat sambil berlalu dengan langkah kaki yang buru-buru, diiringi tatapan heran kawan-kawannya yang saling sikut satu sama lain. "Kenapa dia selalu buru-buru pulang, sih?"

Soraru menemukan Lon di lapangan. Gadis itu tengah mematung di dekat gawang sepak bola. Kepalanya tengadah, membiarkan butiran salju jatuh menerpa wajah. Saat Soraru mendekatinya, dia menurunkan muka dan senyum segera terbit di bibirnya.

Senyum riang yang sama setiap kali keduanya bertemu pandang.

"Di mana syalmu?"

"Oh iya, aku lupa," katanya diikuti sebuah tawa polos.

Mau tak mau, Soraru tersenyum tipis. Lon yang lupa memakai syal di tengah salju adalah Lon yang sama yang tidak membawa payung di tengah hujan. Soraru melepas syal miliknya lalu melilitkannya di leher gadis itu, diam-diam mengagumi bagaimana sebagian wajahnya seolah tenggelam dalam kain rajutan hangat kesukaannya itu.

"Wanginya seperti Soraru-san."

Udaranya dingin, tapi mendengar kata-kata itu, sontak wajah Soraru menghangat. Dia cepat-cepat berpaling sebelum Lon menyadari semburat merah yang mungkin bakal tampak di pipinya yang pucat.

"Ayo kita minum teh hangat di rumahku, Soraru-san!" ajaknya, menarik tangan pemuda di hadapan untuk beranjak dari tempat mereka berdiri.

Soraru tidak pernah banyak bicara ketika sedang bersama Lon. Seringnya, dia menyimpan pikirannya untuk dirinya sendiri, sebab semua perhatiannya hanya akan tertuju pada gadis itu. Pada suaranya, gerak-geriknya, terkadang Soraru bertanya-tanya apa yang dia pikirkan, dan terkadang dia hanya mengaguminya dalam diam.

Selalu ada sentimen tersendiri pada setiap yang diucapkan gadis itu, bahkan dalam kata-kata yang tak terdengar berarti.

"Oh, oh! Kucing!"

Seperti bagaimana dia menunjuk segala hal di sekitarnya seperti melihat sebuah dunia baru.

Soraru ingin tahu ...

"Uwah, ini mirip Soraru-san!"

... semua tentangnya.

Lon tinggal di sebuah kawasan elit, di sebuah rumah minimalis bergaya modern. Halamannya dilengkapi kebun yang ditumbuhi bebungaan dan juga sebuah trampolin dan ayunan.

Gadis itu selalu mengajak Soraru ke kamarnya yang berada di loteng. Sebuah ruangan beratap rendah dengan satu jendela besar dan penuh oleh banyak barang yang tak biasa. Benda-benda di sana diletakkan dalam posisi yang tak menentu, membuat kamarnya terkesan berantakan.

Soraru duduk di atas bantalan besar yang empuk, memutar-mutar globe yang tergeletak di antara tumpukan buku dan palet cat warna yang telah mengering. Sedangkan Lon di belakangnya dia biarkan bersandar pada punggungnya.

"Soraru-san, apa kamu ingat saat pertama kali kamu membuat beef steak?"

Lon sudah menanyakan ini berkali-kali dan tak pernah bosan dengan jawaban yang sama. Dia selalu mendengarkan dengan sungguh-sungguh, seolah Soraru tengah menceritakan sebuah dongeng.

"Dagingnya gagal karena bagian dalamnya belum matang, jadi kupotong-potong bersama kentang dan wortel, lalu kutambahkan air dan pasta kare."

"Bagaimana hasilnya?"

"Enak. Rasanya seperti kare."

Setiap selesai mendengarnya, Lon selalu tersenyum tulus. "Syukurlah."

Duduk dalam ruangan itu membuat Soraru merasa seperti sedang menjelajahi dunia berbeda yang asing, tapi terasa nyaman. Sebuah dunia tempat Lon tinggal.

Sebelah tangan Soraru terjulur pada rak buku yang di atasnya tergeletak berbagai miniatur bangunan dan menara jam. Di antaranya, perhatian Soraru tertarik pada peti kecil yang tutupnya terbuka, memperlihatkan dua buah bola bermotif hijau abstrak. Mirip batu kelereng, tapi ukurannya sebesar setengah kepalan tangan.

"Apa ini?"

Lon menoleh, ikut menatap satu dari sepasang bola itu yang terangkat di tangan Soraru, menghasilkan bunyi gemerincing pelan. "Itu bola terapi Cina. Hadiah dari Papa."

"Oh, benar. Ayahmu pindah kerja keluar negeri, ya."

Hanya ada sebuah gumaman kecil yang keluar dari bibir Lon, sebelum gadis itu menjatuhkan diri ke bantalan empuk persis di sisi Soraru. Helai-helai pirangnya menutupi wajah, hingga Soraru tidak bisa memperhatikan binar matanya berubah sendu.

"Aku harap dia tidak pernah pulang."

[02. dunianya]

water depth [soralon]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon