1. IGNITES >>Wilona Syazalee<<

58.8K 1.3K 6
                                    


Jakarta diguyur hujan deras waktu itu. Langit gelap dan gemuruh petir terdengar di mana-mana. Wildan segera turun dari lantai dua ketika melihat ke luar jendela, mendapati mobil papanya berhenti di halaman rumah.

Anak laki-laki berusia 8 tahun itu tersenyum senang menyambut sang papa yang sudah 1 bulan dinas di luar kota.

Senyumnya pudar ketika seorang anak perempuan berjalan sedikit jauh di belakang papanya. Wajahnya nampak bingung dan tak suka dengan keberadaan gadis kecil itu.

Mamanya juga berdiri mematung tak jauh di depan Wildan. Orang tuanya saling menatap, tapi tak satupun dari mereka bersuara.

Gadis kecil itu memeluk seorang wanita yang mungkin seumuran dengan mbak Tati yang biasa mengurus segala kebutuhan Wildan.

"Bukannya pulang bawa berita baik karena proyek berhasil, kamu malah bawa anak orang?" tanya Gita, menyindir.

Wira menghela nafas dalam, lalu menoleh ke belakang, menatap gadis kecil itu yang sepertinya kedinginan.

"Tati...," panggil Wira. Mbak Tati segera menghadap Wira sambil menunduk sopan "Bawa mereka ke kamar tamu," perintah laki-laki itu.

Mbak Tati dicegah oleh Gita yang kini tak mengizinkan Tati pergi ke kamar tamu.

"Apa lagi ini? Beberapa bulan lalu ada yang mengaku mengandung anak kamu, sekarang bawa anak haram kamu yang lain?" Gita menggeleng tak percaya. "Kenapa nggak sekalian aja kamu bawa semua wanita kotor yang kamu tiduri kemari!" seru wanita itu.

"Kamu nggak lihat ada anak-anak di sini?" Wira mendengus pelan. "Cepat bawa mereka ke kamar tamu, dan ajak Wildan masuk ke kamarnya," perintah laki-laki itu lagi pada mbak Tati.

Kali ini Gita hanya bisa menatap suaminya itu dengan perasaan yang campur aduk.

Gita sudah cukup depresi karena suaminya yang ternyata banyak meniduri wanita di luar sana. Laki-laki itu nampaknya belum cukup membuatnya menderita, dan mendatangkan anak yang entah dari mana asalnya.

"Mari bicara di dalam kamar," ajak Wira.

"Kenapa? Kamu malu? Kamu nggak mau Wildan tahu kelakuan papanya yang bajingan?"

Wildan berhenti di tengah tangga. Anak laki-laki itu hanya bisa menatap kedua orang tuanya yang sekarang sedang bertengkar.

Dia sudah mulai terbiasa dengan pertengkaran orang tuanya sejak setahun yang lalu. Tapi kali ini sedikit berbeda, karena mamanya benar-benar membiarkan dia mendengar semuanya.

"Gita, ayolah ..."

Wanita itu berjalan ke arah kamar tamu, membuat Wira dengan cepat mengejarnya dan menahan Gita agar tidak mengganggu anak kecil itu.

"Aku akan jelaskan semuanya. Kita bicarakan baik-baik," cegah Wira.

Gita menatap suaminya dengan marah. Matanya memerah karena sudah mulai mengeluarkan air mata akibat perlakuan sang suami.

"Aku kurang apa, mas? Selama ini aku sama Wildan selalu ada buat kamu. Kenapa kamu mencampakkan kami?" tanya Gita dengan nada sayup.

Wira mengusap wajahnya, kemudian berjalan ke arah sofa. Dia duduk di sana sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.

"Dia anak kandung aku."

Ucapan Wira berhasil membuat Gita lemas dan terduduk lesu. Wildan yang sedari tadi duduk di tengah tangga hanya bisa mendengarkan semua yang diributkan kedua orang tuanya.

"4 tahun yang lalu, saat kamu pergi membawa Wildan ke Palembang, aku pulang ke Surabaya. Aku mabuk karena nggak bisa menghubungi kalian sama sekali."

"Aku yang bodoh dan terlalu menganggap sepele semuanya."

IGNITES Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora