0.1

5 1 0
                                    

Di antara tumpukan buku bekas yang halamannya sudah menguning, Jan mengintip tumit sepatunya. Bagian belakang kakinya tampak bergaris merah, dan ia bisa merasakan pedih yang berasal dari sana. Hari ini ia memakai sepatu docmart tanpa kaus kaki–suatu kesalahan besar ketika agendanya adalah berjalan keliling toko buku bekas di tengah panasnya kota. Meski toko buku tujuannya berada di deretan ruko sempit yang jalannya cuma muat dilalui satu orang, kakinya tetap berkeringat. Gesekan ujung sepatu dengan kulit yang lembab jelas bukan suatu hal yang nikmat.

"Duduk sini, Mbak e," ujar sang bapak penjaga toko. Ia menarik salah satu kursi plastik, mendorongnya ke dekat Jan sebelum kembali duduk di bangkunya sendiri.

Jan mengangguk berterima kasih pada bapak tersebut, kemudian duduk membelakangi rak buku yang menjulang tinggi sampai langit-langit ruko.

Toko itu benar-benar sempit. Panjang ruangannya hanya dua meter, sedangkan separuh ruangan sudah penuh oleh buku-buku, sehingga tak banyak ruang buatnya bergerak. Bapak penjaga toko itu menyewa dua ruko, keduanya saling berhadapan alih-alih menyewa yang bersebelahan.

Pada bagian toko di seberangnya, Jan menatap punggung Alam yang berdiri kokoh. Punggungnya terlihat lebih lebar dari waktu SMA; tapi Jan tak ingat jelas kapan ia melihat Alam. Mungkin hampir tiga tahun yang lalu, sewaktu wisuda kelulusan mereka.

Waktu SMA, Jan dan Alam satu kelas selama tiga tahun berturut-turut. Mereka tidak akrab, cuma beberapa kali satu kelompok ketika ditunjuk guru. Rumah mereka juga searah, jadi kadang Jan meminta tumpangan sampai lampu merah tertentu untuk mengirit ongkos angkutan umum. Namun yang paling membekas dari Alam adalah bahwa cowok itu pemenang nominasi 'cowok terganteng' di angket buku tahunan angkatannya. Yah, dia memang ganteng sih. Jan sendiri waktu itu menyumbang suara untuk Alam. Sampai sekarang pun masih tampan, tapi dengan kumis tipis yang kini menghiasi atas bibirnya, dan tubuh yang terlihat lebih lebar serta kokoh, Alam menjadi lebih dewasa dari apa yang Jan ingat.

Satu hal yang tidak pernah terpikir oleh Jan akan terjadi setelah lulus SMA adalah menjadi akrab dengan Alam. Suatu kali cowok itu tiba-tiba membuat akun Instagram baru khusus untuk menulis resensi buku–rupanya Alam jadi rajin baca buku saat masuk kuliah. Entah kenapa, tapi cowok itu mengikuti Jan. Mungkin karena Alam menganggapnya teman–sekolah 3 tahun itu tidak sebentar, kan? Mungkin juga karena Alam tahu Jan masuk ke jurusan sastra dan beberapa kali menulis ulasan buku di akunnya sendiri.

Rupanya bacaan Alam masuk ke selera Jan, sehingga beberapa kali mereka mengobrol tentang buku yang belakangan Alam unggah. Tiba-tiba mereka jadi lebih intens mengobrol ketimbang waktu masih sekolah dulu. Kadang Alam tiba-tiba mengirimnya pesan berisi rekomendasi buku atau tempat mencari buku langka. Contohnya toko buku yang sekarang sedang mereka datangi ini. Pagi tadi tiba-tiba Alam menghubunginya singkat, menawarkan jika Jan mau ikut karena Alam akan pergi ke toko buku yang beberapa hari lalu ia rekomendasikan. Jan mengiyakan ajakan tersebut, dan di sinilah ia sekarang.

"Ketemu buku yang menarik, Jan?" Alam bertanya seraya menghampiri Jan yang masih duduk. Ia menenteng dua buku di tangannya, masing-masing dengan label harga yang berbeda.

Jan mengangguk. "Ada, nih." Ia mengangkat sebuah buku novel tipis yang sedari tadi digenggamnya.

"Itu bukannya udah difilmin?"

"Iya, tapi aku penasaran sama versi bukunya. Pas banget ini versi original bahasa Inggrisnya." Jan memasang cengiran lebar. "Udah mau bayar, Lam?"

Cowok itu mengangguk, ia kemudian menyodorkan bukunya kepada sang bapak penjaga toko. Beliau menghentikan kegiatan merokoknya, menaruh puntung yang masih terbakar itu di ujung meja, dan mengeluarkan sebuah kresek hitam.

"Sekalian punya dia, Pak," Alam menunjuk buku milik Jan. Ia kemudian berpaling kepada yang perempuan. "Gabung aja, uang aku gede," katanya sambil menunjukkan selebaran seratus ribu. Jan menurut dan memberikan bukunya sendiri untuk ditotal.

"Ngomong-ngomong, abis ini aku mau makan. Kamu balik?"

Jan termenung sebentar. Jam di pergelangan tangan Alam menunjukkan pukul dua belas lewat, dan kebetulan perutnya sedikit merengek minta diisi. "Makan di mana, Lam?"

"Nasi uduk deket sini aja, sih. Mau ikut?"

"Boleh. Gak pa-pa, nih? Sekalian nanti uangmu aku ganti di sana, deh."

"Aku sih gak gimana-gimana, tapi... ada temenku yang lagi di deket sini terus kayaknya mau join makan bareng. Kamu gak pa-pa?"

Jan mengangguk. Ia cuma perlu makan dan pulang. Tak perlu mengobrol, toh mulutnya bakal sibuk mengunyah. Jadi sepertinya tak bakal jadi masalah kalau ada satu orang asing di antara keduanya.

<>

Teman Alam ternyata bernama Ginan. Teman satu kampus dan satu fakultas meski beda penjurusan. Alam menjelaskan singkat kalau keduanya dekat karena sebelahan kamar kos sewaktu masih mahasiswa baru dulu, sebelum akhirnya Ginan pindah ke kontrakan bersama sepupunya.

"Ginan juga seneng baca buku, Jan," Alam menceletuk. "Kalau Jan ini anak sastra, Nan."

Ginan dan Jan saling melempar tatap. Keduanya tampak tak begitu tertarik tentang satu sama lain, dan informasi tersebut jelas bukan sesuatu yang mereka rasa dibutuhkan sehingga keduanya sama-sama tak tahu harus merespon bagaimana. Mungkin justru hanya Alam saja yang tak betah dengan suasana asing di antara kedua temannya.

"Em... keren, tuh," Jan merespon. Semata-mata mengasihani Alam yang berusaha mencairkan suasana.

"Iya... keren anak sastra," Ginan menimpali.

"Kamu bukannya dulu pengen masuk sastra ya, Nan?" merasa obrolannya mengalir, Alam melanjutkan.

Di sisinya Ginan buru-buru menggeleng. "Ngga ada. Denger hoax dari mana?"

"Kamu sendiri kok yang cerita..." Alam menggumam pelan, nampaknya tak yakin dengan ingatannya sendiri.

"Aku cuma suka baca, bukan nulis."

"Gak tau deh, mules aku." Alam tiba-tiba beranjak dari bangkunya, berjalan cepat menuju toilet di ujung area makan.

Ginan cuma menggeleng melihat tingkahnya. Ia kemudian menatap Jan sesaat. "Alam emang begitu anaknya dari dulu?"

Merasa diajak bicara, Jan menghentikan kegiatannya menguliti ayam goreng. "Begitu gimana?"

"Yaa... sok asik. Tapi bukan dalam artian negatif, ya. Maksud aku... ah, gak jadi, deh," Ginan menarik pertanyaannya. Lelaki itu menengguk es teh banyak-banyak.

Ginan suka membaca, tapi tidak dengan menulis. Mungkin karena ia tak pandai menyusun kalimat, seperti sekarang ini. Tiba-tiba Jan jadi merasa tak enak. Jangan-jangan Ginan dan Alam jadi merasa perlu untuk mengikutsertakan Jan ke dalam obrolan supaya perempuan itu tak merasa terasingkan. Padahal, ia tak masalah cuma numpang makan semeja dengan mereka. Tujuannya di sini benar-benar hanya untuk makan.

"Sorry, ya tiba-tiba ngikut makan siang begini, jadi ganggu janjian kamu sama Alam. Aku tadi cuma lagi bareng Alam liat-liat buku..." ujar yang perempuan.

"Kenapa maaf? Gak masalah kok," Ginan menjawab. "Aku juga tadinya gak ada janji buat makan bareng, cuma karena kebetulan lagi sama-sama deket aja jadi aku ajakin."

Jan mengangguk-angguk. Kemudian hening kembali menyelimuti keduanya. Alam tak kunjung kembali, entah kenapa, padahal toilet tak tampak memiliki antrian. Mungkin ia benar-benar sakit perut dan perlu menyelesaikan panggilan alamnya.

"Ngomong-ngomong, aku Ginan," cowok itu tiba-tiba berucap. "Daritadi Alam yang ngenalin kita berdua, aku jadi merasa kurang proper."

Jan mengangguk lagi. "Namaku Jan."

"Jan aja? Atau nama panggilan kamu itu?" Ginan bertanya. "Sorry, kepo sedikit."

"Janetta. Panggilnya Jan biar gampang. J-A-N."

"J-A-N. Jan." Ginan mengulang. Jan mengangguk untuk ketiga kalinya, mengonfirmasi kalau Ginan sudah melafalkan namanya dengan benar.

Kemudian, lagi-lagi hening mendominasi.

<>

rendezvous of twoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang