0.4

2 1 0
                                    

Kota tempatnya merantau untuk mencari gelar sarjana itu tak besar, dan universitas tempatnya menimba ilmu tak punya banyak tempat untuk memperbesar kerajaannya. Mau tidak mau, kampusnya memisahkan lokasi beberapa fakultas, termasuk fakultas Jan sendiri, Fakultas Bahasa dan Seni.

Karena hampir seluruh kelasnya dilaksanakan di gedung fakultasnya sendiri, Jan jarang sekali main ke lokasi kampus utama kecuali ia memiliki beberapa keperluan seperti mengurus administrasi, hadir di mata kuliah umum yang diikutinya semester itu, mampir ke perpustakaan, mengikuti seminar di balairung, atau sekadar jajan di kantin kampus utama karena sudah bosan dengan kantin fakultasnya sendiri.

Meski begitu, alasannya kali ini beda. Ia sudah berjanji akan menemui Ginan pukul empat sore selekas lelaki itu selesai kelas terakhirnya hari ini. Jan menawarkan diri untuk mendatangi Ginan ke kampus utama, karena ia merasa bertanggungjawab sudah membawa barang Ginan meski tanpa disengaja. Jadilah, sore ini, Jan berdiri kikuk bersandar pada dinding Fakultas Ekonomi.

Banyak mahasiswa yang berlalu-lalang melewatinya, dan wajah-wajah itu semuanya tampak asing. Jan belum pernah masuk ke dalam gedung FE sebelumnya, ia juga tak punya kenalan di sana selain Alam dan Ginan. Berada di sini benar-benar terasa seperti keluar dari zona nyamannya, dan itu bukan sesuatu yang ingin Jan rasakan berlama-lama. Ia terus bertanya dalam hati, kapan kira-kira Ginan bakal muncul dari balik pintu.

Pertanyaan terjawab pada pukul empat lewat tiga belas, ketika akhirnya Jan menemukan Ginan berjalan menghampirinya. Selagi menunggu langkah-langkah Ginan berhasil membawanya lebih dekat kepada Jan, tak ada yang bisa Jan lakukan selain memperhatikan tubuhnya yang semampai. Hari itu Ginan mengenakan kaus abu-abu yang dimasukkan ke dalam celananya, sebuah jins kebesaran yang menutupi sampai mata kaki, sehingga sepatu Converse hitam-putihnya cuma mengintip sedikit. Kaus abu-abu itu dipadu dengan outer berupa kemeja flanel kotak-kotak biru dan hitam.

Sesaat angin yang cukup kencang melanda, sehingga pada jarak satu meter wangi parfum laundry Ginan mampir ke indra penciuman milik Jan. Angin itu membuat rambut bergelombang Ginan jadi lebih acak-acakan, dan satu-satunya upaya pemuda itu untuk merapikannya hanyalah dengan menyibakkannya sekali ke arah belakang–mengekspos sedikit bagian dahinya yang tadi tertutup.

Jan memasang seulas senyum tipis yang kaku sambil menyodorkan helm di tangannya. "Maaf banget ya jadi ngerepotin gini."

Ginan menggeleng cepat, "Justru aku yang minta maaf bikin kamu repot-repot ke sini. Makasih, by the way," ujarnya. "Oh iya, ini..."

Kini giliran Ginan yang menyodorkan sesuatu. Sebuah kantong plastik berisi kotak makan sekali pakai. Jan yakin, di dalam sana ada ayam katsu saus lada hitam yang dipesannya tempo hari. Jadi ia menerima plastik itu dengan senang hati. "Kemarin udah aku transfer kan ya?" tanyanya memastikan.

"Iya, udah masuk kok uangnya," jawab Ginan. Pemuda itu menyembunyikan kedua tangannya ke dalam kantong celana. "Mau langsung balik?"

"Oh, nggak. Ada janji mau ketemu temen di rindang," jawab Jan.

Kampus utama memiliki dua lokasi kantin. Satu kantin berada tepat di depan area parkir motor, sedangkan kantin yang lain berada di seberang gedung perpustakaan, berada tepat di bawah pepohonan yang rindang. Kira-kira begitu filosofi sebutan kantin yang Jan ketahui sejak ia maba–kantin parkir dan kantin rindang.

"Mau bareng?" Ginan tiba-tiba menawarkan. "Aku mau beli rokok."

"Boleh," Jan mengangguk. Kemudian keduanya berjalan beriringan menuju kantin yang dimaksud.

Kalau bersisian seperti ini, Ginan terlihat lebih tinggi daripada saat Jan melihatnya dari kejauhan. Gadis itu ternyata hanya setinggi dagu Ginan. Padahal, untuk ukuran perempuan Indonesia, Jan termasuk tinggi. Tubuhnya mencapai angka 169 senti sejak tahun pertama kuliah. Artinya, Ginan mungkin setinggi 170 sekian, atau bahkan 180.

rendezvous of twoWhere stories live. Discover now