0.2

3 1 0
                                    

Toko buku bekas itu namanya Toko Buku Pak Ndut. Tak banyak yang tahu karena dengan lebar jalan sekecil itu, tak ada yang mau susah payah mendangak untuk mengecek papan nama di atas pintu ruko.

Sebelum Alam rajin mampir ke sana setidaknya sebulan sekali, Ginan lah yang lebih dulu menemukan Pak Ndut. Awalnya ia cuma iseng mampir saat melihat si Pak Ndut sedang merokok di antara tumpukan buku dagangannya. Pak Ndut saat itu cuma memberi ajakan singkat, "Sini, Mas, mampir. Lihat-lihat buku keren."

Ginan tak yakin definisi 'buku keren' Pak Ndut itu macam apa. Tapi rupanya beliau menjual banyak buku bekas orisinil berbahasa inggris. Salah satunya sebuah novel Star Wars yang tak pernah ia lihat dijual di toko-toko. Sebagai penggemar berat serial televisi itu, Ginan merasa seperti baru saja menemukan harta karun. Ia begitu kegirangan di jalan pulang, tak sabar untuk membaca buku yang berhasil ia kantongi dengan harga empat puluh delapan ribu itu.

Pada saat itulah Alam menemukannya berjalan berjingkrak-jingkrak menuju kamar. Waktu itu Ginan belum pindah ke kontrakan yang kini ia tempati bersama Farrel. Singkatnya, Ginan menceritakan tentang Pak Ndut pada Alam, dan itu menjadi awal mula bagaimana keduanya jadi sering berlangganan mampir ke toko Pak Ndut.

Sejak pindah mengontrak, Alam dan Ginan tak sesering itu pergi bersama. Ditambah karena keduanya berbeda jurusan dan tak benar-benar memiliki kesibukan yang beriringan. Kalau dulu masih ngekos bersama, hal yang mempererat hubungan keduanya adalah agenda mencari makan bersama.

Begitu mengontrak, jelas Ginan jadi lebih sering makan bersama Farrel daripada Alam. Apalagi kadang ibunda Farrel mengirim mereka makanan yang cukup banyak, sehingga Ginan jadi tak perlu susah-susah mencari makan di luar. Ginan dan Alam jadi tak sering mengobrol secara langsung maupun bertukar pesan; interaksi mereka jadi sebatas tukar sapa saat berpapasan di kampus.

Jadi, Ginan tak kaget ketika tiba-tiba Pak Ndut bertanya, "Lho, kok sendiri mas e? Gak bareng Alam?"

Ginan hanya menggeleng dengan senyum tipis. Ia kembali mengamati sebuah buku hardcover salah satu seri Sherlock Holmes di tangannya. Bagian dalamnya memiliki banyak anotasi dengan tinta biru. Pinggiran halamannya sudah menguning, tapi buku itu masih tergolong baru. Ginan masih sering melihatnya berjejer di toko buku. Meski tak dipungkiri, Pak Ndut memberinya harga yang lebih murah. Hanya lima puluh.

"Oo... saya paham," tiba-tiba Pak Ndut menceletuk. "Sekarang sering ditinggal pacaran ya?"

"Gimana, Pak?" Ginan mengernyit kebingungan. Asumsi apa yang barusan beliau cetuskan?

"Itu, lho, beberapa minggu lalu kan si Alam mampir bawa cewek. Kamu jadi jarang sama dia gara-gara belakangan Alam sibuk pacaran kan? Udah biasa itu." Pak Ndut terkekeh seraya menghisap kembali rokoknya. "Dulu temen saya juga kalau pacaran sayanya dilupain. Jadi jarang nongkrong bareng lagi, deh. Lihat aja tuh, nanti, kalau udah nikah, wah makin susah mau ngumpul!"

Asumsi liar itu membuat Ginan terbahak kala ia memahami maksud Pak Ndut. "Aduh, Pak, gak gitu!" ia cepat-cepat mengklarifikasi. "Saya ini deket sama Alam gara-gara dulu satu kos, tapi saya sekarang udah ngontrak sendiri, Pak, makanya jadi jarang bareng."

"Lhoo... ya gak gitu! Sekarang kan ada teknologi, apa namanya? Chatting?"

"Iya, Pak, tapi..." menit berikutinya diisi oleh Ginan yang berusaha menjelaskan kepada Pak Ndut, tentang bagaimana mereka dulu intens mengobrol lantaran sering berpapasan di kos. Sehingga ketika keduanya tak lagi seatap, secara natural mereka jadi jarang mengobrol.

"Dulu pernah saya ajak mampir sini beberapa kali, tapi kan dia juga ada kesibukan. Ya udah, Pak, jadinya sekarang sendiri-sendiri." Ginan mengakhiri kisahnya.

rendezvous of twoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang