86

2.4K 256 69
                                    

Malam itu, amarah Vanessa sudah diatas ubun ubun. Kali ini ia akan melepaskan rasa benci dan kesalnya kepada suaminya itu. Sepertinya ia tidak peduli jika anak anaknya akan melihat mereka berantem nanti.

Di rumah sakit tadi ketika ia baru saja keluar dari ruang operasi setelah 13 jam didalam sana, jantungnya hampir copot. Bukan, lebih tepatnya sepertinya ia nyaris mati ketika mendengar Kaivan hampir hilang karena tidak kunjung di jemput oleh Mas.

Anak laki laki kelas satu SD itu yang tidak tahu apa apa keluar dari gerbang sekolahnya dan berjalan entah kemana. Untung saja saat itu ada orang tua temannya yang menyadarinya dan akhirnya Kaivan dibawa kembali ke halaman sekolah dan membantu menunggu Kai hingga dijemput.

Dan itu pun oleh Vanessa yang saat itu juga harusnya ia tengah menangani pasien rawat jalan.

"Bunda jangan marah marah sama Papa." Ucap Rafa yang menyadari Bunda nya itu sudah marah setengah mati. Bundanya itu sudah tiga jam menunggu Papanya pulang, berjalan mondar mandir didepan pintu karena jika Mas sudah dihadapannya, ia akan menampar Mas berkali kali kalau bisa suaminya itu hingga tersungkur tak berdaya.

"Rafa.. adik kamu nyaris hilang. Gimana Bunda nggak marah sama Papa kamu? Setiap hari Papa yang jemput adik kamu dan bisa bisanya lupa?" Sahut Vanessa sesabar mungkin.

"Papa lagi sibuk mungkin, Bun." Sahut Naira yang mengelus punggung tangan Vanessa.

"Bukan alasan sayang." Kata Vanessa.

Suara mobil terdengar masuk ke indra pendengarannya, Vanessa langsung beranjak berdiri sedangkan kedua anaknya, Rafa dan Naira sudah ketakutan.

"Raf gimana ini? Takut deh Bunda beneran marah." Bisik Naira gugup.

"Lagian Papa juga kenapa bisa bisanya lupa." Sahut Rafa.

"Tapi pasti marah nggak sih? Bayangin deh pasti Bunda capek banget setelah kerja semalaman terus dengar berita itu, gimana nggak marah?" Lanjut Naira.

"Nai, siap siap aja deh kita lihat Papa sama Bunda diem dieman lagi. Padahal terakhir juga karena Papa lagi tuh karena mau ditarik lagi jadi ajudan Presiden."

"Ih serem banget lihat Bunda galak. Papa sampai diam tak berkutik." Tawa Naira.

Detak jantung Rafa dan Naira berdetak tidak normal. Ketika Papanya membuka pintu rumah, Bundanya langsung menatapnya tajam penuh amarah. Papanya pasti tahu jika istrinya itu akan marah besar, karena Naira yang mengirimnya pesan dan memberi tahu kesalahannya.

"Please sayang jangan marah." Mas langsung memeluk Vanessa ketika pintu rumah itu ia buka dan memperlihatkan sosok istrinya yang sudah siap sedia membantainya.

"Otak kamu dimana bisa bisanya lupa jemput anak kamu, Mas?" Ucapan Vanessa sangat menusuknya.

"Kalau kenapa kenapa gimana?! Kalau diculik gimana?!" Hardik Vanessa, ia melepas paksa pelukan Mas. Tidak peduli melihat raut wajah suaminya yang sudah sangat lelah dengan pakaian dinas hariannya itu.

"Iya sayang, Mas salah. Mas memang salah." Ucap Mas dengan pelan.

Rafa dan Naira bersembunyi di balik kamar Rafa, karena kebetulan memang dekat dengan ruang keluarga. Mereka ikut menguping, antara ingin ketawa melihat Papanya dimarahi atau ketakutan melihat Bundanya yang sudah sangat marah besar.

"WA aku nggak dibalas, telfon nggak diangkat. Habis ngapain? Kerjaan kamu ngapain sampai bisa lupa? Tahu nggak aku pontang panting jemput Kai yang jaraknya jauh dari rumah sakit aku dan aku masih pake baju operasi yang masih bersimbah darah! Aku telfon kamu berkali kali, bahkan sampai ke ruangan kerja kamu di Mabes aku telfon tapi nggak diangkat!" Sepertinya tidak ada yang bisa meredakan amarah Vanessa.

He Fell First and She Never Fell?Where stories live. Discover now