Rindu

15 0 0
                                    

Setelah kelas selesai, aku baru bisa membuka ponselku. Seperti biasa, ratusan pesan menanti untuk dibaca. Wajar saja, sekarang sedang sibuk-sibuknya tugas besar ditambah dengan acara Pentas Seni dimana aku sebagai koordinator.

Aku meletakkan begitu saja ponselku di atas meja sambil mendesah panjang. Kubenamkan kepalaku di atas tangan yang terlipat. Lelah karena ada masalah lagi di pensi.

"Itu pesan dari ibu kamu?" Aku mengangguk.

"Kenapa nggak dibuka?"tanyanya.

"Nanti saja," jawabku malas.

"Kamu gila ya?!" Ia benar-benar berteriak sekarang. Hingga ketika aku mengangkat kepalaku, semua mata tertuju padaku.

"Kapan terakhir kali kamu ngobrol dengan ibumu?"tanyanya dengan menuntut.

"Sebulan yang lalu. Atau lebih?"jawabku tak yakin.

Ia mengambil ponselku. Aku sama sekali tidak mencegahnya membuka riwayat obrolanku dengan Mama. Hanya beberapa kali Mama mengirimiku pesan, kebanyakan hanya menanyakan kabar. Itupun sering kujawab singkat-singkat.

Tak puas membaca hingga ujung obrolanku, ia membuka riwayat panggilanku. Ia tak berhenti menggulirkan layar hingga bertemu kontak dengan nama Mama. Panggilan terakhir yang tercatat pada tanggal 13 Februari 2017 atau sebulan lebih 12 hari.

Ia berdecak ketika mengembalikan ponselku. "Kamu mau jadi Malin Kundang?" Aku diam. Tak berminat menyahut.

"Bisa-bisanya orang tua seperti orang asing yang ketika bertemu harus menanyakan kabar dulu. Hidup masih bergantung uang kiriman saja sombong banget sok-sok'an nggak peduli sama orang tua." Ia mencemooh. Pedas.

"Aku peduli!"ucapku dengan nada tinggi.

"Mana? Telpon terakhir sebulan lalu itu peduli? Durasinya hanya 4 menit. Aku tebak itu pasti merengek minta kiriman karena dompet tipis. Anak macam apa kamu, ada kalau cuma butuh aja?"

Skak mat.

"Nggak tau sih gimana bentuk pedulimu terhadap kekhawatiran mereka, sampai mereka harus menanyakan kabarmu. Urusan dihubungi panitia pensi saja kelabakan buru-buru dijawab. Giliran orang tua nanti saja. Awas kamu dikutuk jadi batu."

Matanya terlihat menyala dengan kemarahan yang tidak dibuat-buat. Membawa api itu ke dalam komentarnya yang mampu membakar telinga, dan juga hati. Aku hanya mendengarkan. Tidak ada kata-kata yang bisa melawan kebenaran yang ditohokkan olehnya.

Aku membuka lagi obrolan dari Mama, membaca pesan yang belum sempat terbaca olehku.

Dek, apa kabar? Lagi apa sekarang? Mama kangen.

Aku mengeratkan genggaman ponselku. Buku-buku jariku nyaris memutih karena kuatnya. Sementara ia masih duduk di depanku. Dari bahasa tubuhnya, kentara sekali ia menuntut sesuatu dariku. Dengan bimbang aku menatapnya tepat pada manik matanya. Saat itu pula terdengar suara yang menenangkan di ujung sana.

"Halo, Ma?"

Lalu ia melunak, tersenyum.

SootheWhere stories live. Discover now