Prioritas (2)

2K 284 11
                                    

Kala Wendy terbangun dari tidurnya, dia mendapati ranjangnya ditiduri dirinya seorang diri. Mengedarkan pandangan, dia tidak menemukan presensi Chanyeol di kamar tersebut. Wendy menghela napas, memikirkan Chanyeol yang sepertinya masih marah. Ini adalah hari di mana semalam mereka baru saja berdebat dan belum ada konklusi dari keduanya.

Ketika Wendy beranjak, dia mendengar sayup-sayup orang sedang berkutat di dapur. Dan benar, begitu Wendy membuka pintu kamar, netranya mendapati Chanyeol tengah membuat sesuatu.

"Selamat pagi," Chanyeol menyapa Wendy yang kini berjalan menghampirinya.

Wendy tidak membalas senyuman Chanyeol yang terpatri lebar saat menyapanya, justru dia mengerutkan kening melihat penampilan suaminya yang sudah rapi pagi ini. Mengenakan jeans, kaos putih, dilapisi kemeja merah kotak-kotak. Itulah definisi rapi dalam pekerjaan Chanyeol.

"Kamu ada agenda ke mana pagi-pagi begini?" Wendy bertanya seperti ini karena jam kerja Chanyeol sama dengan miliknya, dan jika Chanyeol sudah rapi di bawah jam tujuh, biasanya pria itu ada pekerjaan di luar Seoul.

"Aku akan ke Jeju." Chanyeol menjawab singkat, tangannya masih sibuk menata dua sandwich untuk dirinya dan Wendy. Ngomong-ngomong Seulgi sudah tidak lagi merecoki Wendy untuk menumpang sarapan setelah Wendy menikah.

Wendy berjalan ke arah kulkas dan meminum air yang dia ambil dari sana.

"Kamu sedang tidak menghindariku 'kan?" tanya Wendy to the point usai mengembalikan botol minumnya ke dalam kulkas. Melihat Chanyeol tidak bersuara lagi setelah menjawab pertanyaannya, hal itu membuat Wendy kepikiran. Wendy tahu hal kekanakan seperti itu tidak akan Chanyeol lakukan, namun mengingat bagaimana semalam Chanyeol tidak biasanya keras kepala seakan tidak mau mengalah dalam perdebatan mereka, rasa khawatir nan takut sedikitnya menyelinap ke hati Wendy.

Chanyeol berbalik perlahan. Posisinya yang membelakangi kulkas otomatis membelakangi Wendy juga. Dia bisa mendengar nada khawatir dalam pertanyaan Wendy beberapa saat lalu. Dilangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Wendy, lalu tangannya terulur mengusap rambut wanita di depannya.

"Tidak, Sayang. Aku minta maaf soal semalam. Aku akan berusaha lagi memahami keputusanmu." Chanyeol tersenyum sembari mengacak surai Wendy. Begitu tangan itu melepas sentuhannya, Chanyeol tersentak saat Wendy tiba-tiba memeluk pinggangnya.

"Maafkan aku juga, Yeol," tukas Wendy lirih. Kepalanya yang dia benamkan di dada Chanyeol beralih mendongak. "Dan terima kasih untuk pengertianmu." Kali ini Wendy ikut memamerkan senyumnya.

Melihat perubahan suasana di antara mereka sudah lebih baik dari sebelumnya, Chanyeol tanpa ragu menunduk untuk mendekatkan wajahnya lalu mengecup kening Wendy, turun ke kedua mata, hidung, dan terakhir bibir tipis istrinya.




Keadaan yang ada mereka terlihat sudah membaik. Seolah menjadi kesepakatan bahwa mereka tidak akan membahas lagi soal bulan madu, yang bisa jadi berujung perdebatan untuk kesekian kali. Namun imbasnya, entah ini benar atau perasaan Wendy saja, Chanyeol menjadi sedikit berubah. Pria tinggi yang menjadi suaminya itu belakangan tidak banyak bicara seperti biasanya.

Jika biasanya mereka tidak bisa makan siang bersama lantaran salah satu atau bahkan keduanya sedang tidak berada di kantor, Chanyeol pasti akan menelepon Wendy mengingatkan jangan sampai lupa makan, lalu biasanya percakapan itu berakhir satu jam kemudian setelah mereka asyik membicarakan banyak hal. Dan hal itu jarang dijumpai Wendy selama dua minggu ini. Chanyeol tetap mengingatkan, namun hanya lewat pesan. Saat Wendy mencoba jadi pihak yang menghubungi, Chanyeol menjawabnya dan mengatakan kalau dirinya sedang sibuk.

Di sisi lain, bentuk perubahan Chanyeol yang dirasakan Wendy adalah kealpaan Chanyeol di dalam apartemen mereka yang mencapai skala sering. Seolah ingin menghindari Wendy--sejujurnya ini perasaan Wendy semata--Chanyeol sengaja mengambil jadwal ke luar kota. Sebenarnya kondisi ini sudah biasa mereka lalui dalam setahun pernikahan mereka. Namun kali ini Wendy merasakan hal berbeda yang membuatnya merasakan sebuah kehampaan dalam hatinya kala Chanyeol tidak berada di sisinya.



"Kamu sedang bertengkar dengan Chanyeol?"

Wendy terkesiap saat rungunya menangkap suara Seulgi tidak jauh dari telinganya. Wendy menoleh ke samping, mendapati Seulgi tengah menatap ponselnya. Wendy baru sadar kalau sedari tadi pikirannya melayang sementara matanya memandang kosong pada pesan Chanyeol yang baru saja dia terima; mengingatkan Wendy untuk makan siang.

Tentu saja Wendy tidak mungkin lupa, karena siang ini dirinya sedang di Busan, di rumah Joohyun sejak dua hari lalu untuk mengawasi bagian dekorasi tempat pernikahan temannya itu.

Wendy menggeleng atas pertanyaan Seulgi. "Aku juga tidak tahu, Seul."

Detik berikutnya manik Wendy maupun Seulgi beralih pada Joohyun yang memanggil mereka untuk segera ke ruang makan. Wendy dan Seulgi menurut.

Di ruangan itu selain mereka bertiga sudah ada Joonmyun dan ibu Joohyun.

Makan siang itu terasa khidmat dan hangat, sampai akhirnya menjadi kurang nyaman bagi Wendy kala ibu Joohyun menanyai Wendy sudah hamil atau belum. Wendy tersenyum kaku diiringi gelengan sebagai jawaban. Dan tiba-tiba selera makan Wendy menguap begitu saja.

"Memangnya apa yang membuatmu menunda kehamilan, Wen? Hm, biar kutebak. Pasti kesibukanmu 'kan?" Ibu Joohyun menebak sesuai sasaran, pikir Wendy.

"Iya, omonim. Aku takut kalau aku tidak bisa mengimbangi antara pekerjaan dan mengurus anakku nantinya."

"Semua wanita pasti punya pikiran begitu," tukas ibu Joohyun sembari meminum air. Pada akhirnya konversasi di meja makan itu didominasi Wendy dan ibu Joohyun sementara tiga orang lainnya hanya mendengarkan.

"Aku belum siap kalau harus melepas pekerjaanku," ucap Wendy lirih.

"Hm, memang nanti ada resiko begitu. Tapi hidup ini memang perlu ada sesuatu yang harus kita korbankan demi meraih sesuatu yang jauh lebih penting, jika ada beberapa pilihan yang kita hadapi. Ketakutan akan resikonya pasti ada, Sayang. Kamu mungkin sudah memperkirakan juga akhirnya seperti apa. Tapi jika ini sudah menyangkut kehidupan berumah tangga, maka kamu tidak boleh egois. Keputusan harus berasal dari kedua belah pihak, termasuk semua resikonya harus ditanggung keduanya."

"Chanyeol sudah bilang akan menungguku sampai aku siap. Itu keputusan yang aku ajukan, dan dia setuju. Lagipula kami memang sama-sama sibuk dengan pekerjaan sampai belum sempat mengagendakan bulan madu."

Ibu Joohyun terkekeh, yang membuat semua mata melihat ke arah beliau dengan tatapan bingung. "Di depanmu memang dia setuju. Tapi apakah kamu tahu kalau di dalam dirinya dia tersiksa?"

"Tersiksa?"

"Iya, Sayang. Biar kuberitahu satu hal yang kemungkinan tidak kamu tahu." Ibu Joohyun entah kenapa melirik sekilas ke arah Joonmyun. "Pria dan wanita yang sudah sah dalam ikatan pernikahan, maka hormon pria biasanya akan meningkat begitu melihat istrinya. Dia ingin segera menyentuh istrinya sebagai afirmasi, toh hal itu sudah sewajarnya terjadi dalam kehidupan suami istri 'kan? Semakin lama kamu menunda hingga menunggu kamu siap, maka sama saja kamu menyiksanya dengan menahan hormonnya. Bukankah itu egois?"

Wajah Wendy memerah mendengar penjelasan gamblang tersebut. Joohyun bahkan sampai memukul pelan lengan ibunya.

"Tidak apa Hyun, ini sebagai  pelajaran juga untukmu dan Joonmyun," kata ibu Joohyun sebelum berdiri dari duduknya. Dan sebelum benar-benar beranjak, ibu Joohyun berkata lagi pada Wendy. "Pikirkanlah apa yang menjadi prioritas dalam hidupmu saat ini, Wen. Kebahagiaan siapa yang lebih penting untukmu."

The Time We Will Always In Love [✓]Where stories live. Discover now