Part 1 | Mati Kutu, Mati Gaya, Mati Semuanya

556 112 18
                                    

Apes itu kadang tidak diundang. Kalau apes sendirian mungkin tidak apa-apa. Namun, apes dengan seseorang sebagai saksi? Lupakan sakit, malu lebih perlu!

--Nona Mahasiswa yang dirundung apes--

____________________________








BAGAI anak ayam kehilangan babonnya mungkin peribahasa yang cocok untuk menggambarkan Naya dan kebingungan macam apa yang melandanya usai melangkah melewati gerbang Fakultas Teknik.

Kiri, kanan... jalan buntu.

Kiri, kanan... salah gedung.

Kiri, kanan... mbuh linglung.

Millenium University luasnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Ibarat kata seperti satu kecamatan di kampungnya dulu. Bedanya bukan rumah-rumah penduduk yang berfungsi sebagai pengisi, melainkan gedung-gedung menjulang tinggi. Nah, satu gedung saja luasnya bisa mencapai tiga ribu meter persegi. Jadi, silakan bayangkan sendiri seberapa kedernya Naya waktu tersesat di dalamnya.

"Gedung A di mana, sih?"

Menurut denah, gedung A terletak di dekat pintu masuk dekanat. Akan tetapi, mau denah dipajang dengan font Arial ukuran tujuh puluh dua pun Naya tetap bingung kedudukan persisnya di mana. Dia seratus persen buta arah.

"Mana ekspresi orang di sini ngeri-ngeri sedap pula. Duilah, apa mereka enggak bisa lihat muka gue yang kayak anak hilang?" Naya menggerutu saat keinginan bertanya itu muncul, tapi langsung ditebas habis dengan tatapan menyelidik.

Ia menggeleng miris, kemudian mengarahkan langkahnya ke kiri saat menemui koridor. Ruangan A102 sepertinya di atas. Semisal nanti tidak di atas, ya sudah turun tangga lagi dan cari ke mana saja sampai ketemu.

"Kiri koridor, belok kanan. Oke."

Bagus. Teman satu grup Ujian Mandirinya ternyata banyak yang sudah aktif di pagi hari. Mereka bisa dimintai tolong untuk menunjukkan tempat kuliah.

Naya menunduk untuk menengok balasan di grup, sementara kakinya lanjut menapaki anak tangga. Denah bubar, alternatif lainnya adalah teman-teman baru.

"Wakwaw. Ternyata benar di atas."

Cengiran Naya terbit. Akhirnya perkara utama selesai juga walau ruang kelasnya belum seratus persen ditemukan.

Naya celingukan, memastikan keadaan di sekelilingnya benar-benar sepi. Ia tersenyum konyol sembari mengarahkan kamera ponsel ke mukanya.

Sambil menyelam, minum air. Sambil cari kelas, jangan lupa melipir ke perkara lain. Momen berbagi kebahagiaan ini sangat sayang untuk dilewatkan tanpa alay-alay sedikit. Pajang foto pakai jas almamater di sosial media itu perlu dalam rangka memberi tahu sekolah lamanya jika ada alumni yang tersangkut di kampus sebeken Millenium University.

Sedang asyik-asyiknya menggulir foto di galeri, Naya tersentak tatkala kakinya salah menginjak anak tangga. Panik, tangannya berusaha meraih pegangan di antara udara kosong. Gerakannya yang belingsatan justru kian memperparah keseimbangan tubuhnya. Naya berakhir terguling dalam gerakan slow motion sebelum benar-benar berhenti di anak tangga terakhir.

"Bahu gue, ya Tuhan...." Pusing. Niat songongnya untuk pamer tidak jadi terlaksana. Pikirannya kini terfokus pada rasa sakit yang menerpa bahu kirinya. "Sumpah, sakit banget."

Kedua kakinya ditarik menekuk; dahinya ditempelkan pada ubin yang dingin. Naya berusaha bangun sembari merancang seribu satu kalimat aduan pada rektor universitas setelah ini. Kenapa di Fakultas Teknik tidak ada lift? Setiap hari harus naik-turun tangga, apa bukan penyiksaan namanya? Belum apa-apa saja sudah jatuh dengan gaya super tidak elite begini.

"Di dunia ini, ada lebih dari empat puluh triliun jenis bakteri. Tujuh puluh jenis di antaranya menempel di lantai dan mayoritas dapat menimbulkan penyakit berbahaya bagi kesehatan tubuh."

Naya masih goleran di lantai. Persetan dengan bakteri! Mau tujuh puluh kek, seratus kek, sakit di bahu kirinya lebih penting dari apa pun. Bagaimana jika dirinya benar-benar patah tulang? Bagaimana jika ia salah urat karena terjatuh tadi?

Seketika Naya ingin menangis. Nasibnya kenapa sebegini mengenaskan, sih!

"Saya bisa kasih kamu receh kalau itu yang kamu cari."

Suara ini lagi!

Ia mendongak kesal.

"Siapa yang lagi cari receh, sih, Pak? Saya habis jatuh, bukan cari receh! Uang lima ratus rupiah mah banyak di kantong!" semprot Naya tanpa tedeng aling-aling. Iris hitamnya menyorot sebal pada laki-laki berkemeja putih yang menggendong ransel kecil di punggungnya.

Sepasang mata elang balas menatapnya tajam, hidung mancung seakan Tuhan mengukirnya pada hari Minggu, dan bibir yang menyunggingkan senyum sinis itu Naya kenal betul siapa pemiliknya. Wait, wait!

"Pak Dekan!" Dengan seribu satu teknik bangkit ala-ala ninja keseleo lengannya, Naya berhasil berdiri tegak di bawah tatapan laser laki-laki di hadapannya. Duh, mati kalau sampai dapat petuah fresh from closet di hari pertama kuliah. "Pak Sialan, sa-saya betulan jatuh. Saya enggak nyari kuman apalagi nyari receh, Pak," gumamnya takut-takut.

Ya salam, dekan satu ini kenapa wajahnya judes dunia akhirat? Mamanya waktu tahu ulangan Matematika-nya dapat lima saja tidak sejudes ini.

"Saya tidak bertanya kamu sedang apa, Aileen." Bapak Dekan menyahut dengan nada suara yang menyamai backsound film horor. "Tapi, yang perlu kamu camkan adalah nama saya Allovian Keanandra. Alan. Bukan Sialan!" jelas lawan bicaranya penuh penekanan.

Naya menelan ludah kasar. Wallahi, apa tadi dia keceplosan?

"Ma-maaf, Pak." Ringisan kecil keluar dari bibirnya. "Sa-saya enggak bermaksud begitu. Punten, saya mau ke kelas dulu, Pak."

Apa-apaan ini? Masa orang jatuh dari tangga dibilang sedang mencari receh? Bahunya sakit, tapi yang diperdebatkan justru kesalahan nama panggilan? Ha! Lebih baik minggat sajalah ketimbang adu mulut.

"Aileen...."

Sekitar empat anak tangga baru Naya naiki ketika Alan kembali memanggilnya. Ia menoleh dengan perasaan waswas.

"Kenapa, Pak?"

Alan mengumbar senyum tipis. "Lain kali kalau mau naik tangga, ikat pinggang celana kamu tolong dikencangkan, ya. Mata saya kena polusi jadinya."

Ikat--the hell--pinggang?

Mata Naya sontak tertuju pada celana tiga per empat yang dikenakannya. Bingo! Melorot!

"Pink stroberi. Memang bagus sih, tapi... terlalu mencolok," tambah Alan tanpa memedulikan wajah Naya yang berubah sepucat mayat.

Pink stroberi?

Napasnya tersentak.

Mamaaa... tolong pindahin Naya ke Pluto sekarang jugaaa....










_._._._._






To Be Continued










• Ujian Mandiri (UM) : Ujian masuk perguruan tinggi lewat tes tertulis.










Vote kalau suka.
Share cerita ini kalau menurutmu asyik dibaca.
Terima kasih.








Ditulis oleh :
• Wattpad : leefe_
• Instagram : by.leefe

EavesdropWhere stories live. Discover now