Part 4 | Pahit, Pahit, Pahit

357 64 5
                                    

Jadi mahasiswa itu harus tahan banting. Sebab, banyak setan-setan selain deadline super sinting yang minta disleding.

--Mahasiswa yang geram dengan tugas tambahan--
____________________________










ADAKALANYA, penyesalan datang melanda ketika masa-masa sulit menghampiri. Sewaktu berhaha-hihi mungkin tidak terasa, tapi kalau sedang begini beda lagi. Naya contohnya.

Jungkar-jungkir mengerjakan soal antah berantah Ujian Mandiri, berakhirnya malah seperti ini. Tahu begitu, ia tunggu setahun saja untuk ikut SBMPTN lagi agar keinginan tembus PTN terpenuhi.

SNMPTN jelas sudah tidak bisa karena kesempatannya hanya sekali dan itu pun sudah lewat. Lagi pula, perkembangan nilai semester demi semester SMA-nya naik-turun. Mau lima abad pun Naya mencoba, tetap saja tidak akan memenuhi kualifikasi.

Sayangnya, nasi telah menjadi bubur. Sekuat apa pun penyesalan Naya, nyatanya ia justru berakhir di Millenium University dengan Alan sebagai dekan di fakultasnya.

"Masuk!"

Naya tersentak mundur. Baru juga hendak mengetuk pintu, suara beliau lebih dulu mengudara.

"Adiandra, saya tidak suka mengulang perintah! Masuk dan duduk!" tegas Alan menyentak perhatiannya.

Tanpa ba-bi-bu, Naya segera menarik kursi kosong yang berseberangan dengan Alan. Bahunya menegang penuh antisipasi. Teringat dosanya yang diciduk tadi pagi, apa ini saatnya ia dadah-dadah dengan dunia?

Naya menahan napas.

"Pak, kalau mau main cincang, saya boleh request duluan enggak?" tanyanya tanpa pikir panjang. Laki-laki di depannya masih menyelami keterdiamannya dengan menampilkan ekspresi datar. Hal ini bukannya menenangkan Naya, rasa panik gadis itu justru makin menjadi. "Bapak minum ini, deh."

Botol air mineral terulur ke depan. Kali ini, gantian Alan yang terheran.

"Untuk apa?"

Naya membuat efek tercekik dalam nada suaranya sebelum berkata, "Minum terus sembur saya, Pak. Daripada disembur nyinyiran Bapak yang enggak ada duanya, saya lebih milih disembur pakai air. Kata-kata memang enggak ada wujudnya tapi bikin hati sakit berabad-abad. Air kan enggak bikin sakit, Pak!"

Semoga Alan mau berbaik hati. Semoga Alan mau berbaik hati. Ya Tuhan, dia masih ingin pulang dengan kedua kaki, bukannya naik keranda mayat gara-gara luka batin.

Nihil respons dari dosen di seberang meja. Benda di tangannya masih menjadi atensi utama Alan.

"Kamu lucu sekali, Aileen."

Secara mengejutkan, dosen yang terkenal killer di seantero Fakultas Teknik itu terkekeh. Naya melongo. Like she was joking.

"Lah, saya serius, Pak! Saya enggak mau dicincang nyinyiran Bapak apalagi katana!" tukasnya menggebu-gebu.

Tawa Alan surut seketika. Mata elangnya kembali memaku Naya.

"Katana itu barang langka, Adiandra. Harganya berkisar lima juta dolar atau sekitar tujuh puluh miliar jika dirupiahkan," jelasnya. Ia berdeham. "Daripada membeli katana untuk mencincang kamu, saya lebih suka menabung untuk menyetok rempeyek seumur hidup."

Naya menganga. The hell! Kenapa rempeyek masuk juga dalam daftar hitung-hitungan Alan?

Punggung Naya menghempas sandaran kursi empuk di belakangnya. Ia tertawa keras. Ya Tuhan, dari sekian makanan yang bisa Alan pertimbangkan dalam hitung-hitungan kondisi keuangan, kenapa harus rempeyek?

EavesdropWhere stories live. Discover now