Part 3 | Oh My Ghost!

362 77 11
                                    

Kapan dosen dan mahasiswa satu pemikiran? Kalau dosen ke kiri, eh si mahasiswa ke kanan. Kalau dosen berniat memberi hadiah, eh si mahasiswa malah mengkeret ketakutan. Positif negatif yang berlawanan.

--Pejuang kuliah yang galau--
____________________________









DARI mantra Heri Puter sampai maklampir sukses Naya rapal sejak pagi. Tarik napas lima kali disambung kentut sebagai closing juga sudah dilewati. Namun, isi kepalanya belum juga terjampi-jampi. Ya salam, mau sampai kapan dirinya mengingat adegan lima jam yang lalu?

Berguling sekali, Naya mengubah posisi telentangnya menjadi tengkurap. Kedua tangannya berada di bawah dagu, menyangga kepalanya yang terasa berat bukan main.

"Udahlah, jangan dipikirin lagi, Nay. Belajar aja buat besok."

Naya menatap Sela dengan tak percaya. Bagaimana bisa dia menyuruhnya melupakan semudah itu? Ini masalah harga diri! Jadi perempuan itu seharusnya penuh dengan label mahal. Kalau harga dirinya saja sudah murah, mau dikemanakan mukanya setelah ini?

Erangan depresinya terdengar. "Lo enggak ada di posisi gue sih, Sel. Coba kalau lo yang ditegur begitu. Pasti lo lebih milih migrasi ke kutub utara!"

Pancen pinkeu-pinkeu stroberi kudu diblesekake maring Ciliwung! Enake sesuk uput-uput mabur kang kosan apa, ya?

Sela menurunkan buku bacaannya.

"Ngapain lo ke kutub utara, Nay?" Telentang, tengkurap, kepala di bawah... memangnya sepenting itu sampai harus dipikirkan dalam beragam posisi? "Pak Alan aja pangeran asli kutub. Gue saranin sih lo sewa jasa polar bear aja buat libas dia."

Naya menggeser buku-buku di dekat kakinya dalam satu kibasan. "Iya juga, sih," angguknya.

Galaknya Alan itu tidak ada yang menyamai. Sudah dingin, sensian, tukang sekakmat anak orang pula. Ya Tuhan, jatah seratus menit mata kuliah Dasar Pemrograman berasa seratus abad. Dosa apa dirinya sampai ketiban apes begini?

Menggerutu pelan, tatapan Naya terhenti pada boneka berwarna merah di dekat bantal.

"Angry bird?" gumamnya lambat-lambat. Pikirannya tiba-tiba menghalu tentang wajah Alan yang seseram malaikat pencabut nyawa dengan halilintar di atas kepalanya. Bibir Naya berkedut menahan tawa. "Kok timing-nya bisa pas gini, ya?"

Ingat Alan, ingat juga boneka angry bird. Watak laki-laki itu tidak jauh berbeda dengan si Merah. Apa perlu besok-besok Naya menghadiahkan boneka itu sebagai bentuk apresiasi atas tingkah Alan yang kelewat jenius dalam menindas mahasiswa?

"Pak, sebagai syukuran diterima di kampus ini, saya punya hadiah buat Bapak."

Harus pakai kata syukuran. Jika terlalu jujur, Naya takut Alan akan mencabut nyawanya detik itu juga.

"Apa?"

"Boneka angry bird, Pak. Daripada saya kasih boneka banana ghost yang mana kadar kemiripannya enam puluh persen sama aura Bapak, saya kasih ini aja. Cocok buat Pak Alan."

Naya bisa membayangkan senyum memesona Alan yang penuh dengan bencana di baliknya.

"Naya, saya juga sayang kamu. Sebagai dosen teladan, saya juga ingin memberi kamu hadiah. Pernah merasakan ditimpuk paper setebal lima ratus halaman tidak? Mau coba?"

Senyumnya luntur dalam sekejap. Batal, batal! Realisasinya terlalu mengerikan. Kena tampol nyinyiran, keberaniannya auto bubar jalan.

Naya menarik diri dari lamunan sambil bergidik. "Sela, gue boleh nanya?"

EavesdropWhere stories live. Discover now