cherry

2.4K 245 63
                                    

"My King, I ain't no candle in the wind. But a mistletoe in your soul."

Lukaku hilang begitu saja. Pada saat kulepas seluruh pakaian itu dari tubuhku.

Air mata mengalir kembali ke dalam, dan menderas bersama dengan hatiku yang mengecil ke sudut dan bersembunyi bersama.

Taehyung bersama pria Korea itu masih tetap bercumbu di depan mataku. Sesekali, masih dapat kulihat matanya menyayat memandangku disentuh oleh tangan para penari wanita. Dan aku merupakan sebuah bagian penting dari pertunjukan.

Kupejamkan mata, lalu membuka kedua mataku selebar mungkin. Menyerupai elang yang hendak terbang dan mencari mangsa di permukaan bumi.

Hai... masih dapatkah kau menyaksikan luka padaku?

Sudah tidak, kan?

Aku baik-baik saja.

Musik keras yang mengalun membawa tubuh para penari wanita itu semakin menjelajah seluruh bagian dari kulitku. Sekalipun itu jemari yang menusuk ke vaginaku; mulut serta tangan yang menjilati kedua payudaraku; aku sudah tidak merasa.

Ketika mata itu menyayatku lagi aku masih membayangkan diriku dipukuli olehnya. Sesekali, masih membayangkan ciumannya di antara senja yang hangat.

Aku masih menginginkanmu.

Aku sanggup membuatmu tertawa lepas sepanjang malam.

Kembalilah padaku.

Ketika kau menganggap diriku pernah hidup, lalu mati itu masih lebih baik. Namun, kurasa kau menganggapku sebagai benalu yang tak pernah berprilaku baik.

Segenap rasa yang ikut serta melilit tubuhku diiringi alunan musik. Menjamu tatapan beracun Taehyung yang telah meremas pangkal hatiku. Aku mungkin akan mengidap kolera sebentar lagi.

***

Berakhirnya pertunjukan seks tidak mesti membuatku lega, atau bahkan merasa aman. Diikuti petunjuk dari lubang tikus yang bersarang di sekeliling tempat di Florida, pada akhirnya memang merupakan satu-satunya jalan buatku pulang kembali ke Seoul.

Berkat nuklir yang telah tercipta, kurasa hancurnya diriku dapat dibandingkan dengan percobaan pertama peluncuran rudal yang mengapung tinggi dan berhasil mendarat dengan ledakan tanpa ampun.

Aku adalah sampah. Sampah yang harus menunggu sampai busuk untuk dibuang, dan diasingkan ke lain tempat.

Tuhan, aku lemah dengan derita ini. Setidaknya, ini adalah penghujung rasa sakitku. Di mana aku telah menyerah merasa aman untuk melanjutkan hidup.

Kalau malam ini adalah malam terkahirku, setidaknya, aku patut bersyukur karena pernah mengenal Taehyung dalam kehidupanku.

Mengenal bercinta yang hebat beserta makian kasar yang mungkin tak akan pernah sudi aku dapatkan dari lelaki lain.

Masih kuingat dengan jelas, ungkapan dari mulutnya mengenai betapa bencinya Taehyung padaku. Dan, kalau dia melakukan itu, maka aku berhak merasa malang sekaligus beruntung.

Kuhargai seluruh bekas lukan itu pada tubuhku. Tetapi, lebih kuhargai luka yang masih hidup di dalam hati beserta kepalaku darinya.

Sampai penghujung kematianku, luka itu akan tetap kurasa dan kupikir. Menikmatinya seperti menelan butiran pil berwarna ungu, biru, hijau, dan merah yang dapat menenangkanku.

"Honey," Kenny tiba-tiba meleburkan lamunanku dengan masuk ke dalam kamar. Menghampiriku. "Seseorang mau bicara denganmu,"

Ponsel dengan pelindung yang disepuh emas itu Kenny sodorkan padaku. Beserta asap rokok yang mengepul berasal dari rokok yang dihimpit di jemarinya, sampai aku perlu menyipitkan mataku.

Kugapai ponsel itu, menempelkannya di telingaku. Tak berbicara, sampai sosok yang mau bicara denganku membuka suara, "Halo,"

Mendengar suara itu, tanganku langsung mengepal, mencengkeram gaun tidurku. Mencoba menerka.

"Siapa?"

"Apa kau sempat melihatku tadi?" tanyanya. Melempar teka-teki, ketika aku kesulitan mencerna kepalaku untuk berpikir.

"Maaf—"

"Seseorang yang bercumbu dengan kelasihmu,"

Suara misterius itu membuat sebuah pengakuan yang tak kuduga sebelumnya. Aku ingin meledak, tetapi isian bomku telah tersapu angin sampai kedinginan. Sehingga, aku dak dapat menyalakannya untuk menumpaskan kemarahanku.

"Kami sudah berhubungan jauh sebelum dia bertemu denganmu. Kuharap, kau tidak merebutnya lagi dariku. Aku sedang memohon,"

Sambungan telepon itu terputus sebelum menunggu respon dariku. Tapi percuma, aku juga tak berniat meresponnya.

Tanpa berbicara, kukembalikan ponsel itu pada Kenny.

Setelah itu, Kenny menawarkanku sebatang rokok yang berlanjut kutolak. Aku yang terus diam membuat Kenny tak nyaman dan menyerah meninggalkan tempat.

Termenung lagi.

Aku tak punya banyak alasan untuk mempercayai omongan pria di ponsel tadi. Tetapi, aku juga tak punya banyak kekuatan untuk membuktikan bahwa ketayakinanku lebih kuat daripada pengakuannya.

Bagaimana jika seandainya, yang pria itu katakan adalah benar?

***

-The Past-

Setelah sang ayah meninggal dunia, tak ada lagi sayap untuknya melindungi diri. Bocah lelaki itu kehilangan selera makannya, ketika kedua mata sang ibu seakan mengintimidasi setiap gerak yang dibuatnya. "Kalau kau tidak makan, maka aku akan membuangmu!" kalimat itu adalah seringkali telinganya dengar, keluar dari mulut sang ibu. Disertai gertakan gigi yang menyeramkan.

Cara sang ibu memperlakukannya kemudian berkembang menjadi lebih buruk. Jika awalnya, bocah itu hanya mendapatkan intimidasi dari sorot mata serta omongan dari mulut sang ibu yang kasar. Seiring berjalannya waktu, tubuh bocah itu memar sampai berdarah berkat pukulan keras yang ditransfer melalui sepotong bambu panjang oleh sang ibu.

"Dasar anak pembawa sial! Gara-gara dirimu hidupku jadi sesulit ini!"

Penyiksaan fisik dan batin itu berlangsung sampai bocah itu tumbuh menjadi seorang remaja. Sebelum akhirnya dia memutuskan untuk kabur meninggalkan sang ibu, mencari sumber kehidupannya sendiri.

Setiap langkah yang diambil, dia selalu berjanji pada dirinya sendiri. Entah janji itu bersifat baik, atau bersifat buruk.

Janji adalah caranya bertahan hidup. Dan trauma itu tak akan pernah hilang meski pun dia berusahan mencari penawarnya sampai ke ujung dunia.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 22, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Better Sick : To ForgetWhere stories live. Discover now