Cara Brian Bercanda

3.4K 321 35
                                    

"Lagian aku mau kemana, sih? Tempat ternyaman aku setelah kenal kamu ya ini, pelukan ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lagian aku mau kemana, sih? Tempat ternyaman aku setelah kenal kamu ya ini, pelukan ini."

Tubuhku yang dibelenggu lengan Brian tidak membuatku gentar untuk menyikut perutnya dengan cukup keras. "Masih bisa gombal, ya?!"

Alih-alih mengaduh, lelaki itu malah terbahak seraya melepas pelukan. "Aku nggak gombal, Ra."

Aku berdecak ragu dan melempar pandangan ke langit gelap di hadapan kami. Lewat ekor mata, aku melihat Brian membenarkan posisi duduknya untuk memangkas jarak antara kami. Sesaat kemudian tangan kiriku dialiri kehangatan yang bersumber dari telapak tangannya.

"Kalo bukan tempat ternyaman, ngapain juga aku malem-malem ke sini? Minta Yaya buat nyusulin juga? Kamu pikir aku enggak senewen papa sama mama kamu enggak akan bolehin aku masuk kayak yang kamu bilang?" Brian misuh-misuh sambil mengerucutkan bibir.

"Tapi bener dibolehin, kan? Bukan nerobos?"

"Gila kali kalo aku nerobos. Bawa Yaya aja udah ditahan dulu tadi di bawah sama papa kamu."

Keluhannya membawa tawa berderai untukku.

"Kalo Yaya enggak dateng terus kamu nggak boleh masuk, gimana?" tanyaku yang berhasil membuat Brian terdiam beberapa saat.

"Enggak tau. Mungkin bakal ngegembel depan gerbang sampe besok pagi kayak di sinetron-sinetron channel ikan terbang," kata Brian asal sebelum akhirnya terkekeh sendiri. Aku yakin dia sedang membayangkan dirinya melakukan hal sedangdut itu dan aku cukup yakin bayangan tersebut akan menjadi kenyataan kalau saja papa dan mama tidak mengizinkannya masuk malam ini.

"Alah, paling kalo enggak dibolehin masuk juga kamu nungguin di dalem mobil atau ya beneran pulang." Aku mendorong pelan pipi tembamnya yang selalu mengundang untuk aku sentuh. Pipi Brian selalu punya peran sebagai squishy hidup bagiku.

"Mungkin. Eh, enggak akan pulang, sih. Mau ke kosan Riska aja."

Bercandaan Brian yang amat-sangat menyebalkan itu seketika membuat perasaanku campur aduk.

"Enggak lucu, ya," ujarku sambil menghindari tatapannya. Hal yang selalu aku lakukan setiap kali emosiku tersulut atau perasaanku tiba-tiba tidak karuan di hadapan Brian.

Sekali lagi aku mendengar tawa renyahnya. "Enggak mungkin, deng. Kosan Riska enggak boleh dimasukin cowok soalnya."

"Masnya tau banget, sih?! Pernah coba nerobos masuk juga?!"

Aku berani bersumpah, itu adalah nada terketus yang pernah aku gunakan untuk bicara kepada Brian sepanjang tujuh bulan kami pacaran.

"Astaga, Ra. Mau marah lagi ini ceritanya? Aku mesti ngapain lagi nantu? Beneran ngegembel di depan?" Brian masih tertawa tapi nada suaranya saat bicara terdengar serius.

"Ya abisan kamunya juga gitu?" Tanganku reflek mendorong tubuh Brian untuk menjauh. "Enggak lucu tau, Ian. Beneran enggak lucuuuu."

"Siapa bilang enggak lucu? Aku suka kalo kamu cemburu keterlaluan gini. Gemes bangetttt ...." Brian mengatupkan lengan besarnya di kedua sisi rahangku dan menggoyang-goyangkannya seolah aku adalah anak kucing.

"Cemburu keterlaluan, ya?" gumamku pelan mengulang kata-kata Brian. Iya, aku memang pencemburu. Tapi kali ini aku akui, aku memang keterlaluan. Baru kali ini aku meminta putus.

"Keterlaluan, lah. Cemburu tuh harusnya sama yang bagusan dikit kayak Chelsea Islan atau Isyana Sarasvati. Nggak elit banget masa cemburunya selalu sama mantan?"

"Ya ngapain cemburu sama yang fana gitu, Ian??? Lagian kenapa mantan kamu banyak, sih!!!"

Menjadi pacar seorang basis grup band kampus yang daftar mantannya sepanjang renceng kopi sachet dijual di toko grosir membuatku tidak bisa untuk tidak cemburu. Terlebih lagi, kata mantan yang disematkan bukan hanya untuk mantan pacar, tapi mantan gebetan, mantan calon gebetan, mantan dede gemes, mantan kating genit, dan lain sebagainya.

Brian mengelus puncak kepalaku. "Ada alasan kenapa jadi mantan, Ra. Tapi buat aku, enggak ada alasan untuk menjadikan mantan sebagai masa depan."

"Berisik."

"Makanya kalo mau jadi masa depan aku, jangan jadi mantan."

"Alus, Mas. Alus banget."

"Tapi makin sayang, kan?"

Aku belum sempat menjawab karena konversasi kami terdistraksi oleh suara ketukan. Kami berdua menoleh dan melihat Mama sudah berdiri di ambang pintu yang memang tidak ditutup sejak Brian dan Yaya masuk ke kamarku tadi.

"Brian, udah hampir jam dua belas. Tante khawatir di jalannya ada apa-apa kalo semakin malem," kata Mama sambil tersenyum lembut pada Brian.

Brian langsung berdiri tegak. "Iya, Tante. Ini baru mau pulang. Maaf ya Tante, Brian ganggu malem-malem."

Brian berjalan ke arah tempat tidurku, siap membangunkan Yaya tapi aku langsung menahan lengannya.

"Biarin nginep aja," kataku yang segera disetujui Mama.

"Iya. Enggak usah dibangunin Yayanya. Kecuali kalo Brian enggak berani pulang sendiri?"

Candaan mama membuat Brian tertawa pelan. "Brian sih nggak apa-apa pulang sendiri, Tan. Tapi Yaya sama Maura besok masuk pagi, kan?" tanyanya padaku. "Terus Yaya enggak bawa baju ju−"

"Besok aja kamu bawain kesini pagi-pagi?" usulku yang langsung membuat Brian mengerling jahil.

"Bilang aja pagi-pagi mau ketemu ak− adududuh, ampunnnn ...."

Cubitanku di pinggang Brian berhasil membuat lelaki itu mengaduh namun berhasil juga membuat Mama melotot ke arahku.

"Iannya ngeselin, Ma!" Aku reflek mengadu.

Mama geleng-geleng kepala sambil menarik Brian pelan-pelan. "Udah didatengin malem-malem, malah disiksa. Kasian banget seganteng ini dapet pacarnya barbar."

"Yang anak Mama itu akuuuuuu!!!" Aku merengek yang malah membuat Mama dan Brian larut dalam tawa. Mama dan Brian adalah kombinasi paling menyebalkan karena selalu berhasil membuatku merasa ditinggalkan.

"Udah ah, aku pulang dulu," pamit Brian. Aku yang masih merengut hanya bisa mengangguk sambil melirik jam. "Enggak usah nganterin ke bawah, kamu langsung tidur aja."

Aku kembali mengangguk. "Ati-ati, ya."

Brian mengangguk dan melambai sebelum akhirnya turun bersama mama.

Sayup-sayup aku mendengar suara Brian yang pamit pada Papa dan beberapa saat kemudian telingaku menangkap suara mesin mobil yang perlahan menjauh dari rumahku. Aku menutup pintu ke arah balkon dan bersiap untuk beringsut di samping Yaya yang sudah terlelap jauh ke alam mimpi.

Oh, iya, hampir lupa. Perkenalkan, aku Maura Alindya Vimala yang cukup dipanggil Maura. Mulai hari ini, izinkan aku untuk berbagi kisah tentang Brian Alhafizh Bagaskara, lelaki yang baru saja meninggalkan rumahku tadi, dan segala hal yang kami lalui bersama. Kisahnya saja, ya. Karena aku tidak akan pernah rela membagi Brian bersama siapapun.

Tertanda,

Maura.

Maura

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Catatan Maura [REPUBLISH]Where stories live. Discover now