Chapter 1

19.4K 1.4K 126
                                    

Jam menunjukkan pukul setengah dua siang saat aku sampai di Zwecker Bakery, seperti biasa, lantai satu kafe ini ramai oleh muda-mudi. Bangunan ruko bernuansa negeri kincir angin ini tak hanya difungsikan sebagai kafe, melainkan tempat kursus baking di lantai tiga. Kurang lebih, sudah setahun aku mengikuti kursus, tapi tidak dalam waktu yang berturut-turut.

Mengikuti kursus baking sangat menyenangkan, apalagi untuk pekerja lepas sepertiku. Setidaknya aku punya keahlian selain fokus utamaku sebagai penerjemah. Ada kalanya, aku dihujani kejenuhan karena pekerjaanku tidak membutuhkan banyak interaksi dengan orang selain editor dan klien, sehingga aku membutuhkan interaksi sosial dari luar pekerjaan utamaku.

"Baru kelihatan lagi nih, Kak Rania," tegur Wiena, admin Zwecker Bakery yang sudah akrab denganku. Sebelum memasuki ruang pelatihan, aku diharuskan untuk mendaftar ulang di bagian administrasi untuk mendapatkan kit pelatihan dan adminnya tidak berubah, selalu Wiena.

Begitu menyelesaikan urusan administrasi, aku segera masuk ke ruang pelatihan. Sudah ada lima orang peserta, mereka adalah ibu-ibu paruh baya yang pernah mengambil materi kursus yang sama denganku sebelumnya.

Peserta pelatihan di Zwecker Bakery tidak hanya berasal dari sekitaran Jakarta. Ada pula beberapa kenalanku yang berasal dari Surabaya dan Bogor.

Sebenarnya di Jakarta terdapat banyak sekali tempat kursus baking yang bisa menjadi opsi. Aku memilih Zwecker Bakery atas rekomendasi Saras, sahabatku. Pemilik Zwecker Bakery tinggal di komplek perumahan yang sama dengannya. Keluarga Saras cukup akrab dengan sang pemilik, darinya, aku mendapat voucher trial course gratis sebanyak tiga kali.

Dari sekadar trial, aku malah jadi ketagihan untuk sering-sering mengambil kelas kursus di Zwecker Bakery. Biaya kursusnya sangat terjangkau dan lokasinya dekat dengan apartemenku di daerah Cilandak. Nggak cuma itu, chef tutornya juga berpengalaman.

Obrolanku dengan peserta kursus terjeda saat kami mendapati Tante Yusma masuk ke ruang pelatihan bersama cucunya. Tante Yusma merupakan pemilik Zwecker Bakery, sekaligus chef yang kadang mengisi kelas-kelas kursus. Kalau aku nggak salah, beliau fokus di tema membuat kue kering.

Walaupun hanya sekali mengikuti kursus membuat cookies, tapi hal itu tidak membuat aku gagal akrab dengan Tante Yusma. Mungkin karena aku peserta termuda yang kerap ikut pelatihan, beliau jadi tertarik untuk mengobrol denganku meski di luar kelas.

Sesekali, setelah selesai kelas, Tante Yusma mengajakku untuk ngobrol sambil menikmati dessert di lantai satu. Menyenangkan bisa mengobrol dengan Tante Yusma, beliau mengingatkanku akan mendiang ibuku.

Menyinggung Tante Yusma, beliau hampir tidak pernah terlihat sendiri. Tante Yusma seringkali membawa serta cucunya yang bernama Altan Prawiradinata, termasuk saat sedang mengisi pelatihan. Kedekatanku dengan Tante Yusma membuatku bisa cukup akrab sama Altan.

Tak seperti kebanyakan anak seusianya, Altan cenderung pendiam. Wajar sih, di usianya yang baru lima tahun, Altan sudah menyandang status sebagai anak piatu. Tante Yusma bercerita kalau menantunya meninggal dalam perjuangan melahirkan anak kedua. Altan akhirnya harus merelakan ibu dan adiknya yang belum sempat diberi nama.

Altan beruntung, dia punya nenek yang begitu sayang padanya. Walaupun sibuk, Tante Yusma tak pernah meninggalkan Altan, alih-alih membawanya ke tempat kerja dan melibatkan bocah itu dalam sebagian besar aktivitasnya.

"Kamu pasti sibuk banget ya beberapa minggu belakangan ini, Ran?" tanya Tante Yusma setelah selesai menyapa Tante Hanif dan kawan-kawannya.

"Iya, Tante, kemarin nerjemahin dua naskah baru, jadinya nggak bisa ikut kelas."

New Interim+ [Tamat di Storial]Where stories live. Discover now