Chapter 2

7.5K 1.2K 126
                                    

"Sori!" pekikku yang tak sengaja menabrak seseorang di depanku. Aku terlalu terburu-buru keluar dari lobi, sampai nggak memperhatikan orang yang berlalu-lalang di depanku. Setelah mendongak, aku tertegun. Ternyata orang yang kutabrak adalah Arya Prawiradinata.

Aku sempat ragu kalau dia adalah anaknya Tante Yusma, pasalnya, lelaki yang kutabrak mengenakan kacamata. Namun, keraguanku ditepis oleh lanyard yang tergantung di leher lelaki itu. Logo kantor dan nama Mas Arya tertera di sana.

"Nggak apa-apa. Lain kali, hati-hati ya kalau jalan." Mas Arya mengulas senyum tipis. Dari sorot matanya, kurasa dia lupa kami pernah bertemu dan mengobrol singkat dua minggu lalu. Bisa jadi, Mas Arya nggak mengingatku karena saat kami bertemu, dia tak mengenakan kacamata. Mungkin, dia nggak mengingat wajahku dengan baik.

"Iya, Mas," sahutku. Aku membalas senyuman Mas Arya sebelum lelaki itu mengarahkan pandangan ke seseorang yang memanggilnya. Lelaki itu meninggalkanku, lalu menyusul rekan kerjanya masuk ke mobil Toyota Voxy berplat merah.

Sama seperti Mas Arya, aku pun baru selesai meeting dengan klienku. Setelah ini, rencananya aku akan menyambangi Saras di gedung yang bersebelahan dengan gedung tempatku berdiri.

Ponselku berdering, kembali mendapat panggilan masuk dari Saras. Dia sudah menungguku di lobi gedung kantornya sejak sepuluh menit lalu. Alih-alih mengangkat telepon dari Saras, aku memilih melangkah cepat. Setelah bertemu dengannya, kami langsung bertolak menuju Plaza Indonesia. Rencananya, aku dan Saras akan makan siang bersama Sena.

Saras Btari dan Arsen Ardiwiradja adalah sahabatku sejak SMA. Nggak cuma di sekolah, kami bertiga juga kuliah di universitas yang sama. Aku dan Saras mengambil jurusan manajemen, sedangkan Sena mengambil jurusan akuntansi. Dia lulus lebih cepat dari aku dan Saras, setelah lulus, Sena melesat ke Singapore Management University untuk menempuh kuliah magister. Setelah wisuda S2, Sena bekerja di Elbani Consultant.

Belum lama ini, lelaki itu mengajakku bergabung dengan Elsi—akronim Elbani Consultant. Kebetulan, ada posisi kosong di divisinya, Sena bilang, aku memenuhi kualifikasi yang dicari.

"Lo yakin, Nya, mau ngelewatin tawaran dari Sena?" tanya Saras tak percaya. Teman-teman yang lain biasa memanggil nama depanku, tapi sejak SMA, Sena dan Saras punya panggilan khusus untukku: Nyanya.

"Gue kasih waktu seminggu lagi deh, Nya, buat re-considering," timpal Sena cepat.

"Keputusan gue sudah final, Sen. Makasih banget buat tawarannya, tapi, gue beneran nggak bisa gabung sama Elsi," tegasku.

Bicara soal profesi, Saras dan Sena menyayangkan pilihanku untuk bergelut di dunia freelance. Nggak seperti mereka, aku memang nggak minat-minat amat buat kerja kantoran. Walaupun menyandang gelar sarjana ekonomi, aku memilih bekerja sebagai penerjemah.

Selama masa SMA, aku rajin mengikuti kursus bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Nggak berhenti sampai di situ saja, awal kuliah pun aku tetap rajin ikut kursus, sampai mengantongi sertifikat bahasa Jepang dan bahasa Inggris dengan predikat sangat baik. Begitu menyandang status sebagai mahasiswa, aku sudah punya pekerjaan sampingan sebagai penerjemah, meski nggak resmi.

Awalnya cuma iseng membuka jasa menerjemahkan dokumen perorangan, lama-lama, aku serius menggeluti kerja sampinganku. Empat tahun meniti karier, aku dipercaya menjadi freelance translator oleh beberapa korporat, biasanya untuk proyek-proyek singkat saja. Tak jarang, aku juga dapat job dari penerbit buku. Sejauh ini, klien favoritku adalah kantor penerbit buku, lumayan, bisa baca buku gratisan.

Perjuangan untuk settle di dunia freelance memang nggak mudah. Mencari klien tetap dan mendapat kepercayaan butuh waktu yang lama. Aku cukup beruntung karena telah merintis karier sebagai penerjemah sejak kuliah, jadi setelah selesai kuliah, aku punya klien tetap dan punya banyak pengalaman yang menunjang karierku.

New Interim+ [Tamat di Storial]Where stories live. Discover now