Jalan Sidoarjo

5.5K 843 20
                                    

Asap sate ayam menjadi penyambut Sasa dan Saga saat sampai di kawasan makan pinggir jalan Taman Menteng. Sekarang baru pukul tujuh malam, namun berbagai kalangan muda-mudi sudah ramai berdatangan.

Tempat makan yang berada tepat di sebelah Taman Menteng itu memang menjadi salah satu tongkrongan favorit ibukota. Tak peduli dengan kasta, banyak orang makan di sana mulai dari yang bermobil hingga dengan motor vespa.

Setiap ke sana, Saga paling suka dengan ayam kremesnya, setiap ke sana pasti akan memesan sayap ayam dengan meminta sambal tambahan.

Kalau Sasa baru pertama kali ke sana, karena biasanya jika jalan-jalan dengan teman lebih sering menjajah kuliner di daerah Senayan.

"Pak ada kabar nyebelin." Ketika mereka sedang menunggu makanan, Sasa mendapat pesan dari Ibu. "Masa pernikahan Dio baru dilaksanin kurang lebih satu setengah tahun lagi."

"Hah?!"

"Iya! Padahal kan saya bela-belaim nikah cepet demi dia." Sasa menunjukkan HP-nya ke Saga. "Katanya EO yang pacarnya mau udah full-booked, sedangkan dia nggak mau ganti karena suka sama testimoni-testimoni nya jadi lebih baik nunggu."

Saga menggeleng-geleng kepala merasa lucu. "Berarti mungkin emang pernikahan ini buat nenek saya tenang aja ya."

Deg!

Dada Sasa seperti runtuh lagi mendengarnya. Baru saja ia berhasil membuat Saga biasa saja, pembicaraan mereka kembali menyerempet pada kepergian Mama.

Entah mengapa tau-tau mulutnya membicarakan masalah perceraian. Sasa itu memang sering berbicara sebelum berpikir, jadinya sekali bingung langsung mengucapkan tak tahu kondisi.

"Oh iya Pak, since, your grandma," Sasa menggaruk rambutnya yang tak gatal. Entah mengapa keadaan jadi canggung. "Kan nenek bapak, alesan bapak nikah ya,"

Saga menunggu Sasa menyelesaikan ucapannya.

"I feel like, saya, nggak enak aja gitu Pak." Sasa sampai memiringkan kepalanya berkali-kali mengucapkan kalimat yang benar. "Do you want to divorce? Saya paham kok perasaan bapak jadi kalau bapak mau—"

"Nggak usah, nggak apa-apa." Saga langsung memotong. "Alesan kamu menikah kan karena orangtua kamu, dan mereka masih ada. Justru malah nggak adil kalau kita cerai cuma karena alesan saya doang yang udah nggak ada."

Ah, ya. Sasa sampai lupa dengan dirinya sendiri karena terlalu fokus dengan perasaan Saga. Padahal pernikahan ini melibatkan dua belah pihak. Selain keluarga Saga, ada keluarga Sasa juga yang bahagia dengan pernikahan mereka.

Untungnya makanan pun datang, membuat fokus mereka terdistraksi pada aroma sedap dari piring yang berada di atas meja. Tanpa pikir panjang mereka pun langsung melahap makanan ditemani suara hiruk-pikuk khas jajanan kali lima.

Karena merasa bersalah sudah membuka percakapan yang menyerempet kematian Mama, Sasa mencoba mencari topik lain.

"Oh iya Pak, ngomong-ngomong soal tahun depan, saya jadi keinget Imagine Dragons. Mereka baru ada konser lagi tahun depan pas akhir summer nyerempet fall."

Sasa dan Saga memang sudah pernah berbagi tugas mengenai liburan mereka. Saga mencari tiket baseball sedangkan Sasa mencari tiket konser.

"Kalo gitu saya cari tiketnya yang deket-deket konsernya aja ya, baseball kan jauh lebih gampang daripada konser." Respon Saga. "Semoga jadwalnya bisa pas yang Dodgers lawan Yankees."

Rahang Sasa mengeras mendengarnya. "Pokoknya pilih tempat duduk seberang-seberangan Pak, saya nggak mau kita satu tribun."

Saga bergestur 'ok' dengan tangannya sambil tertawa meledek. Bertepatan dengan itu, ada sekumpulan pengamen dengan alat lengkap menghampiri mereka. Grup berisikan 5 orang itu membagi tugas menjadi pemegang gitar, ukulele, gendang, kicrikan, vokalis, bahkan hingga pianika.

Entah bagaimana lima anak remaja itu berdiri di depan mereka, "Selamat malam Om Tante di sini kami hanya ingin mencari rejeki demi sesuap nasi ..."

Gaya lima anak yang sepertinya masih SMA itu terhitung bersih dan rapih. Mereka memakai setelan sewarna dengan akesoris kacamata hitam bagi setiap membernya.

Baru saja si pemain gendang melabuhkan tangannya, Sasa tau-tau menghentikan, "Eh! Dek, Dek! Request dong temen saya lagi ulangtahun nih tolong dinyanyiin."

Saga terbelalak melihat Sasa dengan santai menunjuk dirinya, padahal ulangtahun Saga sudah lewat jauh.

Para penyanyi di depannya pun dengan santai mengikuti perintah. "Oh siap Tante!" Begitu tukas vokalis.


Hari ini!
Hari yang kau tunggu!
Bertambah satu tahun!
Usiamu!
Bahagialah kamu...!

Sasa tak kuat tertawa terbahak-bahak melihat gaya asik anak-anak di depannya bak penyanyi internasional. Saga sendiri tak ada hentinya menggelengkan kepala, meski tanpa sadar senyum lebar tersungging di wajahnya.

Sesudah lagu dimainkan dan si pemegang ukulele meminta imbalan, bukannya mengeluarkan uang dari dompet, Saga justru menyetopnya.

"Saya bayarnya nanti aja ya sekarang kalian berlima makan dulu gih terserah mau apa pilih aja."

Jangankan si anak di depan mereka, mata Sasa pun melebar mendengarnya.

"Dibayarin nggak, Om?!"

"Ya iya lah, saya traktir ulangtahun."

"Yang bener?!"

"Bener! Sini panggil temen-temennya kita makan bareng."

Anak itu pun langsung teriak ke belakang, "WOY MAU DITRAKTIR MAKAN NEH SAMA SI OM!"

Sisa empat temannya langsung buru-buru ke meja Saga. Ada yang berterima kasih ada yang masih bertanya-tanya. Setelah Saga yakinkan berkali-kali akhirnya mereka langsung berpisah arah memilih makanan, ada yang ke tempat sate, mie ayam, soto, dan nasi goreng. Setelah memesan pun mereka duduk bersama kembali dengan Sasa dan Saga, menawarkan diri untuk menyanyikan lagu lagi untuk mereka.

"Mau lagu apa Om? Dewa? Wali? Ari lasso?"
"Seventeen? Zigaz? ST12? Bisa kita!"
"Mau lagu bule? Gabisa ngomong bagus tapi pianika kita merdu Om!"

Saga tertawa mendengar celoteh-celotehnya. Sesekali bertanya ini dan itu tentang kehidupan mereka, ada yang baru lulus SMP, ada yang menganggur habis lulus SMK. Rumahnya pun berbeda-beda tempat, rupanya mereka merupakan teman yang dipersatukan dari supporter bola.

"Kalo rumah kamu daerah mana?" Saga bertanya pada si pemain gitar yang baru lulus SMK jurusan mesin.

"Depok Om."

"Jauh juga main ke sini?"

"Namanya juga cari uang Om, makin jauh insya Allah makin banyak cuan."

Saga terkekeh mendengarnya. "Kamu mau nggak kerja di fotokopian gitu di daerah UI?"

Mata si pemain gitar semakin berbinar. "Ya Allah Om mauuu kalo ada mah, ngisi waktu sembari nyari lowongan. Bapak saya baru meninggal Om adek saya baru lulus SD." Anak itu bahkan langsung mengeluarkan HP-nya. "Boleh minta nomor  HP Om nggak?"

"Saya aja yang nyimpen nomor HP kamu biar kalo salah satu pekerja saya keluar saya langsung hubungin kamu."

"Siap Om!"

Rasanya hangat sekali berada di antara mereka. Melihat remaja-remaja ini tertawa bahagia, mencoba melucu di depan Saga dan Sasa sebagai rasa syukur mereka, tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Saga yang juga tersenyum menatap wajah mereka berlima.

Saga mungkin selalu melakukan hal-hal kecil seperti ini karena ia tahu seberapa sulitnya mencari makan di saat tak ada uang. Sepele memang, tapi sungguh menghangatkan.

Sasa berusaha keras menahan air mata. Bagaimana bisa pria di sampingnya ini tak terenyuh melihat ini semua? Di saat air mata sudah menggenang di kelopak Sasa, Saga masih saja bercanda sambil sesekali menggigit bibirnya, tidak tampak sedih justru malah tertawa. Padahal melebihi Sasa, badai dalam hidup Saga jauh lebih kencang merusaknya.

Melihat ini semua, Sasa tersadarkan bahwa there's always something about this man that Sasa can look up to.

The Proposal | A Romantic ComedyWhere stories live. Discover now