Chapter 2

2 0 0
                                    

Ms. Chancellor mengira bahwa ruangan yang berada di ujung lorong itu adalah kamarku.

Aku hanya diam saat menyadari bahwa Ms. Chancellor baru saja membuat kesalahan dan aku nggak tahu bagaimana cara untuk mengatakan padanya kalau dia salah. Jadi yang kulakukan hanya berdiri di tempatku, memperhatikan lampu ruangan yang berkedip dan berdengung ketika Ms. Chancellor menyalakannya. Rasanya seolah ruangan itu kesulitan untuk bangun dari tidur panjang. Lagi pula, kamar itu sudah nggak pernah digunakan selama tiga tahun lamanya.

Tiga tahun.

Semua stop kontak yang ada di kamar itu terlihat lucu dan, di dalam kamar mandinya terdapat satu keran untuk menyalakan air panas dan satu keran lainnya untuk air dingin. Semua itu mengingatkanku pada tempat di mana sekarang aku berada—sudah seberapa jauh aku pergi. Ini bukan hanya sekedar perpindahan dari satu pangkalan militer ke pangkalan militer lainnya. Ini adalah waktu ketika di mana aku terjebak di dalam teritori musuh, dan aku betul-betul sendirian.

Ms. Chancellor membuka jendela dan membiarkan angin yang sejuk mengisi ruangan. Udaranya berbau seperti laut.

"Dengar, aku tahu kami sudah mengatur sebagian besar barang-barangmu agar segera dikirim ke sini, tapi—oh, baguslah, seseorang sudah membawakan kopermu." Ms. Chancellor menunjuk ke arah koper besar dan sebuah tas wol yang tergeletak di sisi ranjang. "Kau punya cukup banyak waktu untuk merapikan isi tasmu sebelum makan malam. Apakah kau mau aku membantumu?"

Dia berhenti dan menoleh untuk memperhatikanku sesaat. Namun, saat keheningan yang datang selanjutnya terasa terlalu berlebihan akhirnya Ms. Chancellor menyembur, "Jadi? Bagaimana menurutmu?" Dia tersenyum terlalu lebar; aku merasa seolah dia berharap terlalu banyak pada jawaban apa pun yang akan kuberikan. "Kau mau aku membantumu?"

Seseorang telah meletakkan bunga segar di atas meja, dan aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. Kuamati tirai putih berenda dan ranjang berukuran besar yang dibingkai dengan kanopi berlekuk dan kain berawarna pink lembut. Sayangnya aku bukan lagi anak kecil.

Sayangnya aku sedang nggak...

"Kurasa kau salah," aku bicara terlalu cepat. "Biasanya aku menempati kamar yang berwarna kuning." Aku menunjuk ke arah kamar yang lebih kecil yang letaknya berselang tiga pintu. "Itu adalah kamarku."

"Well, kakekmu dan aku berpikir kalau kau akan merasa lebih nyaman di kamar ini. Karena kali ini kau akan tinggal lebih lama bersama kami. Kamar ini lebih besar, kau lihat? Dan, tentu saja, ada kamar mandi sendiri, dan..."

"Ini adalah kamar ibuku," kataku. Seolah Ms. Chancellor belum tahu. Seolah hal itu belum jelas.

Tandanya ada di mana-mana, mulai dari kotak perhiasan dengan figur penari balet di atas meja hingga berbagai boneka berbentuk hewan yang terletak di kursi jendela. Setiap musim panas di masa kecilku, ibuku selalu kembali ke ruangan yang nggak pernah berubah ini. Ibuku terus tumbuh setiap harinya, tapi kamar ini tetap sama. Saat masih kecil kupikir kamar ini terasa seperti mesin waktu. Tapi sekarang kamar ini terasa seperti makam.

"Kita bisa mendekorasi ulang," Ms. Chancellor memberitahuku. "Tentu saja kau bisa memilih sendiri barang-barang yang kau inginkan. Kami punya beberapa koleksi furnitur cantik di loteng. Apa kau suka barang-barang antik?" tanyanya, tapi kemudian sadar pertanyaan itu terdengar konyol. "Tentu saja kau tidak suka barang-barang antik. Well, mungkin kita bisa mengirim beberapa furnitur milikmu dari Amerika kalau kau mau."

"Itu nggak perlu," aku memberitahunya. "Lagi pula aku juga nggak punya rumah di sana." Untuk sesaat, Ms. Chancellor menatapku seolah aku adalah anak yatim kecil paling menyedihkan di dunia, jadi aku menunjuk pada diriku sendiri dan berkata, "Bocah tentara," seolah tinggal di sepuluh pangkalan berbeda selama lima belas tahun hidupku telah membuatku tahan terhadap perubahan. Seolah segala hal yang terjadi dalam hidupku hanyalah hal kecil yang bisa kulalui dan kulupakan.

All Fall Down - Embassy Row 1Where stories live. Discover now