Chapter 4

4 0 0
                                    

Aku bisa tidur di mana saja. Pesawat. Kereta. Sofa. Bangku taman. Katakanlah sebagai efek dari kehidupan seorang bocah tentara. Kurasa, nggak pernah memiliki rumah berarti, membuat semua tempat menjadi seperti rumahmu. Nggak ada satu pun tempat yang betul-betul membuatku merasa gelisah untuk kembali. Tapi kali ini berbeda.

Aku nggak sedang mencoba untuk tertidur di tempat baru; aku sedang berada di tempat lamaku. Dan itu sebabnya aku menemukan diriku terbaring di atas ranjang ibuku, menatap ke kanopi berwarna pink di atas kepalaku dan mempelajari bayangan yang menari melintasi dinding selagi angin bertiup melalui ranting-ranting pohon di luar jendela kamar. Ketika akhirnya aku jatuh tertidur, aku memimpikan diriku sedang terjebak, pergelangan tanganku terikat. Aku menerjang dan berputar. Bahkan alam bawah sadarku berusaha mencari cara untuk membebaskan diri.

"Hei."

Suara itu terdengar lembut di kepalaku. Untuk sesaat kupikir Alexei telah menginvasi mimpiku, jadi aku berbalik, menggumamkan beberapa makian.

"Hei," suara itu terdengar lebih keras.

Dan kemudian sebuah tangan menadarat di bahu telanjangku. Aku bahkan nggak perlu merasa repot-repot untuk bangun dari tidurku, sungguh. Kakakku bersekolah di West Point. Ayahku adalah seorang Pasukan Angkatan Darat. Aku bisa mengatasi semua ini dalam tidurku sendiri.

Dengan gerakan sedikit limbung, aku berguling dan meraih tangan tersebut. Bahkan sebelum aku bangun dari tempat tidur, si cowok sudah terjatuh di atas lantai. Dan ketika akhirnya aku sadar sepenuhnya, aku sudah berdiri di atas tubuhnya.

"Grace!" ia setengah berteriak, setengah berbisik.

"Beritahu aku kenapa aku nggak harus membunuhmu."

Rambutku berjatuhan di depan mata. Kaus tua yang sedang kukenakan kira-kira berukuran tiga kali lebih besar dan tergantung di tubuhku dengan bentuk yang aneh, salah satu sisinya terlepas dan memperlihatkan bahu telanjangku. Aku mungkin terlihat seaneh yang kupikirkan. Tapi justru hal itu membuatku merasa senang.

Aku memutar tangan cowok itu semakin ke belakang, sambil menahan ibu jarinya dengan tanganku yang lain.

"Aku bisa mematahkannya."

Tapi si cowok nggak berteriak. Dia nggak menangis. Dia hanya menatap ke arahku. Dan kemudian tersenyum.

"Hai, Grace. Aku Noah," katanya. "Aku ada di sini untuk menjadi sahabatmu."

---

Aku nggak pernah tinggal di suatu tempat cukup lama untuk mempunyai seorang sahabat sebelumnya. Mungkin itu sebabnya aku membiarkan cowok itu bangun dari lantai dan nggak memprotesnya saat dia menyentuh dinding-dinding kamarku di dalam kegelapan.

"Ayo. Ganti pakaianmu," dia memberitahuku. "Kita harus pergi."

"Pergi ke mana?" tanyaku. "Kau siapa? Apakah aku akan menyesal karena nggak mematahkan tanganmu? Karena itu belum terlambat. Aku masih bisa betul-betul melakukannya sekarang."

"Aku tahu kau bisa." Noah melihat ke arah tumpukan pakaianku, meraih apa pun yang tergeletak di urutan paling atas, dan melemparnya ke arahku. "Ini. Pakailah."

"Itu tas wol."

"Oke. Kalau begitu pakai yang lain. Tapi itu betul-betul tas yang sangat bagus. Tas itu benar-benar menonjolkan," Noah membuat gestur yang aneh padaku dengan tangannya, "kepribadianmu."

Itu sebenarnya cukup lucu. Dia lumayan lucu. Tapi aku nggak tertawa. Sebaliknya, aku melangkah mendekat dan bertanya lagi, "Kau. Siapa?"

Aku tahu lebih baik untuk nggak berteriak. Akan selalu ada penjaga yang berpatroli di halaman belakang dan pintu gerbang kedutaan. Kamar kakekku berada di lantai ini. Dan aku cukup yakin Ms. Chancellor mungkin saja menyadap, memasang kabel, atau jebakan di dalam kamarku. Berteriak adalah ide yang buruk.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 31, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

All Fall Down - Embassy Row 1Where stories live. Discover now