Dua,Dua..

13.1K 1.7K 401
                                    

Dua.. Dua..


Tidak ada yang tahu ia di sini, berdiri di depan ruangan sembari memperhatikan dua bayi mungil dari luar dinding kaca.

Ketika bayi-bayi itu berada di perut Nayra, Devano hampir saja menyayangi mereka—hampir. Hanya karena mereka menyatu dalam diri Nayra dan menjadi bagian dari Nayra.

Bayi yang lebih mungil menggeliat, di labelnya tertulis perempuan, tetapi Devano tidak tahu harus memanggilnya apa karena ia belum memiliki nama.

Seorang suster menghampiri ketika bayi itu mengeluarkan suara rengekan.

Cengeng.

Bayi itu memang lebih sering menangis di banding kakaknya, bahkan bayi perempuan itu butuh berada di dalam incubator karena berat badannya yang kurang.

Tapi yang satu lagi, sangat tenang dan terus tertidur.

Namanya Devran. Ya, bayi ini sudah punya nama karena Devran kelak akan menjadi penerus bisnis keluarga Cromwell, namanya pun sudah di siapkan sebelum Devano menikah.

Yang berarti berkemauan keras, berbakat dalam bisnis dan punya wibawa, juga berjiwa pemimpin.

Kening Nayra berkerut ketika mendengar nama untuk anaknya.

"Nay suka. Kayak nama Dev, tapi ...."

Devano tahu, Nayra tidak suka maksud dari keluarganya menamai anak laki-laki mereka seperti itu.

"Oke, Nay setuju, tapi nama tengahnya harus Verano."

"Kenapa?" Nama tengahnya saja mengambil dari nama Ayahnya, Fransisco.

"Masa udah Devran, pake Devano lagi. Verano lebih bagus, dia setia, mencintai dan memiliki hati yang sangat ramah." Nayra tersenyum lebar kepada Devano sambil mengusap perut besarnya.

Devano menatap Nayra lama, tersenyum tipis lalu meraup wajah Nayra dan mencium bibirnya lembut.

"Devran Verano Cromwell."

"Verano juga bisa singkatan dari nama aku sama Dev, lho."

Devano berkedip ketika suster meninggalkan dua bayi Nayra saat bayi perempuan itu sudah tenang. Ia berbalik dan meninggalkan koridor itu tanpa ekspresi.

Apa pun arti nama Verano, anak itu harus tumbuh kuat seperti batu karang, seperti Devano.

//Flashback//

"FRANSISCO CROMWELL!"

Teriakkan menggelegar itu terdengar di masion yang sangat besar. Para maid mengkeret ketakutan, karena lagi-lagi sang Nyonya di buat marah oleh suaminya sendiri.

"Kau kemanakan lagi anakku, hah?"

"Sayang tenanglah, Devano harus belajar sesuatu di Yunani."

"Apa? Yunani?" Fania berpegangan pada meja makan ketika dirasa dunia seperti berputar cepat di sekelilingnya.

"Anakku? Yunani? Tidak!"

Fransisco panik, ia memegang Fania yang seperti akan jatuh. "Maafkan aku, Sayang, aku tidak bisa mencegah Papa."

Fania manatap marah Fransisco, kemudian tangannya ia layangkan untuk memukuli suaminya itu. Sudah sangat geram.

"Demi Tuhan Fransisco, anakku baru berumur tiga tahun. Kenapa tua bangka papamu itu tidak bisa bersabar sedikit?"

Fransisco hanya pasrah dipukuli oleh Fania, mau bagaimana lagi, ia tidak berdaya.

Ketika Fania Cromwell sudah puas, Fransisco memandang nelangsa pada istrinya, beberapa pelayan dan pengawal mengalihkan pandangan mereka. Tidak tahan melihat Fransisco yang biasanya begitu penuh wibawa selalu takut jika istrinya sudah marah.

"Papa sangat antusias melihat Devano yang sangat jenius."

"Apa Devano tidak melawan ketika di bawa? Kasihan sekali anakku, Frans, dia baru berumur tiga tahun, bahkan dia baru saja bisa berjalan."

"Devano sudah bisa berjalan sebelum umurnya satu tahun, Sayang."

Fania menoleh terkejut. "Benarkah?" Fania selalu merasa pertumbuhan Devano begitu cepat.

"Tetap saja, dia masih balita, kenapa papamu sangat terobsesi mengajarinya banyak hal. Devano pasti tidak suka andai dia lebih bisa mengespresikan perasaannya."

"Devano belum pernah ke Yunani."

Fania terdiam mendengar penjelasan sang suami. Meskipun Devano baru berumur 3 tahun, ia sangat menyukai hal-hal baru yang belum di ketahuinya.

Si tua bangka itu pasti mengiming Devano dengan pergi ke Yunani, tempat yang bisa membuat Devano penasaran.

"Devano yang meminta untuk berangkat tengah malam ketika kamu tertidur."

Fania terdiam dan mulai menangis.

"Anak kita nggak sayang aku, Pa."

"Mama, bukan begitu."

Di sisi lain, Devano kecil sedang duduk di depan Parthenon temple, sudah mulai sedikit bosan menjelajahi Athena, tetapi Parthenon temple adalah favoritnya.

Parthenon adalah kuil untuk dewi Athena yang dibangun di puncak bukit tertinggi di kota Athena, yaitu di Acropolis.

"Devano, apa sudah cukup melihat-lihatnya?" tanya Oliver Cromwell, sang kakek.

Devano tidak menjawab, ia bosan. Sepertinya ia sudah cukup dengan Yunani.

Ponsel Oliver berdering, Oliver pun sedikit menjauh dari Devano.

"Dia cucuku, aku akan mendidiknya langsung."

"Ya, tapi lebih cepat lebih baik, Devano adalah anak yang berbeda, kita tidak boleh melewatkannya."

Angin yang berembus ke arahnya cukup untuk membawa suara sang kakek padanya. Devano bangkit, berjalan menghampiri Oliver.

"Give me that phone!"

Oliver menoleh terkejut ketika Devano sudah berada di depannya.

Devano mendongak memandang sang kakek, menunggu. Akhirnya Oliver memberikannya

"Dimana mama?" tanya Devano kepada sang papa ketika ponsel itu sudah menempel di telinganya.

Oliver memang sering mendapatkan telpon dari Fransisco semenjak membawa Devano, karena Fania terus saja merengek meminta anaknya di pulangkan, biasanya Devano tidak begitu peduli ketika tahu bahwa mamanya menelpon.

Oliver sedikit menyesal memilih Fania untuk dijadikan menantu, karena Fania terlalu bawel dan lembut kepada Devano. Padahal seharusnya Fania tahu bahwa Devano adalah anak yang berbeda, Fania juga berasal dari keluarga yang sama dengan Fransisco.

Tapi kalau bukan berkat Fania, ia tidak akan mendapatkan cucu seperti Devano, Oliver sudah melihat bagaimana berpotensinya Devano menjadi penerus bisnisnya.

"Jangan menangis lagi Mama."

Akhirnya Devano menyerahkan ponselnya kepada Oliver ketika panggilan sudah terputus.

"Aku ingin pulang," kata Devano menatap kakeknya.

Devano jarang berbicara, tetapi kata yang keluar dari mulutnya sangat lancar untuk anak berusia 3 tahun.

"Apa sudah cukup?"

Devano mengangguk.

"Apa kau menyukai tempat seperti ini?"

Mata Devano beralih pada kuil megah di belakang kakeknya. Ia tidak tahu menyukainya atau tidak. Tempat ini bagus. Bahkan, ia tidak menolak ketika Oliver mengajaknya ke sini karena Devano tidak tahu, tempat seperti apa itu Yunani. Namun, bukan berarti ia menyukainya.

Devano menggeleng.

"Oke. Apa Devano mau melihat tempat lain selain di negara ini?"

Devano mengangguk.

Oliver tersenyum. "Kalau begitu tetap rahasiakan apa pun yang kamu lakukan bersama kakek dari mamamu"

Dan begitulah, Devano belajar banyak hal bersama kakeknya, Devano tidak memutuskan untuk menyukai kakeknya, hanya saja Devano senang menghabiskan waktu bersama Oliver Cromwell.

Devano juga senang ketika akhirnya kakek dan neneknya benar-benar berpisah. Karena itu berarti, waktunya untuk bertemu sang nenek berkurang.

Devano juga belajar menghukum seseorang dari kakeknya.

"Kalau dia tidak mengganggu, biarkan dia. Tapi kalau dia menyerangmu, bunuh," kata Oliver Cromwell sambil menginjak kepala anak ular yang coba mematuk sepatunya.

Devano hanya menatap ketika kepala anak ular itu diinjak kakeknya. Badan ular itu masih bergerak, maka, Devano mengangkat kaki mungilnya dan menginjak badan anak ular itu.

Begitulah cara mendidik Oliver Cromwell pada Devano kecil yang seiring bertambahnya usia. Pelajaran yang di terima Devano bukan hanya melihat-lihat seperti ketika berumur tiga tahun.

"Jangan biarkan siapa pun yang menyerangmu lolos. Apa yang mereka perbuat, harus mendapatkan karma."

Fransisco dan Fania sempat menjauhkan Devano dari Oliver ketika mengetahui gelagat aneh mulai di tunjukkan Devano pada hewan di sekitarnya.

****

"Devano, lihat. Anakmu lucu sekali bukan?"

Devano yang sedang mengupas buah apel bersama Nayra menoleh ketika mamanya datang sambil menggendong bayi.

"Papa, cepat gendong Devran!"

Fransisco beranjak dari duduknya, mengambil alih bayi yang di gendong oleh suster. Dulu, ketika pertama kali menggendong Devano, Fransisco begitu kaku, tetapi sekarang ia sudah tahu caranya.

"Akhirnya baby sudah sehat, ya, Ma?" tanya Nayra.

Ini pertama kali Nayra melihat kedua bayi kembarnya. Sebenarnya bisa saja ia dipertemukan, tetapi Devano melarang suster dan dokter karena Devano ingin memastikan keadaan Nayra benar-benar pulih betul pasca operasi.

"Biar mama aja yang gendong," kata Devano sambil menyingkirkan apel yang tidak jadi di makan Nayra.

Nayra menurut, yang penting ia bisa melihat kedua anaknya.

"Apa mereka sudah mulai butuh ASI, Ma?"

Fania menoleh pada Devano yang sejak tadi tidak juga melihat kedua anaknya. Sebenarnya kedua anak kembar ini tentu saja sangat butuh asi.

"Nggak kok. Lagipula, ASI Nay itu belum terlalu bagus karena Nay belum pulih betul, makanya Nayra yang rajin makan sayur dan buahnya."

Nayra mengangguk sambil memandang penuh cinta bayi perempuannya yang berada di tangan Fania, dia tertidur. Sangat cantik.

"Devano, kamu liat dong ini anak kamu, cantik banget. Hidung sama alisnya mirip kamu, tapi kalau dia buka mata mirip banget deh sama Nayra."

Devano melihat bayi perempuan yang berada di gendongan Fania, ia memang mengunjungi bayinya diam-diam, makanya mereka kira itu kali pertama Devano melihat kedua anak mereka.

"Dev, ayo gendong baby. Karena aku belum bisa gendong mereka, biar papanya aja yang gendong," kata Nayra. Ia mengenggam tangan Devano. "Please, Dev."

Fania tersenyum sumringah ketika akhirnya tangan Devano terulur pada bayi di gendongan Fania.

Pergerakan orang dewasa itu pun membuat sang bayi perempuan menggeliat dan mulai merengek. Bersiap untuk menangis.

Nayra mengulurkan tangannya, menepuk bokong sang bayi. "Sttt, baby. Ini papa," kata Nayra menenangkan.

Devano menunduk kaku, memperhatikan saat perlahan mata bayi itu terbuka.

Sepasang mata cerah persis seperti mata istrinya menatapnya. Devano membeku, ini kali pertama Devano melihat mata bayi itu sedekat ini.

"Deviandra."

"Huh?" Nayra bertanya memastikan.

"Namanya Deviandra Clodovea Cromwell."

Semua orang di ruangan itu terkejut.

Fania yang lebih dulu tersadar tertawa senang. "Jadi, cucu cantik grandma namanya Devi, ya. Uuuh, lucu banget sih nggak jadi nangis karena denger suara papa, ya Devi ya?"

Nayra ikut tersenyum, dipikirnya Devano akan kurang peduli pada kedua anaknya—saat Devano selalu menolak untuk menjenguk kedua anaknya di ruang bayi.

Deviandra, Sang Dewi Pemberani.

Dan tepat setelah itu, tiba-tiba saja Devran di gendongan Fransisco menangis kencang. Untuk pertama kalinya mereka mendengar tangisan Devran sekeras itu selain ketika pertama kali bayi itu keluar dari rahim Nayra.

Fransisco panik. "Papa nggak ngapa-ngapain, deh, Ma."

Fania tertawa. "Aduh, itu cucu Mama cemburu deh kayanya, Pa, sama kembarannya."

After Devnay Where stories live. Discover now