BAB 5 - Ayah dan Anak.

126 28 5
                                    

Entah sudah terhitung berapa kali Sakha mengerjapkan matanya hari ini. Jika bisa terbuka dan tertutup layaknya kelopak mata, mungkin telinganya juga sudah melakukan hal serupa. Sepertinya ia benar-benar butuh alat bantu untuk indra pendengarannya yang mungkin sama nasibnya dengan matanya yang sudah berkacamata.

Bukan maksudnya indra Sakha benar-benar memerlukan alat bantu dengar. Hanya saja ia terbiasa mengedip-edipkan kedua kelopak matanya untuk memastikan apa yang ia lihat. Kadang isi telinganya juga terasa berkedut saat ia mengerjapkan mata, layaknya melakukan penyegaran program yang ada di telinganya karena merasa apa yang ia dengar bukanlah sesuatu yang seharusnya ia dengar.

"Kau bilang apa?"

Kesadarannya benar-benar terkumpul seluruhnya saat gadis berambut pirang di hadapannya mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkan. Apa yang ingin ia lakukan dengan bola mata Sakha?

Cekrek!

Sebuah flash yang berkedip seketika membuyarkan pikiran Sakha. Gadis itu memotretnya. Sekali lagi berhasil membuatnya mengerjap cepat.

"Yes, dapat!"

"Oh, maksudmu itu koleksi foto?" Akasa yang awalnya berkelahi dengan Bamasya pun langsung melepaskan diri dan berdiri di samping Pritha. Ia turut melihat hasil jepretan yang tersimpan dalam kamera di tangannya. Akasa hampir saja kehilangan rahangnya yang jatuh ke bawah tatkala menemukan betapa indahnya gambar yang Pritha ambil. Gadis itu menyeringai kecil, merasa cukup puas karena berhasil membuat Akasa kembali mengeluarkan binar-binar cahaya di sekeliling dirinya.

Akasa yang mudah takjub dengan hal-hal kecil selalu berhasil membuat Pritha terhibur. Ekspresi pemuda itu yang beragam dan kondisi sekitarnya yang seakan turut mengiringinya merupakan penelitian terbesar Pritha. Ia selalu menikmati setiap emosi yang Akasa tampilkan.

Berbeda dengan Sakha yang sekali lagi merasa silau, Akasa benar-benar sesuatu yang bersinar terang bagaikan bintang. Kebahagiaan pemuda itu sedikit membawa bencana bagi mata Sakha yang sudah minus parah. Bisa-bisa ia jadi silinder dibuatnya. Namun, harus Sakha akui, keanehan Akasa itu cukup terasa nyata, bahkan seolah ia tidak berhalusinasi akan cahaya-cahaya di sekitar pemuda itu. Ia melirik si rambut pirang dan laki-laki yang berbadan lebih besar di belakang Akasa yang juga mengintip isi kamera. Mereka tampak tak terganggu akan Akasa yang sudah seperti lampu berjalan. Terlebih sosok yang memiliki paras sebelas dua belas dengan Akasa, sosok yang tepat berada di belakangnya. Punggungnya membungkuk. Dagunya bertumpu di bahu Akasa. Keidentikan dan keintiman keduanya sudah menjawab pertanyaan Sakha yang tak sempat terucapkan. Hanya saja, warna rambut miliknya tampak lebih redup dari Akasa.

Melihat Sakha yang nampak tertegun—memfokuskan pandangan padanya dan ayah-anak di sampingnya membuat Pritha berdeham.

"Aku minta maaf jika kau salah paham." Pritha pun menunjukkan layar kameranya ke arah Sakha. "Meski hanya mengambil fotomu, tetap harus izin bukan?"

Melihat hasil gambar yang Pritha tangkap, Sakha terkesima melihat berapa jernihnya kualitas yang diproses kamera tersebut. Jika mengingat akan kamera mahal milik rekan kerjanya, Sakha bisa bilang bahwa hasilnya sangat jauh berbeda. Ia takjub melihat kamera yang bentuknya nampak sudah tua—mungkin lebih menjurus klasik—itu mampu menghasilkan gambar yang cukup presisi dan akurasi dengan yang asli.

"Benar juga, kukira tadi Pritha benar-benar hendak mengoleksi mata Sakha." Akasa menyahut. Pritha di sampingnya pun memasang senyum tipis.

"Memang, jika saja diizinkan lebih lanjut. Tapi jika tidak boleh, maka foto saja sudah cukup. Aku bisa membuat replikanya jika punya fotonya." Jawaban gadis itu yang tatapannya begitu datar membuat Akasa, Bamasya, juga Sakha bergidik ngeri. Bahkan bulu kuduk mereka sempat menegak. Meski tidak lama kembali merebahkan diri.

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now