BAB 12 - Adi Balan

46 15 0
                                    

Kulitnya pucat, matanya semerah darah.

Jika harus Sakha jelaskan dengan singkat, maka sosok di hadapannya ini bagaikan zombie yang sering muncul di televisi. Warna kulit putih pucatnya berbeda dengan milik Pritha yang masih terlihat normal. Mungkin juga karena aura tidak mengenakkan yang mengelilingi sosok itu, yang tadinya mengaku sebagai sepupunya.

Kalau benar ini adalah sepupu yang dimaksud, maka kemana ayahnya Sakha?

Berbagai asumsi liar mulai menghantui pikirannya sesaat setelah Sakha menyimpulkan kalau sosok di hadapannya ini adalah sepupunya yang pernah disebutkan oleh Bamasya. Reaksi orang-orang disekitarnya—juga termasuk Bamasya dan Akasa yang melayangkan pandangan tak bersahabat dengan sosok yang disebut dengan nama Pangeran Adi Balan.

Jujur, Sakha sendiri kebingungan karena tidak mengerti apapun yang terjadi. Balan memang memiliki pengaruh negatif dan rantai-rantai menjuntai yang setengah bagiannya melilit di kedua tangannya membuatnya tidak terlihat seperti orang baik. Belum lagi sikapnya yang seenaknya menerobos dengan menimbulkan sedikit kekacauan dan mengambil mahkota sosok yang Sakha kenali sebagai seorang raja di Kaliangan. Perangainya yang buruk dan tabiat yang tidak santun membuat Sakha cukup paham kalau Balan memanglah bukan tamu yang benar-benar sengaja diundang. Namun juga, orang-orang bukannya menghentikannya atau menangkapnya—mereka hanya terdiam di tempat masing-masing.

Seolah-olah justru mereka yang dihentikan tanpa perlu Balan melakukan apapun, hanya dengan eksistensinya.

Balan mengenakan setelan dengan kemeja berwarna putih yang lebih cerah dari warna kulitnya yang pucat keungu-unguan dan celana hitam yang membentuk betisnya. Ia mengenakan jubah panjang berwarna hitam dengan kerah yang diselimuti rumpun bulu-bulu yang panjang dan menggelitik. Sebagian seperti bulu domba yang hitam, namun juga sebagiannya seperti bulu gagak. 

Sakha bergidik ngeri melihat rantai-rantai yang melilit di sekujur tubuh Balan. Ada satu di pinggang, satu melintang dari pinggang ke bahu, dan sisanya melingkari kedua lengannya. Beberapa rantai ujungnya menjuntai dengan bebas. Yang membuat Sakha merasa takut adalah untaian rantai tersebut yang setiap ujungnya memiliki bercak kemerahan. Ada seperti sebuah konektor yang tidak terpasang, entah apa yang bisa dipasang disana.

"Sakha, namamu bukan? Cukup identik dengan nama ibumu, ternyata." Ucapan Balan membuat Sakha mengerjapkan matanya dan terfokus pada sepasang iris berwarna kemerahan yang memandangnya lurus. Warna merah darah menyala di balik tirai surai hitam legam yang kelam.

Jemari balan yang panjang dan kurus itu meraih dagu Sakha—yang masih terduduk di kursi dengan kedua tangan terikat. Balan menatap mata biru toska Sakha dengan begitu lekat.

"Pantas saja aku hampir tidak mengenalimu, segalanya yang ada pada dirimu itu campuran. Kau terlihat seperti ayahmu dan juga ibumu dalam waktu yang bersamaan." Balan masih sibuk memerhatikan Sakha. Bahkan kini ia sudah meraba-raba rambut Sakha yang berantakan. Lalu Sakha mengikuti arah lirikan netra merah Balan yang sedikit mendelik ke arah seorang perempuan yang mengenakan pakaian pelayan. Perempuan yang disebut Balan sebagai Bibi Santika itu sibuk merapikan pecahan kaca yang ada di lantai. Bamasya nampak berjongkok untuk membantunya, keduanya membuat kontak mata dan kemudian saling membuang muka.

"Tapi ternyata aku lebih tampan darimu, tentu saja." Atensi Sakha kembali ke arah Balan. Laki-laki dengan rambut hitam sepanjang leher itu melepaskan mahkota di kepalanya dan menaruhnya di atas surai kecokelatan Sakha.

Sakha yang tak tahu apa-apa hanya bisa terdiam dan merasa aneh karena semua orang melihat ke arahnya. Ningsih dan ayahnya, Bamasya juga Akasa dan Santika terus menatapnya. Seluruh penjaga juga menunjukkan tatapan tak percaya.

Balan justru tersenyum miring sambil berjalan mundur dan kemudian memanggil kelelawarnya untuk hinggap di tangan kanannya.

"Ada apa ini?"

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now