BAB 7 - Berbagi Rahasia.

87 17 0
                                    

"Sakha, bisakah kau jaga Akasa dulu? Jangan biarkan dia ke mana-mana." Pritha berjalan ke arah pintu terlebih dahulu. Meninggalkan Ningsih, Sakha, dan Akasa yang kini terlelap di atas kasur.

"Ya, dan tolong pegang Bruno. Kami ada urusan." Ningsih ternyata menyusul. Ia menaruh Bruno di pangkuan Sakha. Jika saja Sakha tidak memiliki kesan yang buruk terhadap Ningsih, mungkin ia sudah terpesona melihat gadis itu dalam jarak yang begitu dekat. Namun, tak bisa ia mungkiri, gadis itu membuatnya gugup. Mau bagaimanapun, Sakha tetaplah laki-laki yang memiliki insting kala berdekatan dengan lawan jenis—dalam jarak yang terlalu dekat. Helaian rambut merah muda Ningsih yang terurai begitu panjang sedikit menggelitik tangannya. Sakha menutup matanya hingga gadis itu menjauhkan tubuhnya dan berjalan ke arah pintu dengan dahi mengkerut.

"Kha, kau cukup pengecut juga. Berdekatan dengan perempuan saja sudah gemetar."

Akasa bersuara sambil membuka kedua matanya sepenuhnya. Sakha tersentak dan tak sengaja melepaskan Bruno, membuat kucing gempal itu melompat ke arah Akasa yang baru saja membangunkan tubuhnya.

"Hei, tenanglah, Bro. Aku juga merindukanmu, dasar nakal!" Akasa langsung memeluk Bruno dan menenggelamkan hidungnya di antara bulu-bulu berwarna cokelat madu. Kemudian ia menjauhi hidungnya dan bersin sesaat. Ia lalu kembali memeluk Bruno sambil mengelus punggung kucing gendut itu.

"Aku sedikit ... trauma, dulu aku pernah salah berbuat terhadap seseorang."

Akasa mendelik. "Perempuan?"

Sakha mengangguk.

"Aha, sudah kuduga kau tidak sepolos yang kukira. Jadi apa yang kau lakukan?"

"Tidak sengaja mendorongnya di ... ah, apa yang kita bicarakan sih?" Sakha langsung mengubah topik pembicaraannya saat menemukan sepasang manik biru muda itu berbinar dengan begitu cerahnya. Sekali lagi, Sakha merasa silau dan langsung merasa kehilangan tatkala Akasa cemberut.

Rasanya seperti memainkan sakelar lampu.

"Ternyata kau orangnya sedikit menyebalkan, Bro."

Sakha hanya bisa tersenyum.

***

"Sekarang kau sudah tahu, lebih baik kau diam."

Pritha berdecak. Ia menatap Ningsih dengan sinis.

"Memangnya kau siapa jadi seenaknya mengaturku? Ini mulutku, bukan mulutmu." Gadis dengan rambut pirang itu menjulurkan lidahnya ke arah Ningsih. Hampir saja ia meludah—untung ia ingat kalau meludahi Ningsih berarti neraka untuk ketentraman hidupnya.

"Baiklah, kalau begitu kau juga tidak boleh menyuruhku menjauhi Akasa lagi."

Ningsih memudarkan jaraknya dengan Pritha. Ia balas menatap tajam ke arah gadis itu, tepat di sepasang manik putih gading menyipit yang sempat berkedut pelan. Ningsih mengangkat sebelah alisnya. Ia menyadari sedikit perubahan di air muka Pritha begitu mengungkit tentang Akasa.

"Aku bisa melihat kalau kau tak rela Akasa menyukaiku, hm?"

Pritha mengerjab beberapa kali. Mulutnya sedikit terbuka, hendak melayangkan protes. Lalu ia kembali memasang wajah datar.

"Memangnya siapa yang menyukai Akasa? Aku hanya ingin dia menjauh dari seorang putri kerajaan yang busuk sepertimu. Putri pembohong yang selalu membawa bencana untuk wilayahnya. Semua orang juga tahu kalau saat kau menolak pinangan dan—" Omongan Pritha terpotong tatkala Ningsih langsung membekap wajahnya. Gadis dengan dress putih itu pun langsung mengeluarkan sayapnya dan memberontak. Ia menerbangkan dirinya hingga tangan Ningsih hanya menggapai udara. Harus ia akui, seorang putri kerajaan seperti Ningsih memiliki kekuatan yang lumayan pada tangannya. Dagu Pritha yang pucat kini memerah pun menjadi saksi.

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now