BAB 8 - Menanggung Risiko.

67 16 0
                                    

"Jadi, darah biru itu memang tidak pernah Akasa miliki sedari kecil, Pritha. Kau tahu sendiri kalau dia memang dulu memiliki darah yang sama seperti manusia pada umumnya. Tapi—"

Bamasya baru saja memulai ceritanya kala mereka duduk di meja makan. Sakha bersebelahan dengan Pritha, sedangkan Akasa dengan Ningsih. Sementara Bamasya di tengah-tengah mereka. Posisi duduk mereka menjelaskan hubungan masing-masing yang tidak benar-benar akrab. Bamasya bersikeras memisahkan Pritha dan Ningsih agar tidak bersebelahan—keduanya bisa saja menimbulkan keributan lain. Awalnya Pritha hendak mengambil tempat di sebelah Akasa, tetapi ia dan Ningsih malah berebut kursi. Yang Mulia Putri itu berdalih kalau Sakha tidak mau duduk dengannya. Pritha justru merasa kesal dan mengambil posisi di samping Sakha. Keheningan sempat terjadi selama beberapa saat, masing-masing dari mereka terus diam dan Pritha terus menerus melayangkan tatapan tajamnya pada Sakha di sebelahnya.

"Kenapa kau dan putri busuk itu berkelahi?" Pritha bertanya, sedikit berbisik. Meskipun kesal dengan Sakha, gadis itu harus tetap menjawab rasa penasaran yang memuncak dalam dirinya.

"Kemarin, mereka berdua hampir membunuhku. Akasa menyelamatkanku, aku maafkan. Kalau untuk mawar berduri, aku tidak akan memaafkannya sebelum ia meminta." Sakha menjawab. Ia juga berbisik sambil memerhatikan kedua orang di seberang kursinya yang sedikit melirik ke arahnya.

"Mawar berduri? Haha, bagus juga julukanmu. Tapi harusnya sekalian mawar beracun, lebih cocok untuknya."

Sakha manggut-manggut sebagai jawaban yang mengakhiri aktivitas bisik-bisik keduanya. Ningsih terus menerus memerhatikan interaksinya dengan Pritha. Sepertinya perempuan itu cukup peka akan orang-orang yang membicarakan dirinya. Meski sesaat kemudian, ia membuang muka. Seolah tak peduli sama sekali.

"Ehem, tolong dengarkan saat aku berbicara. Atau aku tidak akan menceritakannya lagi." Bamasya menegur Pritha dan Sakha yang sedikit cekikikan, membuat keduanya terdiam seribu bahasa.

Merasa tak ada lagi sumber suara yang terdengar, Bamasya kembali berdeham.

"Jadi, darah biru itu adalah—"

Belum selesai Bamasya berbicara, omongan terpotong dengan gedoran kencang di pintu depan.

"Siapa itu?!" Bamasya langsung berdiri tegak dan memasang kuda-kuda. Wajahnya tampak tegang, seolah ia sudah tahu apa yang ada di hadapan.

"Ningsih, kau membawa apa ke sini?!" Akasa berteriak di samping telinga Ningsih, membuat gadis itu menutup kedua matanya. Ia juga langsung menutup telinganya yang berdengung mendengar teriakan Akasa.

"Duh, aku, kan, hanya melakukan sesuai yang seharusnya." Ia menjawab sambil menyipitkan mata, lalu mendelik ke arah Sakha.

"Yaitu melaporkan kalau ada penyusup dari dunia lain yang bersembunyi di rumah ini." Setelah tersenyum puas, Ningsih berdiri sambil berkacak pinggang. Kemudian sepasang sayapnya yang bercahaya cerah pun ia kepakkan. Dengan segera ia melesat ke arah pintu utama dan berusaha membukanya dengan sebelah tangan. Sisa sejengkal, ternyata Pritha tak kalah cepatnya mengambil langkah dan menarik tangan Ningsih.

Gadis berambut merah muda itu menggeram kesal.

"Bisa tidak, untuk sehari saja, kau tidak usah melawanku!" Ningsih kembali mencoba terbang ke arah pintu. Namun, Pritha menarik bulu-bulu pada sayapnya. Cahaya pada sepasang sayapnya berkelip-kelip layaknya sebuah senter yang baterainya sudah soak.

"Oho, kasus kecil begini tidak bisa menaikkan reputasimu yang rendah itu!" Pritha malah balas mengejek sambil terus menarik sayap Ningsih. Wajah yang memucat, rahang mengeras, dan kedua alis tertaut membuat Pritha turut meringis. Bagaimanapun itu, ia tetap berempati terhadap sayap Ningsih yang ia pegang erat. Pritha sendiri mengetahui bagaimana rasanya saat bulu-bulu sayapnya ditarik seperti akan rontok. Karena sayap ialah anugerah dan kelemahan bagi keturunan malaikat. Pritha langsung beralih menangkap kedua tangan Ningsih yang bebas.

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now