"Tapi aku hanya mengenalmu."

Sakha membalas tatapan Bamasya dengan lekat. Ia menunjukkan sorot mata yang lembut namun penuh keyakinan.

"Aku tidak pernah belajar beladiri, aku juga sangatlah buruk dalam pelajaran olahraga tapi aku cukup terampil dalam memainkan permainan adu strategi di arkade. Setidaknya itu kata orang-orang yang sering menonton di belakangku saat aku bermain dan menang beberapa kali." Sakha berdeham pelan lalu tersenyum tipis.

"Jika itu untuk menemui ayahku, mungkin aku akan melakukan apa saja. Aku bahkan keluar dari pekerjaanku dan berakhir disini. Akan sangat hampa jika aku kembali tanpa menyelesaikan misi yang sudah aku pilih. Aku sudah mengorbankan beberapa hal, termasuk kacamata ku yang sepertinya tertinggal di dekat jurang atau semacamnya hingga aku sulit melihat...."

Bamasya akhirnya mengangguk-angguk dan sedikit terkekeh.

"Untuk itu, aku sebenarnya meminta Pritha untuk memperbaiki kacamata mu yang sempat rusak saat Akasa berbalik untuk mengambilnya." Sakha mengangguk dengan bibir yang membulat seperti saat melafalkan huruf o.

"Dan ... sebenarnya, setelah bertemu dengan ayahmu, kau mau apa?" Bamasya berjalan mendekat dan meraih bahu Sakha. Ia kemudian merangkulnya dan membawa Sakha berjalan beberapa langkah.

"Aku ... kalau bisa ingin mengajaknya tinggal bersamaku—setidaknya itu yang kupikirkan saat bepergian ke desa. Tapi pada akhirnya aku tidak menemukannya dan ... setelah mengetahui dia berada disini, aku yakin kalau aku tak bisa membawanya pulang ke tempatku. Disini adalah rumahnya, bukankah begitu?"

"Kalau begitu, aku harus membawamu ke lokasi Layang, sepertinya kau akan menemukan beberapa kenalan disana. Tapi pertama-tama, aku ingin kau—"

Bamasya mendadak meraih punggung tangan Sakha dan meletakkannya di kenop pintu, lalu memutarnya searah jarum jam. Sakha pun menahan tangan Bamasya saat pria berbadan besar itu hendak melepaskannya. Meskipun memiliki perbedaan stamina, Sakha tetap berusaha sekuat tenaga hingga keringat mulai mengucur dari pelipisnya. Bahkan urat-uratnya menimbulkan diri di kulit tangannya yang tipis dan kurus.

"Tidak, anda tidak bisa—"

"Sakha?"

Sebuah suara yang begitu familiar membuat Sakha mendongakkan kepala. Rintikkan hujan dan bunyi pertemuannya dengan tanah membuat bising yang ramai. Namun hal tersebut tetap membuat Sakha mampu mendengar jelas lirihan yang dilontarkan sosok di hadapannya. Sosok yang beberapa waktu ini tidak ia temui semenjak pergi ke Kaliangan— berdiri di depan pintu dengan sebuah payung hitam di atas kepala. Matanya membelalak tak percaya, mulutnya sedikit menganga.

"Hanung?"

"Jadi kau yang selama ini mengetuk pintu?"

"Hah?" Sakha dibuat bingung akan pertanyaan Bamasya, sedangkan Hanung—gadis berambut seleher yang hanya mengenakan jaket hitam yang ukurannya kebesaran dan celana denim pensil justru mengangguk.

"Aku yakin aku memiliki ikatan dengan pintu ini, dan aku mengetuknya untuk memastikan apakah aku bisa membukanya atau tidak—tunggu, lihatlah!" Hanung membuka resleting jaket yang ia kenakan, Sakha sudah menutup matanya saat kulit leher gadis itu yang berwarna kuning langsat terlihat. Ia menurunkan resletingnya hingga hampir mencapai dada dan sedikit menyingkap kaos tipis berwarna putihnya di bahu sebelah kiri dan memamerkan sebuah tanda hitam. Seperti tato, tapi memiliki bentuk yang sama seperti pada pintu portal yang terbuka sempurna.

"Sakha, buka matamu, dia memakai pakaian di dalamnya kok."

Begitu membuka mata, Sakha termundur beberapa langkah saat menyaksikan bahu kiri Hanung.

"Berlebihan sekali, memang benar Sakha ternyata." Hanung pun merapikan kembali kaosnya.

"Oke, jadi kemarilah." Bamasya pun mengulurkan tangannya, yang langsung disambut oleh Hanung.

"Terima kasih." Gadis itu berujar pelan dengan sebuah senyum tipis. Ia melepaskan payungnya dan membuangnya ke luar pintu, seketika tergeletak di atas tanah dan genangan air.

"Pertama-tama maafkan aku Sakha, tadi aku hanya ingin kau membuka pintunya. Aku juga hanya menguji apa kau ingin pulang atau tidak. Siapa tahu kau berhati bak pengecut setelah berjumpa dengan Danendra."

"Danendra?" Hanung bertanya heran.

"Iya, dia Danendra. Adi Balan atau bernama asli Danendra Rindualam, dia memang benar sepupumu Sakha."

***

Akasa meringis kesakitan setelah menepis seluruh serangan Balan. Keduanya kini tengah berada di tengah-tengah taman bunga, terus menghindar dan memberikan serangan antara satu sama lain. Balan mengarahkan serangan sihir hitamnya sedangkan Akasa memantulkannya dengan sebilah pedang yang ia miliki. Namun barusan Akasa terkena hantaman pedangnya sendiri karena sihir yang harus ia tahan sangatlah kuat. Bahkan tubuhnya terpental beberapa meter ke belakang. Untung saja ia mendarat di atas bunga-bunga, atau buntung? Ningsih selalu pemilik taman pasti akan memarahinya habis-habisan—ah, jangankan itu, bibi yang merawat taman Ningsih ini pasti juga akan meneriakinya karena berhasil membuat beberapa balok bunga menjadi pipih semuanya karena tertindih dan terlindas.

"Orang lemah sepertimu, pengawal pribadi Ningsih? Hahahahaha!" Balan dengan puasnya tertawa. Tawa renyah yang menggema itu membuat Sakha, Bamasya, dan Hanung yang hanya bisa ikut-ikutan mengetahui dimana letak Balan.

Kini ketiganya sudah tiba. Mereka bersembunyi di balik pilar-pilar yang ada di sekitar taman. Bamasya mengeraskan rahangnya. Ia merasa kesal melihat puteranya kesakitan. Belum lagi Sakha yang juga merasa marah karena Akasa terlihat begitu tersiksa.

Dengan sebilah pedang yang ada di tangannya juga, Sakha berlari ke arah Akasa begitu Balan melemparkan sihir hitamnya lagi. Sakha juga menggunakan pedangnya sebagai tameng yang memantulkan serangan Balan. Setelahnya Sakha berlari ke depan dan berusaha meraih tubuh Balan yang melayang dengan ayunan pedangnya yang dapat dengan mudah dihindari. Bamasya pun berlari ke arah Akasa, ia segera membopongnya dan membawanya ke pinggir

"Nona, aku titipkan putraku padamu."

Ia menaruh kepala Akasa di atas pangkuan Hanung yang terduduk di balik pilar. Hanung yang terkesiap pun hampir saja menjatuhkan kepala Akasa, namun kemudian ia segera menahannya dengan kedua tangannya. Posisinya seperti memeluk kepala Akasa.

Bamasya kembali berlari dan meraih pedang milik Akasa yang tergeletak diantara bunga-bunga. Ia langsung membantu Sakha saat Balan hendak menembakkan sihirnya, masih dengan strategi memantulkan sihir.

"Apa yang harus kita lakukan, paman?"

"Kita harus mengulur waktu, harusnya mantra yang ia pasang untuk Yang Mulia dan Putri akan segera terlepas. Aku juga sudah menghubungi Pritha agar segera kemari." Bamasya terus menahan serangan Balan. Sakha pun berusaha melakukan hal serupa.

Kemudian kening Sakha berkedut saat sihir hitam itu terpantul kan ke arahnya. Sakha langsung mengubah pegangan pada pedangnya. Dari yang sebelumnya memegang dengan satu tangan, kini Sakha memegangnya seperti sedang memegang tongkat bisbol. Ya, Sakha berusaha mengeker tubuh Balan dengan memantulkan sihir hitam yang terpantul ke arahnya.

Percobaan pertamanya berhasil dihindari Balan. Bahkan Balan jadi memperbanyak serangannya. Bamasya yang membaca situasi pun mengarahkan pantulan dari pedangnya ke arah Sakha.

Dengan senyum tipisnya, Sakha kembali mengayunkan pedangnya untuk mengarahkan serangan kembali kepada Balan.

Baru saja Sakha merasa berhasil akan mengenai Balan—pemuda itu berubah menjadi kumpulan kelelawar dan menghilang.

"Ah, sial! Pengecut sekali dia, lari di saat-saat menyenangkan!" Bamasya berseru kesal, sedangkan Sakha membenarkan napasnya yang tersengal-sengal. Ia tersenyum puas dan menatap ke arah pedang di tangannya.

"Paman, bolehkan kau mengajariku berpedang?"

"Tentu saja, aku akan mengajarkan segalanya padamu agar kau bisa menghabisi Balan sialan itu!"

Sakha terkekeh, lalu ia melirik ke arah Hanung. Ia memasang senyum tipis sedangkan gadis itu malah membuang muka. Bahkan kepala Akasa hampir terjatuh ke ubin jika saja Hanung tidak segera meraihnya lagi.

***bersambung

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now