Bab 11

152 14 17
                                    

(PENGGAGAS)

Aku dan Pak Robert tiba di Ballroom tempat dilangsungkannya resepsi pernikahan Silvy Yunika Istahayu. Dia itu salah satu staffku yang ternyata anak Pak Suyoko Istahayu ketua DPRD, teman lama ayah. Jadi ayah dan ibu pun mendapat undangan ke acara ini.

Acara resepsi ini mengusung konsep standing party. Tamu undangan bebas datang kapanpun asalkan pada lima jam yang sudah ditentukan.

Aku memilih datang agak siang dengan Pak Robert, sementara bapak dan ibu sudah lebih dulu tadi karena hari ini harus menghadiri tiga undangan kawinan lain. Resiko pejabat.

Mungkin Pak Robert menginfokan waktu kedatanganku kepada staff lain, sehingga banyak pegawai Bappeda yang datang hampir bersamaan denganku. Termasuk Rose yang kini tertangkap pandanganku.

Agak aneh melihatnya dengan kebaya cantik begitu. Biasanya Senin dan Selasa pakai stelan khaki, kalau Rabu pakai hitam putih, Kamis pakai batik, Jumat cuma pakai kaos, atau kadang korpri saat ada upacara. Sekarang pakai kebaya jadi agak manglingi, tapi cantik.

Dia berdiri di depan stand kueh manis. Sendirian, nggak sama pacarnya. Maksudku, cowok yang kemungkinan pacarnya yang kulihat dia antar ke GOR beberapa bulan lalu.

Kebetulan aku dan cowok itu memiliki jadwal badminton di hari dan gelanggang yang sama, cuma beda jam. Aku tidak menegur cowok itu sih, apalagi ngobrol, tapi sepertinya itu pacar Rose.

Ah, bukan urusanku juga.

Tanpa ragu aku menolak ajakan Pak Robert untuk mencicipi gulai kambing. Malah setelah itu kakiku memilih berjalan menghampiri Rose yang ada di stand kueh.

Ketika sudah di dekat punggungnya, aku menegur sambil mengambil daun kering kecil yang tersangkut di rambutnya, "Ada daun ngikut konde kamu, nih."

Ia menoleh. "Eh, ya ampun." Kedua matanya membelalak kaget. "Pak kaban? Eh. Makasih, makasih, tapi btw nyebutnya sanggul aja, jangan konde kali, Pak," tukasnya sambil memegang-megang rambutnya sendiri yang disanggul rapi seperti gaya rambut pramugari.

Perhatianku beralih dari rambutnya pada wajahnya. Ia nyengir hingga kedua matanya menyipit, memamerkan warna shade cokelat yang manis di kedua kelopaknya. Cokelat manis.

"Gagas aja kalau di luar," dehemku cukup jelas, lalu mengambil piring kecil dari meja stand. "Sendirian?" tanyaku lagi.

Ia menaruh piringnya yang sudah kosong ke troli piring kotor di sebelah stand. Sambil melirik seperti kucing, ia menjawab, "Enggak, Pak, sama Nadhira."

Sambil mengambil kue klepon aku meliriknya.

Aku bukannya udah minta dipanggil Gagas saja tanpa embel-embel pak? Terus yang namanya Nadhira saja ngobrol sama pasangannya di pojok lain sana. Memang mau bikin kesal anak ini.

"Nadhira mojok di sana tuh, kamu di sini sendirian."

Senyum nyengirnya terbit seketika. "Kirain tadi nanyain saya datang sama siapa," kelitnya. "Sekarang emang sendirian, Pak, tapi tadi berangkat nebeng Nadhira sama suaminya. Soalnya, mobil di rumah dipakai bapak sama ibu nengok adek saya di kos. Ada cuma motor. Masa sanggul tinggi begini saya pakai helm, ya nggak sip, lah."

"Panjang banget penjelasanmu, ngarep saya antar pulang, Rose?"

"Eh, astaghfirullah. Nggak lagi deh ngobrol sama bapak."

Aku tersenyum tanpa bisa menahan lagi. Kembali aku melihat kueh-kueh di stand dan cuma meliriknya yang celingukan. Dari gelagatnya seperti cari celah untuk melarikan diri. Kebaca banget, Rose.

"Pilihin saya kueh, dong!" pintaku menahannya. "Yang enak yang mana?"

Ia berhenti menengok kanan kiri dan kembali menatapku. "Kan saya nggak nyicip semua, Pak," balasnya, ngedumel berhias tawa. Dia memandang piringku yang sudah terisi satu klepon. "Eh, kleponnya enak. Ambil lagi aja."

SEMUA ADA WAKTUNYAWhere stories live. Discover now