📷 chapter f o r t y t w o

1K 142 27
                                    

Menemukan keberadaan Papa yang tengah bersiap untuk sarapan di meja makan adalah pemandangan yang sungguh langka bagi Radya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Menemukan keberadaan Papa yang tengah bersiap untuk sarapan di meja makan adalah pemandangan yang sungguh langka bagi Radya.

Ah, sebenarnya bukan itu saja. Selama seminggu ke belakang pun sudah terjadi hal serupa di mana Papa rela meninggalkan pekerjaannya hanya karena sang anak laki-laki. Alasannya memang sudah karena khawatir. Namun, Radya sendiri tidak tahu harus senang atau bagaimana menanggapinya. Atau mungkin kecelakaan yang ia alami patut disyukuri sebab berhasil membuat Papa akhirnya mau meluangkan waktu untuknya?

Oh, yang benar saja. Radya tertawa pahit dalam hati. Tapi, mau bagaimana pun juga, setidaknya masih ada hal positif yang dapat ia ambil setelah kejadian ini.

Adalah rasa sayang dan kepedulian seorang ayah yang tak mungkin mudah pudar begitu saja.

"Oh, sudah bangun kamu, Rad?" tanya Papa retorik setelah menyadari kehadiran Radya yang sudah tampak rapi. Melihat tangan kanan anaknya yang menjinjing ransel hitam, Papa kembali melontarkan kalimat, "Jadi, kamu memang serius mau masuk kuliah hari ini."

"Mana mungkin bercanda, Pa," balas Radya sekenanya seraya ia menarik satu kursi kosong di hadapan Papa dan lekas menempatinya. Sementara tas miliknya ia taruh pada kursi di samping.

Setelahnya tidak ada percakapan yang terjadi ketika acara makan pagi dimulai. Keheningan hanya diisi oleh bunyi sendok dan piring yang berbenturan. Namun, tanpa Radya sadari, diam-diam Papa memerhatikan gerak-geriknya yang sedikit kesusahan sebab tak bisa menahan piring dengan tangan satunya. Pandangan pria itu kemudian naik pada wajah sang anak laki-laki. Tak ada ekspresi apa pun; pandangannya terasa hampa; kantung matanya tampak sedikit menebal dan menghitam.

"Tidur kamu nggak nyenyak?" Papa akhirnya menyuarakan perasaan khawatirnya.

Radya menengok, geming sesaat. Kemudian ia kembali beralih pada santapan paginya. "Mimpi buruk yang sama kayak waktu aku masih di rumah sakit, seolah-olah aku kembali ngalamin kecelakaan itu ... jatuh dari ketinggian," balas Radya yang sama sekali tidak berencana untuk menutupinya.

Papa menghela napas berat. Usai menimbang-nimbang sesuatu, Papa lantas bertanya, "Apa Papa perlu bawa kamu ke psikiater juga, Rad?"

Gerakan tangan Radya yang hendak menyuapkan nasi mendadak terhenti. Namun, ia tidak terkejut. Entah mengapa ia sudah menduga Papa akan berkata demikian jika dirinya berkata jujur. Sebab Papa pasti menginginkan yang terbaik untuk kesembuhan fisik maupun psikisnya. "Nggak perlu, Pa, nggak separah itu," tolak Radya secara halus.

"Tapi hal seperti ini juga tetap butuh penanganan khusus, Rad."

"Tapi aku yang paling tau keadaan diri aku sendiri, Pa. Untuk saat ini aku beneran nggak butuh psikiater."

"Kamu yakin, Radya?"

Radya mengangguk singkat. "Aku juga pasti nggak bakal tinggal diam semisal rasa trauma itu makin parah dan bikin aku kewalahan sendiri. Jadi, Papa tenang aja. Aku bakalan bilang ke Papa kalau hal itu beneran terjadi."

Through the Lens [END]Where stories live. Discover now