Pagar Makam yang Berlumut

1.3K 125 8
                                    

Wanita tua itu berjalan terseok-seok. Sandal jepit yang ia pakai, yang sudah berkali-kali ia tambal, tampak semakin menyedihkan. Kakinya menapaki bebatuan di pinggir sungai dengan cepat dan gelisah. Berkali-kali juga ia hampir terjatuh terpeleset. Jika saja ia kehilangan konsentrasi pada permukaan jalan yang sedang ia tapaki, pasti dua hari kemudian warga akan menemukan jasadnya mengambang di atas sungai dengan kepala berdarah terhantam batu.

Tetapi wanita yang memakai atasan merah belel dan celana terusan hitam itu tidak menyerah. Sudah setengah jam lebih ia terus meneriaki nama suaminya, Kurniawan. Tenggorokannya semakin kering, kerongkongannya sakit karena terus berseru-seru tanpa hasil apapun. Sekarang sudah hampir menjelang maghrib, sebentar lagi bulanlah yang akan masuk shift kerja menerangi langit desa ini. Namun, sejak siang tadi, suaminya tetap tak kunjung ditemukan.

"Pak! Bapaak!" seru Lilis dengan wajah paling cemas. Kepalanya menoleh ke segala arah. Aliran sungai tampak tenang, tak sesemrawut hati Lilis yang penuh kekhawatiran. Pepohonan di sekitarnya bergoyang-goyang santai, tidak semenggebu dada Lilis yang kembang kempis memikirkan kemungkinan terburuk akan nasib suaminya.

Kurniawan adalah orang dengan gangguan kejiwaan, yang seringkali mengamuk dan pergi sesuka hati. Tetapi lelaki berusia 50 tahun itu tidak pernah pergi selama ini-paling mentok hanya dua jam dan dengan cepat akan ditemukan sedang menangis di kuburan. Namun, hari ini Lilis tidak menemukannya dimanapun. Kurniawan yang sudah abnormal perilakunya bisa saja kabur sejauh yang ia bisa, keluar dari desa itu, dan menjadi gelandangan selama bertahun-tahun.

"Bapaaaak!" Lilis membungkuk, ia begitu kelelahan. Peluhnya membasahi seluruh tubuhnya. Ia pun duduk terjatuh di atas rumput di pinggir sungai.

Sekarang warga juga sedang membantu mencari suaminya. Ke segala penjuru desa. Bahkan beberapa pemuda sampai mencari ke desa sebelah. Warga mengutamakan melakukan pencarian ke pemakaman-pemakaman. Kurniawan memang sering menangis di atas pusara orang lain, siapapun itu. Berpindah-pindah tempat. Berteriak-teriak seperti orang takut masuk neraka. Terkadang membentur-benturkam kepalanya ke batu nisan. Saat ditemukan tentu dahinya sudah berdarah-darah. Kecuali, saat mendatangi makam Kiyai Rakhmat, Kurniawan selalu ditemukan dengan keadaan tertidur pulas.

Namun yang dikhawatirkan Lilis bukan sekadar ancaman jika Kurniawan kabur dari desa dan menjadi gelandangan di tengah kota. Melainkan bagaimana jika nyawa suaminya sudah melayang tertabrak kereta? Untunglah, tidak ada potongan jasad manusia di rel keret dekat sini. Lalu, kemanakah perginya Kurniawan? Berulang kali Lilis melirik sungai, takut-takut ada lelaki berbaju putih yang menelungkup terbawa arus.

"Kamana atuh bapak teh (Kemana bapak)?" ucap Lilis lirih. Dia sudah hampir menyerah. "Tong ngahariwangkeun (jangan bikin khawatir)." Lilis kembali menangis dengan sedih. Dia tidak bisa membayangkan suami yang ia cintai dan ia rawat dengan sepenuh hati selama lebih dari 30 tahun akan pergi meninggalkannya selamanya.

BRUK!!

Di tengah kehancuran hatinya, Lilis mendengar sebuah suara benda berat terjatuh dari arah kirinya. Wajah Lilis berubah waspada. Ia menoleh ke arah suara, semak-semak tinggi seolah kembali memandang dirinya.

Mata Lilis melebar setelah menyadari suatu hal. Ia langsung berdiri tanpa membersihkan sisa rumput di celananya. Air matanya tidak lagi keluar. Ia melotot seraya berjalan dengan perlahan menuju semak-semak, lalu menembusnya, tak peduli apakah di sana ada ular atau binatang lainnya.

Tangannya menyingkirkan ranting semak dan rumput setinggi dada. Hanya perlu beberapa langkah lagi, ia sudah bisa melihat pagar tembok putih dengan lumut hijau yang menempel di seluruh sisi dan sudutnya. Lilis menahan nafas. Ini makam yang belum dijamah warga. Makam tua, tumbuhan liar dimana-mana. Tak terawat, tak pernah diziarahi. Makam yang Lilis belum pernah lihat sebelumnya.

BELASUNGKAWA IIWhere stories live. Discover now