The Mumuns

885 111 34
                                    

Pagi pun menjelang, lebih tepatnya pada hari Senin yang sangat dingin di Kota Solo. Harrir bangun dengan kedua tangan terangkat, menggeliat seraya berkata dengan sangat ceria.

"Selamat pagi dunia tipu-tipu!" serunya tanpa disahut oleh Jawad yang tengah serius mengerjakan tugas kantornya di meja belajar.

Ali memutar bola matanya di ruang tamu saat mendengar nada bicara Harrir yang seolah mengejek dirinya yang baru tidur tiga jam. Kini ia sedang menyibukkan matanya agar tidak ngantuk dengan membaca debat politik di kolom komentar aplikasi X. Mau tidur pun nanggung sekali. Kurang lebih satu jam lagi, semua orang akan bergegas menuju kelas kursus bahasa Inggris hari pertama mereka.

Setelah ketiga sepupu mandi dan sarapan enak, mendadak perut Harrir mengeluarkan bunyi gemuruh yang mengerikan.

"Duh, kayaknya harus setor dulu ini mah euy." Harrir meringis, memegangi perutnya yang terasa melilit menyakitkan.

Ali melirik jam tangannya. "Lima menit paling, A. Kita bisa telat."

"Akan hamba usahakan." Harrir melesat masuk ke dalam kamar mandi. Suara konser setorannya terdengar sampai ke ruang tamu, membuat Jawad dan Ali sejenak saling pandang jijik tapi kemudian terkekeh cukup lama.

Sayangnya, bukan lima menit seperti kesepakatan awal Harrir diberikan tenggat waktu untuk setor. Jam sudah menunjukkan pukul 7:37. Itu artinya, sudah setengah jam lebih Harrir ada di dalam sana. Dengan santainya ia malah bersenandung lagu Denting dari Petra Sihombing.

Jawad menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan keras. "UDAH BERES BELUM? BENTAR LAGI KELAS DIMULAI!"

"IYAAA INI UDAH!" jawab Harrir.

"KALAU UDAH KENAPA GAK KELUAR DARI TADI?" tanya Jawad seraya mengusap wajahnya.

"TANGGUNG SATU LAGU PETRA SIHOMBING!"

"YEEE," Jawad menghela nafas pendek. Dia paling tidak bisa datang terlambat, apalagi ini tentang kelas level TOEFL/IELTS dengan wajah-wajah baru yang akan menjadi teman diskusinya. Dia harus membuat first impression yang baik! "CEPET AH PUTRA SISUMBING!" Jawad pun melengos, keluar kamar mereka dan menuju mobilnya di parkiran dormhouse.

Harrir dan Ali menyusul keluar tak lama kemudian. Sudah siap menggandeng tas punggung yang tak terlalu besar berisi buku-buku dan botol mineral. Jawad belum juga menyalakan mesin mobilnya. Ia berdiri dari posisi jongkok ketika keduanya datang menghampiri.

"Kenapa, Bang?" tanya Ali seraya menyerahkan tas selempang hitam milik Jawad.

"Mobilnya gak bisa dihidupin," jawab Jawad dengan wajah pucat. Ia sudah mencoba men-starter mobilnya, tapi hanya gerungan malas yang dihasilkan. Padahal bensin masih sangat penuh. Ketika dicek mesin pun tidak ada yang cacat. Semua kabel tersambung. Bagian bawah mobil aman. Bannya pun tidak ada yang kempes ataupun bocor. Ini benar-benar di luar kendalinya.

Ali menganga mendengar penjelasan kakaknya. "Lah, terus gimana atuh?"

"Jalan paling," sahut Harrir sembari memandang gerbang yang terbuka lebar di depan mereka. Jalan menuju gedung utama English Academy memerlukan waktu tempuh yang tidak sebentar. Buktinya saja, kemarin saat mereka sampai, naik mobil adalah ide yang paling tepat.

"Jam berapa sekarang?" tanya Jawad, mengedikkan kepala ke jam tangan Ali.

"Jam 9:45."

Baik Ali, Jawad, maupun Harrir, ketiganya sama-sama menegakkan tubuh. Wajah mereka tercengang, masing-masing langsung mememikirkan kemungkinan terburuk.

"YA ALLAH LIMA BELAS MENIT LAGI!" Harrir dan Jawad memperjelas dengan kompak.

"Mau gimana lagi?" tanya Jawad. Ia menarik nafas, bersiap-siap untuk mengerahkan seluruh tenaganya.

BELASUNGKAWA IIWhere stories live. Discover now