Bagas

649 100 23
                                    

Bagas berlari tergopoh-gopoh dengan wajah yang cemas sekali. Peluh di dahinya ia seka dengan punggung tangan. Ia masih memakai baju tidurnya. Ponselnya masih digenggam saat sampai di depan Jawad, Harrir, dan Ali. Ia menunduk untuk mengatur nafas dan bertanya, "Mana tanahnya, Pak?" tanyanya. Ternyata setelah wajahnya tersorot oleh lampu depan kamar, ia terlihat masih sangat muda. Mungkin hanya satu atau dua tahun di atas Harrir.

"Anda siapa? Uh, maksudnya—" Jawad menggeleng cepat. "Mas bukan yang tadi ditelepon, 'kan?" Jawad heran karena suara di telepon tadi terdengar seperti lelaki usia 30 tahunan.

Bagas menggeleng. "Saya bukan petugas, Pak. Disuruh ayah buat ngecek langsung."

"Plis, lah, jangan panggil saya bapak," kata Jawad, mulai meredakan kekesalannya soal kamar. Ia merasa bersalah karena membuat Bagas kecapean seperti ini. "Panggil aja Mas atau Abang... atau Aa."

"Om," timpal Ali, seakan meluruskan.

"Abah," sambung Harrir mantap.

Bagas hanya tersenyum menanggapi mereka dan membuka pintu kamar nomor 2, diikuti Jawad. Mereka berdua saling berbincang setelahnya, bercakap-cakap soal kamar kosong lain.

"Dia seumuran Aa ya?" tanya Ali. Harrir mengangguk, lalu menggeleng. Tidak yakin juga, tapi ia berpendapat sama. "Lumayan juga mukanya—"

"Heh!" Harrir mendorong kacamata Ali ke hidungnya. "Istighfar."

"Ya Allah Aa pikiran lu!" Ali mendengus kesal. "Maksudnya... Tadi baru banget gw ngeluh soal hidup gw. Keknya ada aja halangan selama ini mau ke sini. Ya gak? Ngerasa, 'kan? Padahal kita bakal seneng-seneng. Kapan lagi coba ngumpul kayak gini? Protes sama Tuhan, lah, intinya." Ali berhenti sejenak. Harrir mendengarkan, walau setengah pikirannya ada di pemandangan di dalam kamar mandi tadi. "Terus ngelihat Mas Bagas langsung.. yeah, kita ke sini untuk liburan. Dia masih kerja aja." Ali mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya, seperti orang bijak.

Suara jangkrik dari arah belakang dormhouse menemani keheningan di antara mereka. Jawad dan Bagas tertawa entah soal apa, dan suara motor dengan knalpot nyaring juga sayup-sayup terdengar dari arah jalan raya. Meski area English Academy ini cukup jauh dari jalan, tapi kesunyian malam membuat suara-suara kendaraan dari luar masih bisa terdengar.

Jawad dan Bagas keluar tak lama setelahnya, dengan Bagas yang tengah menelopon seseorang di seberang sana untuk membawakan kunci kamar.

Jawad melipir mendekat ke Ali dan Harrir, lalu berkata pelan. "Dia anak yang megang cabang English Academy Solo."

Harrir melebarkan mata. "Serius?!"

Jawad mengangguk. "Gak heran 'kan?" tanya Jawad, secara tidak langsung berkomentar soal penampilan Bagas yang lumayan necis walau pakaiannya sederhana.

"Gila," gumam Ali. Jawad terkekeh dan pergi menghampiri Bagas yang sudah selesai dengan urusannya. "Awalnya gw yang kasihan ke dia, ternyata gw yang lebih dikasihani."

Harrir terbahak kencang sekali. Ia mendorong-dorong lengan Ali yang kini berwajah datar. Tawa Harrir menggelegar di sepanjang lokasi dormhouse putra—yang denahnya sama persis dengan dormhouse putri.

"JANGAN RIBUT!" bentak seseorang dari sebelah kamar mereka, kamar nomor 3, yang lampu depannya tidak menyala. Harrir mengatupkan bibirnya rapat-rapat, masih sambil menertawakan Ali yang air mukanya tanpa ekspresi.

"Maaf, maaf..." kata Harrir, mencoba menenangkan diri.

"Kita pindah ke kamar 12 guys," kata Jawad kepada Ali dan Harrir, tepat ketika seorang laki-laki paruh baya—memakai kaus oblong hitam—menyerahkan kunci kamar kepada Bagas."Bawa dulu barang kalian," perintah Jawad.

BELASUNGKAWA IIWhere stories live. Discover now