Waktu Istirahat

639 92 18
                                    

Makanan di Kantin English Academy tidak seburuk penampilannya. Ada empat kios makanan, yang satu di antaranya kosong, letaknya paling ujung dan bersandar ke benteng yang lumutnya baru saja dibersihkan. Kios yang tutup itu bertuliskan "Aneka Minuman". Mehri mengeluh saat melihat kios itu. Ia sudah kepingin sekali minum soda susu dingin setelah berjam-jam berada di dalam kelas.

Semua mejanya ditutupi motif teh botol sosro, tujuannya untuk menutupi tampilan kayunya yang sudah lapuk. Khas kantin umum. Salah satu kali kursi yang diduduki Ali juga sempat meleyot, tapi tak jadi masalah karena menu yang ditaruh di depannya mengalihkan perhatian.

3 kios itu menyediakan; makanan tradisional khas solo, jajanan, dan junk food seperti burger dan kebab.

"Pengen mie Indomie goreng pake kornet, ah," gumam Harrir.

"Jauh-jauh ke Solo makan Indomie?" sindir Zahra sinis.

"Ye, 'kan Aa emang udah tinggal di Solo lama. Kalau di kos belinya pasti makanan khas sini-sini juga. Udah bosen," jelas Harrir. Zahra hanya berdecak pelan mendengar penuturan kakaknya yang sebenarnya tidak salah sama sekali.

The Mumuns pun memesan makanan masing-masing di secarik kertas pesanan. Dalam waktu yang lumayan singkat, Mba penjual kembali ke meja mereka dan menyuguhkan makanan-makanan menggiurkan. Ketika Mba kembali ke tempatnya, Jawad masuk ke area kantin bersama seseorang di sebelahnya. Para sepupu menoleh bersamaan, mata mereka langsung tertuju pada lelaki berbaju hitam dengan tubuh tambun di sisi Jawad.

"Siapa itu?" bisik Zahra penasaran.

"Kamu nanyeak?" ujar Harrir dengan bibir mencibir. Zahra mengerucutkan bibir. Tentu saja tidak ada yang tahu siapa laki-laki itu.

Hanya saja, matanya seperti sedang alergi sesuatu. Dari jauh saja, bagian putih bola mata lelaki itu terlihat merah. Muthi langsung ingat bahwa ia adalah lelaki yang dilihatnya ketika di kelas beberapa jam yang lalu.

Jawad dan lelaki itu saling melambaikan tangan, berpisah di ujung kantin. Lelaki itu pergi entah kemana, ke balik spanduk besar English Academy. Yang pasti, ia memutuskan untuk tidak makan siang bersama murid-murid yang lain.

Belum sempat Mehri membuka mulutnya untuk bertanya siapa lelaki itu, Jawad sudah lebih dulu berkata, "Rofi. Temen abang di kelas."

"Ooh..." Zahra membulatkan bibirnya.

Jawad duduk di sebelah Mehri dan mengambil sepotong kentang goreng miliknya. Muthi masih memandangi spanduk besar itu, seolah Rofi masih ada di sana dan balas menatapnya walau ia sudah hilang dari pandangan. Muthi merasakan ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Bukan karena pakaiannya yang serba hitam, atau matanya yang merah—melainkan hal lain yang sulit dijelaskan.

Siapa ya dia?

Menit dan menit pun berlalu. Mereka bersantap ria dan saling berbincang seru soal pengalaman di kelas.

"Bagas ternyata Coach kita," ungkap Ali.

"Wah iya?" Jawad tampak kagum. "Keren pisan atuh euy masih muda (keren banget)."

"Yoi," Zahra menyetujui, ia melirik Muthi yang sedang sibuk makan roti bakarnya.

"Nambah lagi, ah!" Harrir berdiri setelah menghabiskan mie gorengnya. Ia mengusap kedua tangannya yang sempat kesemutan dan  menuju kantin khusus jajanan. Ada ragam rasa Indomie lain di sana. "Mba, mau rasa ayam bawang pakai telur dua, sosis, baso, sama sayur. Cabenya dua yang merah utuh. Yang gendut." Mba penjual tadi mengangguk mendengar pesanan Harrir—yang sekarang tertarik dengan gorengan-gorengan di atas meja.

The Mumuns kini sibuk membicarakan bagaimana kelas Jawad berlangsung, apakah menyenangkan atau terlalu serius. "Itulah serunya di sini. Pendekatan pembelajarannya beda. Jadinya seru, gak bikin stress."

BELASUNGKAWA IIWhere stories live. Discover now