KILLING ME SOFTLY

1.9K 86 4
                                    

Kath menjelajah dunia melalui ponsel pintarnya, sebuah gambar surgawi membangkitkan indranya. Ia membayangkan pantai biru berpasir putih dengan batu karang super besar dan ombak yang tenang menyapu kaki nya. Angin laut yang menerpa wajah Kathleen, gaun panjang Kath berayun dipermainkan angin sebelum basah oleh hempasan ombak yang bergulir di bibir pantai. Pantai Panama. Kath berandai jika bisa sebentar saja pergi ke tempat itu. Pikirannya kalut dipenuhi wajah Eric yang tampan dan setiap jengkal anggota tubuh pria itu amat memesonakan.

Kath harus meninggalkan dunianya sejenak untuk berpikir jernih, pria itu sudah terlalu banyak membubuhkan racun ke dalam darah Kath sehingga otaknya tidak bertungsi normal.

Sejujurnya Kath tidak berminat menjalin hubungan dengan Max, ia merasa tidak cukup alasan untuk memantaskan diri berdampingan dengan pria sekelas Max. Sudah jelas minat Max tentang dirinya hanya menjadikan umpan bagi Eric. Keduanya adalah saingan bisnis yang terlihat berteman namun sebenarnya rival. Kath tidak mau dimanfaatkan dua pria brengsek dalam satu waktu.

Kath mengingat percakapan nya semalam saat Max menghubungi lewat ponsel. Pria itu terang-terangan memintanya untuk menemaninya berlibur ke Panama, Florida. Playboy sialan! Kath mengumpat dalam hati. Pria itu ingin meniduriku di pinggir pantai atau mungkin di salah satu kamar termahal di hotel Panama.

Kath merinding memikirkan adegan mesum mereka jika terjadi. Eric sudah tentu akan membunuh mereka berdua begitu kembali. Eric juga sama saja, pikir Kath. Hanya memanfaatkan tubuhnya demi kesenangan. Tanpa ikatan, tanpa perasaan.

Siang harinya Kath membawa lembaran pengajuan cuti kerja ke hadapan bossnya, Eric. Ia bersungguh-sungguh ingin menjernihkan pikiran. Tapi pagi hari ketika tiba di tempat kerjanya, hari ini ia melihat iblis tampan itu mengenakan kemeja berwarna biru cerah dan bawahan jeans ketat lengkap dengan sepatu boot. Satu kancing kemeja dibiarkan terbuka, rambutnya separuh lembab oleh minyak rambut dan aroma kolonye maskulin memenuhi ruangan staff yang berukuran 4x5 meter persegi. Kath mengumpat dalam hati kemudian meletakkan tas nya lalu menenggelamkan wajahnya ke balik layar PC nya.

Kath mengetuk pintu ruang Eric sebelum mendorong nya perlahan. "Excuse me, Mr. Grant."
Tanpa disuruh Kath meletakkan sebuah map ke atas meja dan berbalik pergi menuju pintu keluar.

"Kemarilah." Langkah kaki Kath terhenti.

Kath mengerang dalam hati karena berharap segera pergi dari ruangan Eric. Ia berbalik dan mendapati pria itu membuka pengajuan Kathleen dan membacanya. Kathleen gugup setiap berhadapan dengan Eric. Apalagi ketika pria itu menatapnya amat dalam seperti yang dilakukan Eric saat ini. Rambut Eric dibiarkan setengah berantakan membuat Kath gemas ingin menyentuhnya.

"Siapa yang mengajakmu pergi?" Tanya pria itu dengan suara seraknya.

Kath membasahi bibirnya karena gelisah. "Tidak ada." Jemari tangan Kath menyisir rambut ke belakang, ia mencari pengalihan agar tidak menampakkan kegugupannya. Ketika kedua matanya bertemu mata Eric, Kath menyadari pria itu terlihat semakin dingin berapi-api.

"Aku bersumpah, tidak ada orang lain. Hanya diriku sendiri." Ucap Kath dengan tegas.

"Aku tidak akan memberikan izin" jawab Eric cepat.

"No way!" Tukas Kath kesal. "Kau harus menerimanya, Eric."

Pria itu marah karena Kathleen menyebut nama depan nya. "Panggil nama belakangku, Miss Beckett."

"Go to hell, Eric." Ucap Kathleen kemudian berjalan keluar dengan penuh amarah.

Kathleen berjalan dengan dada sesak oleh mata nya yang basah, air matanya terbendung. Ia tidak boleh menangis cengeng seperti anak kecil. Ia hanya harus berhenti memikirkan Eric dan bekerja seperti orang normal. Kathleen menghabiskan waktu setengah jam di lantai atap gedung, ia menata kembali kepingan hatinya yang telah retak berkeping-keping.
Jika pria itu tidak mengizinkannya pergi, maka Kathleen harus mengabaikan pria itu sebanyak mungkin sekuat yang ia bisa.

ONE NIGHT STAND WITH MY CEOWhere stories live. Discover now