[IND] ch. 1

275 19 1
                                    

Kerajaan Amburse runtuh. Seluruh warga yang tersisa berhamburan layaknya semut setelah sarangnya diinjak, tidak terkecuali bangsawan yang seringkali bolak balik memasuki istana. Ketika raja mereka terbaring berlumuran darah, singgasana hanyalah kursi kayu belaka.

Arlesca Souvense, putri ke delapan raja Amburse, melarikan diri sekuat tenaga. Tangan kosong. Pelayan tidak memedulikan sang putri yang menyedihkan, karena pada dasarnya Alresca adalah putri yang tidak di harapkan. Tidak ada masa depan baginya setelah satu-satunya pendukungnya, ayahnya, tumbang.

Dengan susah payah gadis itu meninggalkan status dan rumahnya, berlari tanpa arah memasuki hutan belantara di bagian selatan, satu-satunya jalan yang bisa ia tempuh dari istana kecil bekas mendiang ibunya. Malam hingga pagi, pagi hingga malam kembali, sampai suara ledakan dan teriakan orang-orang tidak terdengar lagi di telinga dan pikirannya. Nafas Arlesca mengejar irama jantungnya yang terus memompa darah, berdenyut, menggerakkan kaki dan otaknya yang lelah tanpa henti.

Hingga entah berapa lama ia harus berlari dan dimana ia bisa berhenti.

----

"Lihatlah gooseberry ini, banyak sekali, haha!"

Para tentara muda dibawah bimbingan Cadius asik menjelajahi hutan. Satu kuda putih membawa mahkota kerajaan dan berpuluh-puluh kepala yang setara dengan punggung kuda menggiringnya, menyusuri perbatasan utara wilayah Kekaisaran Valvhanra.

Mahkota kerajaan ini tidak terganggu sama sekali oleh suara kesenangan para bawahan barunya. Suara tawa bercengkrama mereka layaknya jangkrik di siang bolong, musik yang menyatu dengan alam. Cadius hanya perlu memejamkan mata dan fokus pada sejuknya angin hutan yang berhembus ke wajahnya. Tidak perlu mengeluarkan emosi nya hari ini. Ia ingin beristirahat selagi bisa keluar istana dari kesibukannya sebagai putra mahkota.

Itu sebelum dadanya merasa nyeri tiba-tiba.

Matanya menyipit, nafasnya melambat. Perasaan ini mirip seperti ratusan putik bunga yang menusuk organ vitalnya lembut.

Cadius menelan ludah, meremas dada bagian kirinya. Matanya melirik ke setiap sisi, kanan dan kiri, mencoba menenangkan diri dengan melihat pemandangan hijau nan rindang sambil mencari tahu apa atau siapakah yang mencoba menyerangnya.

Mungkinkah... Ada pemilik kekuatan suci disekitar sini?

Benaknya berspekulasi, mengantisipasi kedatangan faksi yang paling ia hindari.

"Berpencar. Ada seseorang masuk melewati area perbatasan."

Cadius memberi perintah. Suaranya dalam dan berwibawa, namun juga lantang. Sesuai dengan statusnya sebagai anggota kerajaan.

Para tentara muda dengan sigap segera membentuk formasi, menghadap kuda yang dinaiki Cadius dalam posisi tegap. Tangan memberi hormat.

"Baik, yang mulia!"

Hormat diberikan, lalu mereka berpencar sesuai grup menuju tiap delapan penjuru arah.

Cadius masih memegang dadanya yang nyeri, memacu kudanya mengikuti rasa nyeri yang datang secara bertahap. Pelipisnya basah, berkeringat karena menahan nyeri.

Saat kuda membawanya ke dalam hutan, suara semak-semak dan langkah kaki terdengar. Ringan namun terburu-buru. Dan yang lebih anehnya lagi, suara gesekan langkahnya berantakan.

Sepasang kaki.

Bukan suara sepatu?

Mata Cadius memicing, telinganya fokus pada suara langkah kaki yang ia dengar semakin lama semakin jelas diikuti suara napas yang terengah-engah.

Ketika Cadius melihat kedepan, sesosok bayangan dengan gaun lusuh compang-campingnya berlari keluar dari kabut. Diantara batang pohon dan semak semak belukar, bayangan sosok itu bertumpuk dengan kabut putih. Tatapan Cadius fokus kepada sosok mungil itu sambil tangannya meremas dadanya, membuat pakaian kebesaran nya sedikit berkerut.

Enthralling LunaticWhere stories live. Discover now