[IND] ch. 4

68 4 0
                                    

Alresca terduduk di bangku panjang dekat jendela. Malam itu, bulan tampak sedang tersenyum kepadanya, dan Alresca seketika merasa tenang.

Sendirian menunggu di ruang utama paviliun sang putra mahkota, ia merasa bebas dan tenang. Ternyata tidak seburuk itu tinggal disini. Tenang, dan anehnya Alresca merasa nyaman. Berbeda dengan rumahnya dulu.

Ia kembali bersyukur.

"Menikmati apa yang kau lihat?"

Suara yang dalam dan tenang itu mengagetkan Alresca. Sang pangeran datang, sudah berdiri tidak jauh dari tempatnya.

"Yang mulia," Alresca menyapa, berdiri dari tempat duduknya dan menundukkan tubuhnya sedikit.

Di dalam hati, seketika ketenangan yang diberikan bulan seketika sirna. Ia kembali merasa terganggu oleh beruang satu ini. Namun ia masih menunjukkan sikap sopan dan tahu diri.

Cadius menatapnya dari jauh, memperhatikan ekspresi terganggu Alresca ketika ia menunjukkan wajahnya. Tanpa sadar, senyum tersungging di bibirnya, terkesan bahwa gadis tawanan di depannya ini sepertinya sedikit tidak menyukainya.

Ia duduk di sofa tidak jauh dari bangku panjang yang tadi di duduki Alresca, merebahkan bahunya yang lebar ke sofa dan mengehela napas pelan, menikmati dirinya bersantai. Matanya kembali menangkap sosok Alresca yang masih berdiri, tampaknya menunggunya berbicara atau memintanya duduk kembali.

"Duduklah, tidak perlu menungguku menyuruhmu."

Ragu-ragu, Alresca kembali duduk, menundukkan pandangannya.

Tanpa ada yang berbicara, hanya suara air dari sungai di sebrang paviliun samar-samar terdengar. Suara jam berdetak. Bahkan nafas sang putra mahkota.

Ia tertidur?

Alresca mencuri pandang pangeran yang sedang memejamkan mata. Ia mengernyitkan dahi, bertanya-tanya fungsi keberadaannya disini jika ia hanya diminta untuk hadir lalu menontonnya tidur?

"Terimakasih."

Satu kata itu mengejutkannya lagi. Sepertinya setiap ia berbicara, Alresca selalu akan terkejut.

Alresca merapikan gaunnya dan duduk sedikit lebih nyaman, "Untuk apa, yang mulia?"

"Kemarin."

Jawabnya singkat, sebelum matanya terbuka dan menatap sosok gadis itu. Astaga, wajahnya bisa tampak sepolos itu ketika bertanya "untuk apa". Itu membuat Cadius terkekeh pelan.

"Aku berperilaku tidak sopan kemarin, seharusnya aku berterimakasih lebih dahulu setelah kamu membantuku mengatasi bencana itu."

Cadius mencoba untuk membayar apa yang sudah dia terima, meskipun sedikit terlambat. Ia sangat terbantu kemarin.

Alresca terdiam sejenak sebelum mengangguk, "Itu bukan apa-apa, yang mulia."

Ia mulai berpikir sepertinya sang beruang tidak seburuk itu, ia masih memiliki sopan santun. Pikirnya. Alresca tersenyum, lega dengan konflik pribadinya yang terangkat perlahan setelah Cadius berterimakasih.

"Lalu, aku ingin kau menjadi selirku."

Alresca masih tersenyum dan mengangguk.

"Apa?"

Matanya terbuka lebar, terkejut dengan apa yang dilontarkan putra mahkota barusan. Otaknya seketika berhenti berpikir.

Cadius menghela napas, mengatur kerahnya dan menyilangkan kakinya. Mencoba membuat dirinya lebih santai.

"Aku bilang jadilah selirku," Cadius mengulang ucapannya.

Mata mereka bertatapan. Yang satu masih membelalak karena terkejut, yang lainnya santai dan tampak dingin seakan tidak terganggu sama sekali dengan apa yang telah di katakan oleh dirinya.

Enthralling LunaticWhere stories live. Discover now