5| Grey Chatal

829 112 69
                                    

halo, aku kembali lagi, aveyours! Buat pembaca lama dan loyal aku yang selalu menunggu, aku bakal usaha sering update ini. untuk pembaca baru, salam kenal. lately aku sibuk di twitter dan ig, rasanya aku suka mencoba hal baru, tetapi ternyata aku memang nyaman di narasi. aku mau berusaha sering update lagi. mungkin dua minggu sekali, atau sebulan dua kali. atau lebih sering. semuanya tergantung kalian yang masih suka dan menunggu. kalau kalian masih menikmati, tolong kasih vote dan komen ya. sangat berarti membuat aku semangat meneruskan.

ps: di sini akan ada banyak clue dan plot twist. dibaca baik-baik si Mr. Chatal ini.






Gelas wine itu jatuh, tidak pecah, sebab mendarat mulus di karpet beludru berwarna merah bata milik Chatal yang baru saja dia ganti. Namun, karpet dengan harga selangit dan hanya ada dua di dunia karena dipesan khusus oleh pemilik pertamanya, sudah basah. Jeon Chatal Roycechild terkejut menemukan saudara sepupunya yang sudah berbaring nyaman di atas kasurnya sambil membaca majalah dewasa yang didapatkan entah dari mana—Chatal tidak memilikinya.

"Hi, Adik!"

Chatal memutar bola matanya malas. "Berhenti memanggilku Adik. Aku sudah dewasa. Dan berhenti masuk seenaknya ke dalam kamarku Tuan Park Killian Roycechild!" Sengaja, Chatal memanggilnya dengan nama lengkap dan formal, sarkastik, mengingatkan status lelaki itu yang tinggi, tetapi malah seenaknya masuk kamar.

Sayangnya itu sama sekali tidak mengangguk Killian. Dia mengedikkan bahunya santai setelah meletakkan majalah yang tidak ingin Chatal lihat saat ini. "Pertama, bagiku ... kamu akan selalu jadi adikku. Sayangnya sedewasa apa pun, kamu tetap saja lebih muda dariku. Kita juga sama-sama tidak memiliki saudara lain, jadi terima saja. Kedua ... masih ingat kamu sering memintaku untuk menemani karena kesepian, apalagi saat hujan besar dan petir? Aku tidak tega membiarkan adikku kesepian."

"Itu dulu, waktu aku masih anak-anak dan sekarang aku sudah dewasa."

"Lalu ... haruskah aku tidak perlu menemuimu lagi? Tidak akan pernah datang ke kamarmu lagi?"

Chatal membuang muka. "Aku tidak bilang seperti itu. Aku hanya bilang jangan seenaknya ke kamarku. Kau bisa tetap datang."

Killian menyadari bahwa Chatal sedang malu dan menyembunyikan wajahnya. Dia tersenyum dalam dia. Mereka berdua memiliki satu sama lain, masih teringat jelas bagaimana keduanya dididik begitu keras hingga membuat rasanya tercekik, terlebih tanggung jawab di punggung yang begitu berat.

"Ngomong-ngomong kau selalu keluar dari ruangan itu." Killian menunjuk salah satu ruangan di kamar Chatal yang selalu terkunci. Bukan kamar mandi, ruangan lainnya. Ruangan yang tidak pernah dia masuki dan tidak pernah dia tahu ada apa di dalamnya. "Apa isi di dalamnya?"

Chatal terdiam. Tidak menjawab. Dia terlihat membeku. Raut wajahnya berubah seketika menjadi lebih tegang.

Killian tersenyum asimetris. "Apa ada sebuah rahasia besar di sana? Kamu tidak memelihara perempuan atau—menjadi pembunuh berantai, bukan?"

"Itu menjijikan. Aku tidak akan pernah melakukan hal semacam itu," jawabnya langsung.

Walaupun terlihat hanya menggoda, sebenarnya Killian serius dengan pertanyaannya. Dia sangat mengenal Chatal, jadi dia tahu kalau reaksi lelaki itu adalah sebuah kebenaran. Lantas dia menegakkan tubuhnya, dudu di samping kasur sambil menganggukkan kepalanya. "Baguslah kalau begitu. Asalkan bukan pembunuhan berantai atau diam-diam melakukan semacam penyiksaan dan pengulitan semacam itu, tidak masalah. Lakukan apa pun yang mau kamu lakukan."

Kelegaan terlihat dari otot-otot wajah Chatal yang tidak lagi tegang. Lelaki itu mengambil gelas yang jatuh, kemudian menyentuh karpet beludru yang basah itu. Dia memerhatikan dengan saksama dan menyentuhnya, lalu terekeh sendiri.

The RulesWhere stories live. Discover now