Ternyata sudah sepuluh tahun

19 3 1
                                    


"Ternyata, waktu tidak menjamin seseorang untuk melupakan sesuatu."
~Salwa~

<(~^^~)>


Angin malam berhembus samar, menari-nari diantara pepohonan. Seperti berkata lembut kepada orang-orang untuk segera memasuki rumah dan memejamkan mata mereka.

Namun rupanya, bisikan itu tidak menganggu seorang gadis yang tengah duduk sambil memejamkan matanya di balkon kamar. Membiarkan rambut panjangnya diterpa angin dan membiarkan dirinya tanpa memakai pakaian yang tebal.

Mata lentiknya perlahan terbuka, sebab rintik hujan mulai turun. Mendinginkan malamnya. Untunglah, dia beranjak dari duduknya dan tidak membiarkan dirinya kehujanan. Dia lalu membuka pintu kamarnya hati-hati agar tidak ada seorangpun yang mendengarnya.

Setelah dia masuk, dia berdiri di depan jendela. Menatap hujan yang kian semakin deras.

Dia diam. Membiarkan hujan menjadi satu-satunya yang dia dengarkan.

"Hujan..."

"Apa kabar, Salwa?"

Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat, berusaha menepis ingatan nya sendiri.
Ingatan indah, tentang yang sudah tiada lagi. Ah, mengapa hujan selalu mengorek ingatan lama? Hujan selalu membuatnya goyah, dan membuatnya terkecoh lalu kemudian pergi. Bukankah itu tidak adil, hujan?

Ingatan itu, lima tahun yang lalu. Saat namanya muncul paling atas di layar ponselku.
Dia yang selalu bertahta, meski terkadang terhalang yang lain. Namun dia tetap kembali menonjol dan menguasai semuanya.

Seperti saat ini. Pikiran nya dipenuhi oleh orang itu sejak beberapa minggu yang lalu.

Sudah satu dekade, sejak pertama kali bocah delapan tahun itu jatuh cinta pada cinta pertamanya. Alfazain Akbar.

Ya, itu aku. Zahratusy Syita. Atau biasa dipanggil, Salwa.

Akbar adalah salah seorang tetangga di rumah nenekku. Rumahnya mungkin tidak lebih jauh dari limapuluh meter.

Seperti cucu yang lain, akupun dulu pernah menginap berhari-hari dirumah nenek saat libur sekolah. Dulu aku sangat suka disana, karena memiliki banyak teman. Banyak sekali, dari laki-laki hingga perempuan. 
Bertepatan, tanteku atau yang biasa aku panggil bulek. Beliau memimpin sebuah Madrasah TPQ. Jadilah aku punya banyak kesempatan untuk berteman dengan murid-murid disana.

Sampai suatu hari, kami semua sedang bermain. Banyak yang kami mainkan dihari libur itu. Mulai dari petak umpet, gedrik, pos-posan dan masih banyak lagi.

Saat sedang bermain petak umpet untuk yang kesekian kali. Satu temanku berjaga dengan menutup mata sambil menghadap ke pohon mangga besar di depan Masjid, yang persis di depan rumah nenek.
Aku masih bingung hendak lari kemana saat temanku yang berjaga itu sudah mulai menghitung, yang artinya aku harus cepat-cepat bersembunyi di tempat aman, atau aku akan langsung ketahuan.

Saat melihat sekeliling, semua temanku sudah bersembunyi. Ada yang berdua, bertiga bahkan berempat. Sementara aku belum menemukan tempat persembunyian. Karena banyaknya kami semua, tempat-tempat sembunyi sudah hampir semuanya terpakai.

Sampai kemudian, tanganku ditarik oleh seseorang dan membawaku berlari ke arah belakang Masjid. Aku melihat belakang kepalanya, dia lebih tinggi sedikit dariku.
Belum sempat kulihat wajahnya, dia mendudukkan ku diatas batu, sementara dia langsung berbalik dan berjaga di depanku. Sambil sahut-menyahut lirih dengan teman-teman yang lain.
Samar aku mendengar tawanya. Saat kemudian dia berbalik, aku diam. Dua bocah itu saling pandang beberapa saat sampai bocah lelaki itu tertawa canggung. Mungkin dia baru menyadari jika aku belum mengenal siapa dia.

Tentang Yang PertamaWhere stories live. Discover now