Bab 1

623 27 3
                                    

Katia bangun dari tempat tidur. Kepalanya pusing setelah semalaman terus berguling miring ke kanan dan ke kiri, baru sanggup terlelap saat sinar bulan semakin pucat dan matahari tengah merayap naik. Tidur kurang dari tiga jam itu menyiksanya, tetapi gadis itu tetap mendorong tubuhnya bangkit, dan duduk di pinggir tempat tidur.

"Pagi."

Katia menggumam tak jelas. Gadis yang membangunkannya tertawa kecil. "Katia."

Gumam Katia berubah menjadi erangan. "Waktunya bangun, Sayang."

"Mfmh menit ...."

Rambut panjang yang lembut menyapu wajah Katia saat gadis itu mengecup keningnya. "Sekarang."

Untuk sesaat, dia hanya duduk di sana; kepala tertunduk di antara kedua bahu, menatap jemari kakinya di atas karpet lembut berusia hampir satu windu. Warna karpet yang cokelat tua tampak kontras dengan warna kulit kakinya yang pucat karena nyaris tak pernah terpapar sinar matahari. Jemarinya panjang dan kurus; kuku-kukunya pendek dengan setengah lingkaran di masing-masing akarnya.

Katia menatap jemari kakinya yang menapak di lantai. Mereka semua berbentuk seragam dan sewarna: hijau mint. Ini adalah pertama kalinya Katia ke luar mengenakan sandal, tetapi Katia mengultimatum dirinya tiga bulan yang lalu bahwa jika sandal yang sudah lama ia beli itu masih belum juga digunakan dalam jangka waktu empat bulan, ia harus out. Untung bagi sandal itu, satu-satunya alas kaki yang cocok dengan pakaiannya hari itu hanyalah si sandal yang telah lama dilupakan di pojok lemari. Jadi, secara resmi mulai hari ini, sandal itu aman dari proses pembersihan lemari. Setidaknya sampai ... mungkin sembilan-sepuluh bulan lagi.

"Katia." Katia menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Robert berjalan menghampirinya bersama seorang gadis yang usianya tak jauh berbeda dari Katia; rambut pirang gadis itu dikepang di salah satu bahunya.

Katia mendorong tubuhnya berdiri dari kursi, menanti kedua orang itu dengan senyum samar di bibirnya. "Herr Robert," sapanya.

"Ini orang yang mau kukenalkan padamu," ujar Robert. Rambutnya yang telah menipis disisir ke belakang; baju berkerah tinggi yang dia kenakan di bawah jas berwarna senada dengan matanya yang hijau. "Katia, perkenalkan Emma van Deej. Emma, Katia du Pont."

"Halo," sapa Katia, tangannya terulur menanti sambutan Emma. "Senang bertemu denganmu."

Emma tersenyum. Senyumnya lebar, memamerkan gigi yang sedikit berantakan di balik kawat gigi; sudut-sudut matanya mengerut karena ikut tersenyum.

"Senang ketemu denganmu juga."

Kamar itu sunyi kecuali suara gunting kuku yang bekerja. Di karpet di bawah tempat tidurnya, kuku-kuku berjatuhan. Katia tidak terlalu ambil pusing pada kuku-kuku tersebut; hari ini, toh, memang jadwalnya untuk memvakum seluruh rumah.

Selagi merapikan kuku-kukunya yang sudah terlalu panjang dan kotor, pikiran Katia sekosong rumah yang ia tinggali.

Sepi.

Ia menekan gunting kuku ke bawah. Cetik. Menggesernya ke samping. Cetik. Memotong sambungan kuku terakhir di bagian ujung. Cetik.

Katia mengibaskan gunting kuku begitu selesai memakainya dan meletakkan benda itu kembali ke laci nakas. Ia menggerakkan jemari kakinya yang kaku kemudian meluruskan kedua kaki di udara, meregangkan otot-otot yang kaku. Gadis itu bangun dan mulai meregangkan seluruh tubuh. Katia membuka pintu balkon di kamarnya dan membiarkan udara segar mengalir masuk.

"Gimana menurutmu?"

"Aku enggak bisa lihat."

Emma tertawa lepas. "Sini, sini. Biar kulepas."

Katia menanti dengan sabar sementara Emma melepaskan penutup matanya. "Nah, 'gimana?" Katia mengerjap-ngerjapkan matanya sesaat. Begitu matanya bisa menyesuaikan diri dengan cahaya siang hari, mulut Katia menganga melihat pemandangan di depannya.

Mereka berdiri di pekarangan sebuah rumah mungil dua tingkat. Sebagian halaman depan merupakan tempat parkir yang cukup luas untuk mobil, dan sebagian lainnya berupa rumput hijau yang dipagari semak bunga liar. Pintu masuk rumah itu berwarna putih, begitu pula kusen-kusen jendela yang mengapitnya. Dinding bagian luar berwarna hijau pucat dengan hijau yang jauh lebih gelap di bagian bawah. Di atas, beberapa buah jendela memberi suplai cahaya tambahan ke dalam rumah. Belum selesai Katia mengagumi bagian luar, Emma menggamit tangannya dan mengajaknya masuk. "Ayo."

Emma menuntun Katia memasuki rumah baru mereka. Di samping kiri pintu masuk adalah tangga ke lantai atas. Di kanan mereka, sebuah sofa dan dua kursi malas mengelilingi sebuah meja kopi. Lebih jauh ke dalam, dapur dengan keramik berwarna putih berada tak jauh dari meja makan yang dapat menampung enam orang.

Katia berjalan perlahan. Di ruang duduk dan dapur, warna yang ditampilkan lebih netral: cokelat tua, cokelat muda, abu-abu gelap, putih .... Kemudian mata Katia menangkap beberapa dekor gantung berwarna cerah seperti merah dan ungu. Dia berbalik menatap Emma yang berseri-seri seperti anak yang menanti perayaan ulang tahunnya.

"Aku sudah curi start duluan untuk menambahkan dekorasi."

"Dasar curang!"

Emma tertawa geli. Dia memeluk lengan Katia dan menariknya ke arah tangga. "Ayo, tinggal tur bagian terakhir rumah!"

Emma membawanya ke lantai atas, membuka pintu pertama di kiri mereka. "Ini kamar tidur utama."

Meski namanya kamar tidur utama, kamar tidur itu tidak megah. Di tengah ruangan, merapat ke dinding, adalah tempat tidur berukuran queen. Lemari baju di samping pintu, dan sebuah balkon kecil di ujung ruangan. Katia menghampiri pintu balkon dan membukanya, berjalan menyapa udara yang dingin. Balkon itu tidak luas, tetapi jika mereka membiarkan pintunya terbuka, mereka dapat meletakkan dua kursi di ambang pintu dan menikmati cuaca sambil minum kopi.

Katia berbalik.

Emma mengulurkan tangan. "Siap untuk lanjut?"

Katia menerima uluran tangannya.

Emma membawanya ke pintu yang ada di sisi lain kamar. "Ini kamar mandi." Gadis itu membuka pintu dan menyalakan lampunya. Bak mandi sekaligus pancuran di samping, toilet di sisi lain, dan wastafel dengan cermin dekat pintu lain. "Di bawah ada toilet, 'tapi kamar mandi yang lengkap cuma satu. Kita bisa kunci pintu yang mengarah ke kamar supaya kalau ada tamu yang pakai kamar mandi, dia enggak keluyuran ke kamar kita."

"Kamar kita," beo Katia. Rumah kita. Dia suka frasa-frasa itu.

Emma tersenyum padanya. Mereka keluar dari pintu kamar mandi yang lain dan sampai di ujung ruangan. Tinggal satu pintu yang tersisa, dan itu adalah kamar tamu. Ukurannya hanya sedikit lebih kecil dari kamar utama; tempat tidur single, lemari kecil, nakas, dan jendela. Tidak ada balkon. Dari lantai atas mereka dapat melihat langsung ke dapur dan ruang duduk. Katia menikmati perspektif lain dari bagian dalam rumah barunya.

"Kamu suka?"

Katia berbalik. Meski masih tampak bersemangat, Katia dapat melihat sedikit jejak rasa khawatir di wajah Emma. "Suka?" tanya Katia. "Em!" Emma memekik ketika Katia memutarnya dalam pelukan. "Ini sempurna!"

Sewindu | cerita pendek [ID]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang