Bab 3

257 25 1
                                    

Katia berlari menuruni tangga, hampir menabrak gantungan jaket yang berdiri di sudut, di samping pintu masuk. Gadis itu berputar ke bagian dalam rumah, melewati ruang duduk dan memasuki dapur. Skema warna ruangan itu amat berbeda dengan bagian lain rumah yang lebih menitikberatkan warna-warna dingin seperti hijau pucat dan putih; lemari-lemari yang tergantung di atas kepala berwarna cokelat muda, dinding di baliknya adalah bata-bata berwarna putih. Meja makan yang berada di tengah ruangan berwarna cokelat tua, dengan kursi-kursi kayu berwarna senada dan berbantalan warna-warna cerah.

Gadis itu membuka salah satu lemari dan tangannya membeku. Sudah tiga minggu dan pemandangan di dalam sana tetap berhasil membuat Katia tertegun. Lemari itu tidak berisi apa pun kecuali sebuah muk kopi. Seharusnya ada lebih banyak muk dan gelas di sana. Seharusnya Katia mengomel tentang gelas yang diletakkan dengan bibir menghadap langit-langit alih-alih terbalik seperti gelas-gelas lainnya.

Seharusnya dia tidak sendirian.

"Katia du Pont dan Emma van Deej?"

Emma dan Katia berjalan menghampiri meja salah satu pekerja di Kantor Sipil. "Silakan duduk."

Mereka menuruti permintaan tersebut. Pegawai Kantor Sipil tersebut membolak-balik dokumen yang mereka beri: akta kelahiran, surat tanda penduduk, surat keterangan mereka mengontrak rumah tinggal mereka, dan formulir dari Kantor Sipil. "Sudah bersama selama ...?"

"Enam setengah tahun," jawab Katia. "Tinggal bersama lima tahun lebih satu bulan."

"Hmm," gumam pegawai tersebut. "Pekerjaan van Deej?"

"Teknisi komputer," jawab Emma.

"Di ...?"

"Clover, Inc."

"Dan du Pont?"

"Desainer grafis lepas."

"Ah, ya," ujar pegawai itu. "Katia du Pont, sekarang aku ingat." Ia melirik Katia dari balik kacamatanya. "Desainer maskot dan poster untuk triatlon kemarin, bukan?"

"Itu aku."

"Ya, dari dokumen dan data yang kalian sertakan, kalian memenuhi syarat. Sudah menghadiri sidang, bukan?"

"Sudah. Begitu selesai kami langsung ke sini."

Pegawai Sipil itu menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan dokumen lain pada Emma dan Katia. "Tanda tangan di sini, kalian berdua."

Emma dan Katia bergantian menandatangani dokumen itu. Pegawai itu mengecap dokumen dan memasukkannya ke dalam map bersama dokumen-dokumen lain. "Selamat, kalian secara legal diakui sebagai pasangan domestik. Jika salah satu dari kalian masuk rumah sakit atau penjara, pasangan kalian memiliki hak mengunjungi selayaknya keluarga. Kalian bisa membuka rekening dan asuransi atas nama berdua, berhak mengadopsi anak sebagai keluarga, dan secara legal dapat memasukkan nama pasangan kalian dalam surat wasiat. Namun untuk saat ini, kalian belum berhak mengatur pemakaman jika salah satu dari kalian meninggal. Hak untuk mengambil cuti hamil atau cuti yang berhubungan dengan urusan kekeluargaan lainnya kami serahkan pada masing-masing perusahaan; silakan cek apakah perusahaan tempat kalian bekerja memberi pilihan tersebut."

Emma menerima map berisi dokumen yang pegawai tersebut serahkan pada mereka. Pegawai itu tersenyum dan mengulurkan tangan. "Selamat," ujarnya sekali lagi.

Katia menjabat tangannya. "Terima kasih."

Mereka berjalan meninggalkan kantor sipil seolah semua yang terjadi hanya mimpi. Emma meraih tangan Katia dan menautkan jemari mereka. Katia menoleh padanya, tersenyum lebar sampai pipinya sakit. Mereka pulang bergandengan tangan.

Katia menggelengkan kepala, mengambil muk yang tersisa itu dan membuka kulkas untuk mengambil sari apel. Namun, saat dia mengangkat kotak minuman tersebut, kotak itu kosong.

Katia mengocok dus minuman itu, meyakinkan diri isinya memang sudah habis, sebelum mengalihkan pandangannya pada isi kulkas yang kosong. Gadis itu menendang pintu kulkas sampai tertutup dan beralih ke wastafel yang penuh dengan piring dan gelas kotor, mengisi muknya dengan air keran.

Untuk sesaat, Katia hanya berdiri bertumpu pada wastafel, memutar satu dari banyak kenangan manis yang berubah pahit, membayangkan apa yang akan terjadi seandainya dia memutuskan membuka mulut dan katakan saja ....

Gadis itu mengumpat dalam bahasa Prancis dan mendorong muknya menjauh dari alat makan kotor lainnya. Katia mengecek jam dinding, memutuskan pasar seharusnya masih buka dan beroperasi, dan memutuskan kaus dan celana lari yang dikenakannya untuk tidur cukup pantas dikenakan ke pasar. Katia mengambil dompet dari meja kopi di ruang duduk dan mengambil kuncinya dari gantungan kunci di samping pintu.

Kuncinya bergemerincing menyenggol satu set kunci lain yang pemiliknya tinggalkan. Katia mengatupkan rahang dan berusaha tidak melirik kunci itu saat berjalan keluar.

"Emma."

"Mhm?"

Katia berdiri di ambang pintu kamar tamu. Atau, ruangan yang dulunya kamar tamu. Beberapa bulan yang lalu mereka merekonstruksi ruangan itu menjadi ruang kerja, lengkap dengan dua unit komputer dan alat pencetak. "Apa aku ganggu?"

"Enggak, kok." Emma menyelesaikan kode terakhir sebelum memutar kursinya. "Kenapa?"

Katia tampak seperti bocah yang gugup menyerahkan hasil ulangannya yang buruk pada orang tuanya. "Aku ..., mm ..., mau menunjukkan sesuatu padamu."

"Hm? Apa?" Emma menaikkan alis. Katia berdeham gugup.

Ia mengambil satu langkah maju. Kemudian—"Enggak jadi deh."

"Lho, Katia?"

Katia yang telah berjalan keluar dari ruang kerja berputar balik dan menyerahkan sebundel kertas pada Emma. "Ini kesalahan yang bakal selalu kusesali."

Emma menerima tumpukan kertas yang dijilid itu dengan bingung. "Apa ini?"

"Itu," Katia berdiri gugup sementara Emma membolak-balik kertasnya, "adalah kumpulan puisi. Yang aku tulis, sejak—" Katia hampir kehabisan napas. "Itu—aku—"

"Katia, Katia." Emma beranjak dari kursi, mengulurkan tangan menenangkan. "Tenang. Bernapas."

Katia menarik napas dalam. "Ya, begitu," puji Emma. Ia memeluk Katia sejenak—lebih karena dia senang memeluk Katia ketimbang untuk menenangkan gadis itu—sebelum menahan Katia sejarak lengan. Bibirnya mengulas senyum. "Sudah lebih tenang?"

Katia mengangguk. "Oke." Emma kembali duduk. "Apa ini?"

"Itu kumpulan puisi tentangmu yang aku tulis sejak kita pertama kali bertemu."

Emma menatap Katia. Katia melontarkan kalimat itu dalam satu tarikan napas tanpa jeda dan Emma membutuhkan beberapa saat sebelum otaknya benar-benar mencerna apa yang Katia katakan. "Oh! Kum-kumpulan puisi ...? Untukku ...?"

"Tentangmu," koreksi Katia. "Aku—ah—aku terpikir, mungkin ini saatnya puisi-puisi itu keluar dari fail pribadiku dandan dibaca orang lain. Kupikir ka-kamu pantas jadi orang pertama yang baca, karena toh itu tentangmu. Dan, kupikir kalau kamu enggak keberatan, aku mauaku mau coba kirimkan ke penerbit."

Emma masih tampak belum dapat mencerna semuanya. "Kamu ... menulis puisi tentangku?"

"Ya." Lutut Katia melonjak-lonjak. "Kuharap kamu enggak keberatan ... aku menganggap tindakanku kayak penguntit mengerikan."

Emma menatap jilidan dalam genggamannya. Detik berikutnya, dia menerjang Katia dengan pelukan. "Katia, Katia, Katia!" Emma melepas pelukannya cukup lama hanya untuk menghujani wajah Katia dengan ciuman. Gadis itu tertawa dan berjingkrak; tidak ingat pernah merasa sebegitu dicintai.

Sewindu | cerita pendek [ID]Where stories live. Discover now