Bab 2

351 25 2
                                    

Katia menggerak-gerakkan jemari kakinya sejenak, mengusir rasa dingin dari pagi di dataran tinggi. Dia menarik kardigan yang disampirkan di kaki tempat tidur dan mengenakannya sebelum berjalan ke arah kamar mandi yang berada di sebelah kamarnya.

Rumah itu sunyi; atmosfernya begitu dingin dan menekan Katia yang tinggal sendirian di sana. Dia menarik tali gorden pada jendela kamar mandi, membiarkan cahaya lembut pagi hari menyinari dinding-dinding keramik di kamar mandinya.

Dia menggunakan toilet. Suara air dari flush yang menyala otomatis mengisi keheningan. Katia beranjak menuju wastafel, mencuci tangannya dengan sabun beraroma lemon. Dia bahkan tidak begitu menyukai sabun beraroma lemon. Namun, hanya itulah yang orang itu tinggalkan untuknya selain rumah yang kini Katia tinggali sendiri.

Gadis itu membasuh wajahnya, menatap wajah kuyu kurang tidur yang tampak pucat. Kulit Katia selalu pucat sejak dulu, tetapi kini dia nyaris tampak seperti mayat hidup, dan kantung matanya tampak lebih gelap dibanding beberapa malam lalu.

Lalu, dia mengucap mantra rutinnya yang diubah sejak 21 hari yang lalu: "Aku pernah hidup tanpanya, sekarang aku bisa hidup tanpanya."

Katia setengah berbaring di atas hamparan selimut di tepi landai Sungai Rover. Punggungnya ditopang oleh salah satu siku di samping tubuh; salah satu kakinya diselonjorkan santai. Di sampingnya, Emma mengoleskan keju di atas roti sambil mengajaknya mengobrol. "Pemandangannya bagus, ya?"

Emma menatap permukaan sungai yang berkilap karena cahaya remang bulan dan pantulan cahaya gedung-gedung pencakar langit yang ada di sisi lain sungai. Namun, Katia menoleh pada Emma dan tersenyum. "Memang."

Emma menghabiskan potongan rotinya. "Katia," panggilnya, "menurutmu apa beda manusia dengan hewan lain?"

"Hah?" Katia mengerjapkan mata, tak siap dengan pertanyaan itu.

"Menurutmu," ulang Emma, mengira Katia tak mendengar pertanyaannya, "apa beda manusia sama hewan lain?"

Emma menoleh. Matanya yang cokelat menatap lurus pada Katia. "Em ...," Katia tergagap. "Kita mampu ... men ... cintai?"

Di sampingnya, Emma tampak memikirkan jawaban itu sejenak. "Jadi, menurutmu, hewan lain enggak mampu mencintai?"

"Mungkin," jawab Katia. Emma mendorong keranjang piknik ke bawah dan berbalik, berbaring di atas perut dan menopang dagu dengan kedua tangan. "Mungkin ... mereka bisa, 'tapi kita lebih ...," Katia memikirkan kata yang tepat, "... maju? Lebih cerdas? Lebih ... kompleks."

"Kamu jelas salah satu orang paling kompleks yang pernah aku temui." Katia tertawa gugup. "'Tapi bukan masalah," sambung Emma. Tawa Katia berhenti. "Aku suka teka-teki."

Katia membisu. Di bawah temaram lampu jalanan, wajah Emma tersipu. Gadis itu menggigiti bibirnya, berpikir apa mungkin pernyataannya sedikit terlalu berani. Dia menaikkan pandangannya, ingin tahu bagaimana ekspresi Katia. Ketika mata mereka bertemu, gigi Emma melepaskan bibirnya. Tatapan Katia turun pada bibir Emma, dan saat dia kembali menatap mata Emma, tampaknya mereka memiliki pikiran serupa.

Perlahan, Katia menundukkan kepalanya.

Emma menyambutnya dengan hangat. Awalnya pelan, lalu bibir Katia menabrak kawat gigi Emma. "Ow!"

"Sori!" seru Emma cepat. "Maaf!"

Katia tertawa, dan tawanya menular pada Emma. "Coba lagi?"

Kali ini Emma ikut mengangkat kepalanya, berhati-hati agar kawat giginya tidak terlalu agresif menyerang Katia. Tangan Katia meraih rahang Emma, menahan kepalanya sementara bibir mereka berpagutan. Ketika Katia menarik kepalanya mundur, bola mata Emma yang besar menatapnya.

Katia mengelus pipi Emma lembut.

Katia memandangi pantulan wajahnya di cermin, membeokan ucapannya. "Aku pernah hidup tanpanya, sekarang aku bisa hidup tanpanya."

Gadis itu menghela napas. "Ini konyol." Namun, dia tetap mengulangnya untuk kali terakhir. "Aku pernah hidup tanpanya, sekarang aku bisa hidup tanpanya."

"Sebenarnya, kita ini apa?"

Katia menghampiri Emma yang berdiri di pinggir jembatan. Di bawah mereka, Sungai Rover yang panjang dan membelah kota itu mengalir dengan tenang. Di sana-sini, banyak orang-orang muda yang bercengkerama atau berpacaran, dan para turis yang berfoto-foto di depan pembatas jembatan yang dipenuhi oleh gembok-gembok terkunci. Satu-satunya yang membedakan jembatan itu dengan Ponts des Arts di Prancis adalah ketiadaan Institut de France. Dan jika orang teliti, mereka mungkin menemukan perbedaan pada lanskap kedua jembatan tersebut.

"Maksudku," Katia memeluk pinggang Emma dari belakang sementara gadis itu meneruskan, "kita sudah jalan beberapa bulan tapi ... kita tuh apa?"

Sembilan bulan empat hari, pikir Katia. Namun dia tidak mengatakannya keras-keras. Alih-alih, dia hanya mengecup pipi Emma. "Maumu kita apa?"

"Mm ... entahlah." Emma mengedikkan bahu. Dia menundukkan kepala, pipinya mulai memerah.

"Sini kuberi tahu." Katia melepaskan pelukannya pada Emma dan bersandar pada pembatas jembatan. Lalu, dia menarik sebuah gembok dari saku mantelnya. Kedua bola mata Emma membesar saat gadis itu terkesiap. "Suka?"

"Katia!" Emma meraih gembok itu dari genggamannya, juga meraih Katia dalam pelukan dan mengecup pipinya. Kali ini giliran Katia yang tersipu malu.

Emma mendesah senang. "Manis sekali."

"Karena, kamu tahu 'kan ...." Katia berdeham. "Aku beli barusan dari pedagang di jalan."

Emma telah membuka gembok dengan kunci yang tergantung di lubangnya. "Kita pasang di pagar?"

Katia mempersilakan Emma melakukannya.

Gadis itu mencari tempat yang bagus untuk meletakkan gembok milik mereka, berjalan pelan meninggalkan tempat mereka berdiri dan melihat-lihat celah yang masih kosong. Akhirnya Emma memutuskan untuk memasang gembok itu pada ruas tepat di tengah jembatan. Gadis itu mengunci gembok dan mencium kuncinya, lalu menyodorkan kunci itu pada Katia. Katia tertawa, tetapi Emma keras kepala. Satu putaran bola mata berikutnya, Katia mencium kepala kunci.

Emma memindahkan kunci ke tangan satunya dan meraih tangan Katia. "Lempar?"

Katia menggeser kepalanya agar dapat mencium pelipis Emma. "Lemparlah."

Emma menggenggam erat kunci itu sesaat, kemudian melemparkannya kuat-kuat ke dalam sungai.

Katia memejamkan mata. "Harus bisa."

Sewindu | cerita pendek [ID]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang