Bab 4

321 30 21
                                    

[Memainkan pesan suara ....]

Katia meletakkan dua kantung kertas belanjaannya di atas meja makan, membiarkan mesin berbunyi memainkan pesan yang teleponnya terima sementara dia pergi.

[Pip.]

"Selamat pagi, kami dari jasa asuransi hendak menawarkan"

"Hapus."

[Menghapus pesan ....]

[Pip.]

"Du Pont? Ini Sonja. Aku lagi merintis kafe dan bakeri dengan adikku, dan kami butuh logo. Aku dan adikku punya ide, 'tapi kami enggak tahu gimana merealisasikannya. Bujet kami 250 paun. Telepon balik kalau minat, ya."

[Pip.]

"Du Pont!" Sonja lagi. "Aku lupa! Selamat ulang tahun!"

Emma terbangun mengigau pada tengah malam. Isakannya membangunkan Katia yang tidur di sampingnya. Katia menyalakan lampu tidur di nakas dan berusaha menahan lengan Emma yang menggapai-gapai. "Hei, Emma. Em, enggak apa-apa. Kamu aman. Aku di sini, aku di sini." Katia memeluk Emma, membelai rambutnya menenangkan. "Aku di sini, aku di sini." Emma terisak. Tinjunya mengepal di bahu Katia, menarik baju kaus yang Katia kenakan dalam genggamannya.

"Katia," isaknya.

"Ssh." Katia mencium kepala Emma. "Aku enggak ke mana-mana."

"Janji?" Emma merengek.

"Janji."

Emma menarik kepalanya menjauh dari pelukan Katia. "Kamu cinta aku?"

Katia membisu. Manik matanya mencari-cari tanda Emma mengigau, tetapi gadis itu benar-benar sadar. "Katia?" bisik Emma.

Akhirnya, Katia mengulang apa yang sudah dia katakan: "Aku enggak akan ke mana-mana. Aku di sini."

Perut Emma berpilin saat Katia tidak mengatakan apa yang ingin dia dengar. Namun, Emma hanya mengangguk dan kembali merebahkan kepalanya di lekuk bahu Katia. Gadis itu terus memeluknya sampai pagi menjelang.

"Katia, Sayang,"—wanita di seberang telepon menguap—"Mama sudah begadang untuk telepon kamu, tapi kamu enggak angkat. Ini perilaku yang tidak bisa Mama terima. Selamat ulang tahun, Sayang. Akhirnya putri Mama berkepala tiga. Kapan kamu bisa kunjungi Mama? Mama kangen. Sampaikan salam Mama untuk teman serumahmu, ya, Sayang. J'taime." Setetes air mata bergulir turun di pipi Katia.

[Pip.]

"Halo, Katia." Katia nyaris menjatuhkan telur yang dia pegang. "Mm, ini aku." Hening sesaat. "Aku telepon untuk mengucapkan ... selamat ulang tahun." Hening lagi. "Dan ... mm ... kamu ... lowong? Aku perlu ketemu." Katia menarik napas tajam. Dadanya sesak oleh asa dan bahagia. "Aku mau kembalikan draf kumpulan puisimu." Katia menyumpal mulutnya dengan tinju, air mata mengucur deras. "Aku sudah menemukan tempat tinggal baru dan apartemen ini sempit, aku enggak punya banyak ruang untuk barang yang enggak terpakai. Telepon aku kalau sempat. Dan ... jangan lupa kontrak rumah habis tiga bulan lagi." Katia terisak dalam sunyi. "Selamat ulang tahun. Selamat tinggal."

***

Katia duduk di sofa sementara Emma mondar-mandir mengepak barang-barangnya ke dalam koper dan dus. "Bahkan sekarang, kamu enggak mau bicara." Lutut Katia melonjak-lonjak di bawah sikunya. "Aku capek, Katia. Aku butuh orang yang bisa dan mau ngomong sama aku. Aku bukan pembaca pikiran, tahu?"

Emma membongkar kabinet di dapur dan mengambil beberapa peralatan memasak miliknya. Besi dan kayu saling beradu dengan ribut, hanya beberapa meter jauhnya dari tempat Katia duduk. "Aku tanya kamu ada apa, kamu enggak mau jawab. Aku tanya apa ada masalah, kamu selalu jawab enggak ada. Kamu lebih sering diam. Kadang-kadang aku merasa, cuma ada aku di rumah ini."

Selesai dengan peralatan memasak, Emma melepas beberapa dekorasi gantung dari dapur, melemparkan semuanya dengan kasar ke dalam dus. "Kadang aku enggak tahu apa aku tinggal dengan hantu atau orang."

Katia mengangkat kepalanya saat Emma berjalan melewatinya dengan dus dalam pelukan. Emma berjalan keluar dan menaruh dus itu di bagian belakang truk pikap yang dia sewa untuk hari itu. Begitu dia kembali berjalan masuk, tatapannya menusuk tajam pada Katia. "Satu-satunya saat kamu betul-betul bicara denganku, kamu malah menulis puisi. Aku mau kamu bicara denganku, Katia! Aku capek berusaha mengerti apa yang mau kamu sampaikan dari kalimat-kalimat berbunga-bunga beranalogi! Aku suka puisimu; jangan salah. 'Tapi aku mau kamu bicara, bukan—bukan—"

Katia mengalihkan pandangan. Emma menghela napas kasar, kemudian mengambil kardus baru dan membawanya naik menuju kamar. Dia hanya turun untuk menaruh dus ke mobil dan mengambil dus baru.

Semakin sering Emma berjalan di depannya, semakin berat rasanya saku Katia. Benda di dalamnya menuntut untuk dikeluarkan. Namun, Katia tidak yakin dia siap.

Akhirnya, Emma selesai mengepak semua barangnya. Lidah Katia kelu; seperti banyak kesempatan lain ketika dia ingin menyampaikan sesuatu pada Emma tetapi merasa waktunya tidak tepat; atau dia tidak tahu bagaimana mengatakannya; atau otaknya menemukan ratusan cara lain untuk membuat Katia ragu membuka mulut.

Emma mengambil jaket miliknya yang dia gantung dekat tangga. Gadis itu merogoh sakunya sesaat dan meletakkan selembar foto di depan Katia. Untuk pertama kalinya pada hari itu, Katia membuka mulut.

Katia terkesiap sementara Emma membuang muka. "Kamu saja yang simpan." Katia menatap foto di hadapannya lekat-lekat. Foto pertama mereka berdua, diambil di depan jembatan yang penuh dengan gembok-gembok bertuliskan inisial para kekasih yang penuh harap bermimpi agar cinta mereka abadi.

"Kontrak rumah habis empat bulan lagi," Emma memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Sebaiknya sebelum tenggat waktu kamu sudah dapat tempat tinggal baru. Atau kalau kamu mau, perpanjang saja kontraknya. Terserah. Biar aku yang urus dokumen perpisahan ke Kantor Sipil. Kuberi kabar kalau dokumennya siap."

Katia masih bergeming. Dia takut jika dia bergerak satu senti saja, tubuhnya remuk mengikuti bagian dalamnya. Emma memainkan kunci dalam genggamannya. "Sebaiknya aku pergi sekarang."

Emma berhenti di ambang pintu. Katia tidak tahu, tetapi masih ada sisa satu titik keraguan yang memberatkan langkah Emma untuk pergi. Satu permohonan agar Katia mengungkapkan hal yang sejak dulu ingin dia dengan.

Kumohon, bisik Emma dalam hati, katakan kaucinta padaku dan demi Tuhan aku akan kembali padamu. "Katia ...."

Katia tidak tampak mendengarnya. Katia bahkan tidak mengangkat kepala untuk melihatnya. Emma menelan gumpalan besar dalam tenggorokannya. "Selamat tinggal, Katia."

Emma menutup pintu di belakang punggungnya. Air mata diam-diam mengalir. Sewindu berhubungan dengan sebuah enigma dan Emma masih tak tahu apakah perasaannya terbalas.

Baru ketika Katia mendengar suara mesin yang dinyalakan, dia bergegas ke arah jendela, seolah tersadar ini bukan mimpi yang keji. Katia menatap Emma berkendara keluar dari pekarangan mereka; keluar dari hidup Katia. Terus memperhatikan ketika mobil sewaan itu menghilang di ujung jalan.

Katia baru menyadari dia menangis saat menunduk dan air matanya jatuh. Tangannya meraih ke dalam saku celana, mengeluarkan sebuah cincin berhias permata merah muda yang mungil. Hanya itu yang sanggup dia beli. Dia kira, cincin itu cukup. Cukup untuk meyakinkan Emma agar tidak pergi. Mungkin cincin itu memang cukup, seandainya saja Katia berani mengulurkannya pada Emma dan mengucapkan kata-kata yang telah dia latih diam-diam beberapa bulan terakhir.

"Emma,"bisiknya, "menikahlah denganku."

Sewindu | cerita pendek [ID]Where stories live. Discover now