[ 2 ]

26.3K 3.7K 206
                                    

Anjani mengulas senyum kala kedua matanya menyapu halaman rumah sakit. Disaksikannya aktivitas pagi para pasien. Senam pagi sudah menjadi jadwal rutin Madielief. Jangan membayangkan suasana rapi barisan massa yang meniru gerakan instruktur. Keadaan sangat jauh dari itu.

Anjani bagai menyaksikan waktu istirahat sekolah. Memang, beberapa dari anak-anak itu meniru gerakan sepantasnya, tetapi lebih banyak dari mereka yang asyik dengan kesibukannya sendiri. Menjadikan jari selongsong pistol, melompat-lompat, bernyanyi, berdiam meresapi alam—versi mereka—bahkan ada yang meludahi tangannya sendiri untuk kemudian ditempelkan pada siapa pun yang melintas. Termasuk perawat.

Anjani tertawa. Terkadang, melihat kegilaan membawa seseorang ke puncak kebebasan, di mana mereka tidak tahu batas. Namun, miris. Mengapa beban seberat ini sudah harus ditanggung pada mereka yang masih berusia dini? Ke mana orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab akan masa depan mereka?

"Pagi?" Suara seseorang menyadarkan Anjani.

Anjani menoleh, didapatinya seorang pria mengenakan jas putih dokter yang tengah berjalan ke arahnya. Pria itu berdiri di samping Anjani. "Dokter Anjani?" tanyanya memastikan. Garis kaukasia yang kental menampakkan jelas bahwa pria itu adalah orang Eropa. Sebenarnya, cukup mengejutkan mendengar betapa fasih lidahnya berbahasa Indonesia.

Anjani terkejut sesaat menyadari siapa yang datang. "Oh, Pak Rudy? Maaf, saya baru melihat Bapak hari ini."

Rudy tertawa. "Tak apa. Usah panggil Bapak, saya masih muda," ia terkekeh. "Bagaimana perkembangan risetmu?"

"Sejauh ini baik, Pak. Tersisa satu pasien yang belum berhasil saya dapat informasinya. Jadi, riset saya terhenti."

Rudy van Halen, pemuda berdarah Belanda yang merupakan pendiri sekaligus pemilik Madielief. Menguasai bidang yang sama seperti Anjani. Perbedaannya, ia telah mendapatkan gelar psikiater. Rentang umur Anjani yang hanya berbeda empat tahun lebih muda dari Rudy, memudahkannya berbincang, meski masih seputar Madielief.

"Oh? Saya kira asli kota ini," tangkas Rudy melanjutkan perbincangan.

"Saya besar di provinsi berbeda, Pak. Tapi sejak bekerja, saya pindah domisili untuk sementara. Tidak begitu jauh dari sini."

Menanggapi celoteh ringan sang pemilik rumah sakit, Anjani tidak dapat meluputkan pandangannya dari halaman. Sejak tadi ia merasa ada yang hilang. Fajar, ada. Ardila, ada. Wicita, ada. Musa ... ah. Pantas senam hari ini bagai bertopang sebelah kaki. Pasien prioritas Anjani tidak ada dalam sapuan matanya. Musa tidak turut serta dalam olahraga pagi hari ini.

Menoleh ke arah jendela lantai empat, Anjani melihat remaja empat belas tahun—masih dengan ikatan yang sama seperti kemarin—tengah memandang ke luar. Wajahnya memang tanpa nyawa, tetapi rautnya menyiratkan keinginan untuk ke luar.

Musa melirik Anjani datar.

Anjani tersenyum dan melambai.

Musa berpaling, menjauh dari pandangan. Tanpa senyuman.

Anjani menghela napas. Sulit sekali mencuri perhatian anak laki-laki satu itu. Suasana di dalam rumah sakit dan di halaman begitu kontras. Ah, bukankah ini waktu yang tepat bagi Anjani untuk menarik perhatian Musa? Anjani lantas berpamitan pada Rudy untuk beranjak menaiki tangga menuju lantai teratas rumah sakit. Langkahnya terhenti di depan pintu bertatahkan nomor 204. Bukan karena ia ingin berhenti, melainkan sesuatu mengusiknya. Kelontang halus terdengar dari sebuah ruangan berpintu besi. Dua pintu dari kamar Musa.

Ruangan itu. Kertas putih bertulisan tangan tertempel jelas pada pintu besinya: DILARANG MASUK. Anjani berpikir, mungkin ruangan pribadi Rudy yang hanya berisi perangkat rumah sakit. Namun, mendengar kelontang berbunyi sekali lagi, rasa penasaran Anjani meningkat. Ia meninggalkan kamar Musa, melewati kamar inapnya beberapa langkah, lalu berhenti di depan pintu itu. Kusen digembok. Ruangan di hadapannya benar-benar rapat tanpa ventilasi. Mungkin Anjani berhalusinasi, tetapi ia mencium bau amis darah entah dari mana. Menepis isi pikirannya, Anjani memberanikan diri menyentuh kusen pintu.

"JANGAN!"

Anjani menarik napas, meloncat terkejut dan berbalik. Dipeganginya jantung yang berdebar sambil melotot. "Fajar?!"

Fajar berdiri di hadapannya sekarang. "Kata Mak Lampir, jangan masuk ke sana."
Mak Lampir? Anjani memutar otak sejenak, lalu menggeleng. Mengapa pula ia menanggapi kata-kata bocah kelainan jiwa? "Fajar, sejak kapan kamu di belakang saya?"

"Fajar ikuti Bu Dokter," jawabnya.

"Fajar Putera!" Wanita tua dari ujung tangga memanggil Fajar lantang. Itu Suster Dewi. "Saya bilang jangan pergi dari halaman." Suaranya dalam dan dingin. Wanita itu berjalan mendekat ke arah Fajar dengan alat pecut tergenggam kokoh di tangan kanannya.

Fajar buru-buru menyembunyikan diri di balik tubuh Anjani. Segaris darah membekas di jas putih milik Anjani.

"Itu Mak Lampir," bisik Fajar.

Suster Dewi baru akan mengangkat tangannya, ketika Anjani menahan, "Suster Dewi!"
Suster Dewi menahan tangannya.

"Saya yang ajak Fajar kemari," bohong Anjani. "Tangan Fajar berdarah, jadi saya hendak mengambil antiseptik di kamar saya."

Suster Dewi menatap ketus wajah Anjani. Nada bicaranya kembali mendingin. "Lalu mengapa Anda berdiri di depan pintu itu?"

Anjani terdiam. Pintu besi di belakangnya seakan mendukung Suster Dewi dengan menguarkan suhu dinginnya. Amis darah kembali tercium. Ternyata itu bau darah Fajar. Menunggu timpukan, Anjani menggenggam jemari Fajar lebih erat. Namun, Suster Dewi justru menurunkan tangannya.

"Baik." Wajah keras suster itu tak melunak. "Lanjutkan pekerjaan Anda." Lalu ia berjalan meninggalkan Anjani dan Fajar.

Mengeluarkan tisu dari kantong jasnya, Anjani menuangkan alkohol yang kebetulan ia letakkan di kantung juga. Lalu mengusapkannya pada luka di jari Fajar. Dilihat dari lukanya, Fajar pasti bermain dengan gunting, karena darah segar belum juga berhenti dari sayatan itu.

"Fajar, gunting itu tajam. Tidak boleh ya—" Kata-kata Anjani terputus begitu ia melihat Musa mengintip dari celah kamarnya. Anjani termangu. "—Ah, h-halo, Musa."

Kerasak kecil terdengar dari balik pintu besi.

Musa kembali memundurkan kepalanya.

Lalu hantaman besar mengejutkan Anjani. Musa menendang pintu kamarnya dari dalam. Seolah membalas, kerasak pintu besi berganti kelotak, lalu kusen pintu bergerak-gerak meminta dibuka. Musa menendang pintu lagi. Anjani—seraya menggandeng Fajar—menghampiri kamar Musa. "Musa—"

Musa menendang lebih keras. "Pergi," tukasnya dingin.

"Kamu ingin keluar—?"

"Pergi dari sini!" Musa menendang lagi. Kali ini sampai membuat Anjani dan Fajar termundur.

Tanpa banyak berkata lagi, Anjani menarik Fajar menjauh. Menuruni tangga untuk kembali ke halaman. Napas Anjani terburu. Ada satu hal yang masih menjadi pikirannya kala ia menarik Fajar menjauh dari kamar Musa. Anjani melihat Musa menitikkan air mata di tendangan terakhirnya.

***

MadieliefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang