[ 1 ]

41.1K 4.2K 178
                                    

Sudah bertahun-tahun lalu sejak Indonesia dikatakan merdeka. Lama dikuasai oleh bangsa Belanda, pengaruh Barat masih bertahan di beberapa kota. Wajah-wajah mancanegara jauh berkurang, tetapi meninggalkan jejak di banyak muka keturunannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh tersebut memberi dampak pada kemajuan teknologi, budaya, pendidikan, dan pemerintahan. Meski demikian, masih ada desa-desa yang belum banyak terjamah perkembangan. Keberadaannya barangkali masih belum tercatat dalam peta. Salah satunya adalah sebuah desa di perbatasan antarkabupaten dataran tinggi yang asri dan belum banyak permukiman. Telepon umum tidak banyak di sana. Kantor-kantor pemerintahan masih sebatas balai desa. Penduduk di sana didominasi oleh para petani dan pedagang yang tak terlalu sering bertandang ke kota. Meski begitu, desa tersebut tidak terasing sebegitunya. Meluasnya pendidikan dan pembangunan negara lamat-lamat menghadirkan beberapa tenaga kerja dari kota ke desa tersebut.

Waktu itu tahun 1972. Anjani—dokter muda yang bekerja di rumah sakit ternama seantero kota—mendapatkan surat tugas. Sebuah penelitian dalam rangka mengejar gelar spesialisnya sebagai psikiater. Surat tersebut mengantarkan dirinya ke sebuah rumah sakit jiwa khusus anak dan remaja dengan nama yang baru ia dengar: Madielief.

Tak banyak yang Anjani ketahui tentang rumah sakit jiwa bernama Madielief itu. Satu-satunya informasi yang ia miliki hanyalah keterangan-keterangan yang diberikan oleh kepala bidang psikiatri tempatnya bekerja bahwa rumah sakit jiwa itu masih muda. Baru beroperasi selama empat tahun dan masih mengandalkan uang-uang donasi dari berbagai pihak untuk keperluan sarana dan prasarana. Tak heran jika belum terdengar namanya.

Anjani pernah dilempar ke pedalaman sebelumnya dalam rangka penyuluhan kesehatan. Tugasnya hanya memeriksa kesehatan penduduk setempat. Satu bulan ia dan beberapa rekan bertahan di sana, dan segalanya lancar tanpa kendala. Barangkali pada kesempatan ini tak ada beda, hanya saja kali ini ia dilempar tanpa rekan.

***

Pecut cambuk tetiba saja terdengar dari kamar nomor 204. Suster kurus nan tua bernama Dewi menggenggam seutas cambuk kulit dan melampiaskannya lagi pada punggung seorang remaja laki-laki.

"Suster, jangan!"

Anjani hanya mampu termundur kala tubuhnya ditarik ke luar ruangan, sementara ia masih meneriaki si perawat untuk berhenti.

Suster Dewi memecut lagi.

Musa mengernyit.

Lalu pintu ditutup.

"Mengapa pasien dicambuk?!" protes Anjani masih memegangi telunjuknya yang dua menit lalu digigit oleh Musa.

"Dokter tidak apa-apa?" salah seorang perawat bertanya, mengabaikan pertanyaan Anjani.

"Perlakuan seperti itu tidak akan menyembuhkan nalar mereka!"

"Musa pasien agresif, Dok. Pihak rumah sakit memang menekankan semua pasien untuk tunduk pada aturan. Mereka melanggar, mereka dapat ganjarannya."

"Apa? Mengapa saya baru mengetahuinya?"

Lonceng berdentang. Waktu makan siang. Perawat yang barusan menolong Anjani pamit dan kembali ke pekerjaannya. Satu per satu pintu kamar inap dibuka. Keterbatasan tenaga kerja di Rumah Sakit Jiwa Madielief kerap kali menyebabkan ketertiban meliar di luar kendali.

Kebanyakan dari anak usia 7–10 tahun berlarian menggila. Berteriak nyaring, tertawa, berbisik keras mengganggu gendang telinga. Satu dari mereka terhenti, berakhir menempel pada pinggang Anjani.

"Bu Dokter, mau makan."

Anjani menoleh, didapatinya bocah lelaki berparas menggemaskan menggelayuti setengah tubuhnya. Anjani tersenyum. "Fajar, hari ini makan dengan suster dulu ya. Bu Dokter masih ada urusan. Bagaimana?"

Fajar tak menggubris. Jelas, ia tak waras. Anak itu bahkan tidak akan menerima ucapan Anjani ke dalam telinganya.

"Hormat dulu. Bagaimana hormatnya?"

Fajar tergugah. Ia melepas pelukan dan hormat ala tentara.

Anjani membalas. "Abah menunggu di lantai bawah. Makan dulu, ya."

Fajar mengangguk. Tanpa butuh waktu lama, bocah itu melarikan diri ke tangga seraya meneriaki "Abah" dalam tempo yang lama. Fajar Putera nama bocah itu.

Sudah genap sepekan Anjani berada di rumah sakit ini dalam rangka penelitian dan analisis psikis anak, banyak informasi yang terkuak memilukan dari latar belakang para pasien. Mereka berakhir di sini karena dunia menolak mereka. Lepasnya kasih sayang orangtua adalah alasan terbanyak dari ketujuh puluh pasien yang ada.

Ayah Fajar yang merupakan anggota angkatan bersenjata negara, tewas ketika usia Fajar masih belia. Tidak mampu menelan kenyataan yang ada, Fajar seringkali memanggil nama ayahnya dan berbicara sendiri. Lambat laun, sikap Fajar makin tidak wajar, ia memainkan senapan mendiang ayahnya dan menembakkan sejurus peluru ke rumah tetangga. Fajar berdalih bahwa ayahnya yang membisikkan Fajar untuk melakukan itu. Karena hal tersebut pula, ibu dari bocah delapan tahun itu menyerah dan membawanya ke rumah sakit ini.

Lantai empat kosong. Seluruh pintu terbuka, kecuali ruang 204. Anjani melirik melalui jendela persegi pada pintu, dan disaksikannya kedua tangan Musa telah terikat menyilang, membiarkan lengan baju yang melebihi jari-jarinya tertaut di balik punggung.

Musa mulai terkendali. Mata gelapnya bergerak mengikuti arah tangan Suster Dewi.

Anjani melirik jarinya yang berdarah. Membandingkannya dengan luka memar di pipi Musa, akibat tamparan Suster Dewi.

"Hanya data diri kamu yang belum berhasil saya ungkap, Musa," Anjani berbicara sendiri. Dokter muda yang belum resmi menyangga gelar 'psikiater' itu tenggelam dalam pemandangan di dalam kamar.

Ada sesuatu yang lain dari Musa.

Matanya. Kedua manik gelap remaja itu selalu meneriakkan sesuatu yang menentang segala gejala psikis; kewarasan.

***

MadieliefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang