[ 3 ]

23.4K 3.5K 427
                                    

"Musa, siapa nama panjangmu?" barangkali sudah genap seratus kali Anjani melontarkan pertanyaan itu pada Musa sejak sepekan lalu. Tangan remaja itu tak lagi diikat. Musa kembali diperlakukan normal sebagaimana pasien lain.

"Umurmu ingat?" tanya Anjani lagi.

Musa, masih dengan kedinginan yang sama sejak hari pertama Anjani datang, menatap ke arah jendela tanpa sedikit pun menggubris pertanyaan Anjani. Kantung matanya kian menghitam, kentara tidak tidur beberapa hari belakangan. Anjani kembali melontarkan pertanyaan dasar pada Musa. Ini adalah hari kedelapannya melakukan riset, dan proses takkan berkembang tanpa kerjasama dari Musa. Bahkan, dengan kehadiran Rudy yang sekarang tengah berdiri di belakang Anjani pun anak itu masih berlagak tuli.

Anjani menghela napas berat di atas kursi. "Musa," panggilnya lembut. "Kamu tidak suka ada saya di sini?"

Musa masih diam.

"Saya minta maaf, ya, karena mengganggu," Anjani mengulurkan tangan.

Masih pula tidak ada respons.

Anjani menoleh pasrah ke arah Rudy. Rudy memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu mengangguk, mengisyaratkan Anjani bahwa ia sudah paham permasalahan Anjani selama berkomunikasi dengan Musa. Kedua dokter itu berjalan ke luar, lalu kembali mengunci pintu kamar Musa.

"Musa memang sedikit bicara sejak pertama kemari," tukas Rudy. "Tapi saya tidak mengira dia akan bungkam juga untuk kepentingan ini. Saya belum memeriksa kondisi fisik dan psikisnya lagi. Mungkin pendengarannya mengalami malfungsi?"

Anjani menggeleng keras. "Kemarin dia memberi reaksi kepada saya dan Fajar."

Tampak berpikir, Rudy tiba-tiba mengusulkan sesuatu, "Mari ikut saya."

Keduanya berjalan menuju ruangan di lantai satu, lebih luas dari ruangan lain karena memuat rak-rak berisi dokumen pasien Rumah Sakit Jiwa Madielief. Jumlah pasien hanya tujuh puluh orang. Namun, mengapa dokumen yang tersimpan berlipat kali lebih banyak? Dalam kurun empat tahun, rasanya agak mustahil sebuah rumah sakit jiwa yang baru bertunas telah menampung pasien sebanyak itu.

"Aditya Musa," papar Rudy seraya memberikan Anjani map berisi data diri anak itu. "Beberapa fakta dan data orang tuanya juga tersedia di sini."

Anjani menemukan secarik kertas berisi tulisan tangan.

"Kami menemukan itu di kamar 204, pada hari pertama Musa dirawat inap di sini," Rudy menjelaskan.

Anjani mulai membaca.

Aku dinyatakan gila.

Sehari setelah aku mengunyah serangga, Ayah dan Bunda putus asa. Mereka melepasku, tetapi apa yang mereka lakukan terhadapku adalah kejahatan. Mereka menjerumuskan namaku dalam daftar anak yang menderita sakit jiwa. Padahal mereka tahu bahwa aku sama sekali tidak sakit jiwa.

– Aditya Musa, 1972.

Anjani berkerut kening. Mengunyah serangga? Ia melirik Rudy menanyakan kepastian. Rudy mengangguk. Ini kasus baru baginya. Belum pernah ia mendapatkan pasien dengan keluhan mengunyah insekta. Seketika hati Anjani meragu. Mengingat Musa dengan kedua matanya yang memancarkan kewarasan, tampaknya tidak mungkin remaja biasa berusia tanggung dengan latar belakang keluarga yang baik-baik saja mau mengunyah serangga tanpa pertimbangan. Sepertinya riset kali ini takkan rampung dalam waktu singkat.

"Ada lagi yang bisa saya bantu?" tawar Rudy.

"Saya minta izin, Pak," respons Anjani. "Biarkan Musa berinteraksi di luar ruangan."

***

Barangkali membawa Musa ke luar adalah langkah yang tepat untuk menjinakkan Musa. Di bawah pengawasan Rudy, Anjani, dan Suster Dewi, Musa berjalan tanpa alas kaki menuju halaman. Tangannya diikat biasa—bukan ikat menyilang seperti kemarin—antisipasi bila perilaku agresif anak itu kambuh tiba-tiba.

MadieliefTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang