4. Kenapa Kita Butuh Agama?

23.1K 2.3K 294
                                    

ATURAN MEMBACA 99 DANGEROUS QUESTIONS

1. Dilarang berbangga diri, merasa paling benar, lalu berdebat. Tulisan ini diperuntukkan untuk mereka yang mau mencari kebenaran, bukan untuk mereka yang mencari ladang perdebatan.

2. Feel free to comment. Aku senang membaca komentar-komentar kalian. Itu bentuk dukungan nyata bagi buku ini.

3. Screenshoot bagian favoritmu dan bagikan di Instagram Story dan media sosial favoritmu! Tag aku di @AlviSyhrn.

***

Apakah kita butuh agama?

Sst, jangan ajukan pertanyaan ini di sini. Kau akan diserang jutaan umat beragama.

Maksudku, lihat, deh, negara X. Penduduknya nyaris tak beragama, tetapi mereka tahu cara memperlakukan manusia lain dengan baik. Di sini, hanya tanya masalah gini, langsung diserang. Padahal beragama. Jadi, kenapa kita butuh agama? Bukankah percaya Tuhan saja cukup? Ngapain harus melabeli diri dalam agama?

Sudah, hentikan, kau sedang menyulut bola api raksasa.

Tetapi, aku paham: Kau butuh jawaban. Sangat butuh jawaban.

Sekarang, biarkan aku bertanya kepadamu: Jika kau tak punya agama, apa yang menjadi rujukan hidupmu?

Sebentar, jangan menjawab dulu. Tariklah napasmu dalam-dalam. Pejamkan matamu dan temukan ketenangan dalam hatimu dulu. Lalu, pikirkan ini.

Bayangkan, kau seorang ilmuwan yang sedang melakukan penelitian. Di setiap langkah dan metode yang kau ambil dalam penelitianmu, pastilah ada argumen kuat yang disokong oleh rujukan valid. Rujukan-rujukan ini bisa berupa jurnal ilmiah yang diterima secara akademis dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang masih berlaku secara keilmuan. Dalam mengurus penelitian yang rumit, kau butuh rujukan supaya tak salah jalan.

Sekarang, bayangkan, bila ada seorang ilmuwan yang melakukan penelitian tanpa rujukan ilmiah. Hanya berdasarkan pengetahuannya. Kalau pun ada teori-teori yang dia sebutkan, itu hanyalah hasil penelusuran di Google dalam satu malam. Akankah kau percaya pada hasil penelitiannya?

Mari, ambil contoh lain. Pada hal paling sepele yang kekinian. Berita di Internet.

Bayangkan, kau menemukan sebuah berita di Internet, disebarkan oleh seseorang di media sosial. Akankah kau langsung mempercayainya?

Tentu, tidak semudah itu. Kau akan mengecek catatan masa lalu seseorang ini dalam membagikan berita. Apakah dia sering menyebarkan berita palsu? Jika hoaks adalah nama tengahnya, jelas, tak akan lagi kau percaya pada apa yang dia bagikan. Namun, tetap, kau butuh rujukan valid yang mengonfirmasi keaslian atau kepalsuan berita tersebut.

Nah, lihatlah, pada hal sesepele berita di Internet, kau butuh rujukan valid; agar tidak terperangkap dalam jebakan hoaks.

Lalu, pada hal sekompleks kehidupan, kau tak butuh rujukan?

Ya, terserah orang itu mau ambil rujukan apa nggak. Tiap orang bebas menjalani hidupnya masing-masing. Mereka punya alasan masing-masing.

Jadi, apakah kau melegalkan para pencuri? Meskipun pencuri ini mengalami kekurangan finansial dalam hidupnya? Apakah kau melegalkan pelaku pedofil? Meski dia telah mengalami kelainan ini sejak lama? Apakah kau melegalkan kesalahan-kesalahan yang merugikan manusia sekitar? Dalam agama, menzalimi orang lain adalah perbuatan yang dilarang. Bagaimana tanpa agama?

Ya, terserah mau melakukan apa pun, selagi mereka punya alasan di balik itu. Yang penting nggak merugikan orang lain. Pencuri dan pedofil, kan, jelas merugikan orang lain.

Terserah mau melakukan apa? Jadi, apakah kau melegalkan orang-orang yang menahan lapar, hingga kesakitan, hanya untuk menjaga berat badannya? Apakah kau melegalkan orang-orang yang mengonsumsi narkoba karena itu satu-satunya cara mereka lari dari masalah? Apakah kau melegalkan orang-orang yang menyileti pergelangan lengannya karena mereka menemukan kenikmatan dalam menyakiti diri sendiri? Dalam agama, menzalimi diri sendiri adalah perbuatan yang dilarang. Bagaimana tanpa agama?

Itu, kan, jelas-jelas salah.

Tetapi, bukankah kau berpendapat: Terserah mau melakukan apa pun, selagi punya alasan?

Mereka punya alasan. Bisakah kau melegalkan perbuatan mereka? Ataukah, selama ini, pada hal-hal semacam ini, kau terinspirasi dari peraturan agama yang kau tolak mentah-mentah?

Secara sains, perbuatan tersebut merugikan kesehatan mereka.

Bicara soal sains, lalu, bagaimana dengan orang-orang yang hidup sebelum sains dan teknologi berkembang seperti ini? Bukankah mereka tak tahu informasi ini? Jadi, jika kau tinggal sebelum sains dan teknologi berkembang, akankah kau melegalkan perbuatan mereka? Ataukah, selama ini, pada hal-hal semacam ini, kau terinspirasi dari peraturan agama yang kau tolak mentah-mentah?

Dan, hal paling mendasar dari beragama tak hanya terletak pada bagaimana kau memperlakukan orang lain dan dirimu sendiri, tetapi juga tentang bagaimana kau menyembah Tuhan yang menciptakanmu. Sudahkah kau menyembah-Nya dengan benar? Sesuai tuntunan yang diperintahkan oleh-Nya? Atau, kau hanya mengikuti apa yang orang-orang katakan kepadamu? Sudahkah kau merujuk pada petunjuk Tuhan Pencipta Alam Semesta? Ingatkah kau untuk selalu memohon petunjuk dari-Nya, sebab hanya Dia yang dapat memberi petunjuk?

Pada akhirnya, kita semua tahu: Kita akan mati.

Jika kau bertanya, "Apa yang terjadi setelah kematian?"

Orang-orang tak beragama akan menjawab, "Ketika kamu mati, ya, sudah, itu akhir hidupmu. Kita sudah mati, tidak mungkin bisa dibangkitkan lagi."

Sayangnya, mereka mengatakan itu tanpa rujukan.

Namun, orang-orang beriman akan menjawab sesuai rujukan valid yang ada.

Sekarang, aku bertanya kepadamu:

Apakah sama orang-orang yang memiliki rujukan dan tidak memiliki rujukan?

Siapa yang lebih kau percaya?

Namun, kuingatkan satu hal: Tidak berhak bagi kita untuk merasa paling benar. Tuhan yang Maha Esa masih memberi waktu untuk mereka. Kita tidak pernah tahu bagaimana akhir kehidupan orang-orang tak beragama. Bisa jadi, di akhir hidup mereka, mereka berusaha mencari kebenaran dan mencoba membuka hati, dan Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang memberi petunjuk untuk mereka.

We never know. []

***

jadi, apa yang kau rasakan setelah membaca ini?

mudah-mudahan bermanfaat.

btw, pakai Instagram sama LINE nggak? Supaya bisa selalu keep in touch, follow Instagram-ku @AlviSyhrn dan add LINE-ku @ryh5686l (pakai @ ya. Huruf terakhir itu "L" kecil).

terima kasih sudah membaca!

sampai jumpa di episode berikutnya.

-Alvi Syahrin-

***

99 Dangerous Questions; yang, diam-diam, kau penasaran jawabannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang