Hypozeuxis

13.1K 2.1K 99
                                    


"Kau hampir saja membunuhku."

Harry Hawthrone dan Adam Glandwin tengah menyusuri jalan panjang menuju istana. Keduanya berhasil masuk meskipun harus meyakinkan para penjaga gerbang dengan susah payah. Ada dua penjaga yang mengawal mereka dan banyak penjaga lainnya yang tersebar di jalanan istana. Dia ingat, dulu istana selalu seperti ini. Saat dia bermain dulu, banyak pengawal yang menyapanya. Tapi sekarang itu sudah berbeda.

"Maaf, tapi sungguh, aku tidak berniat menyebut nama belakangmu. Hanya ingin menyebut nama depanmu."

"Pokoknya apa pun itu, jangan sampai kau menyebut nama belakangku lagi, terutama di sini. Kau akan menerima akibatnya jika itu tersebar."

"Ya aku tahu hukumannya," dia mendesah panjang.

Keduanya kemudian disuruh untuk menunggu di depan pintu istana. Seingat Harry, pintu istana tidak berubah. Masih pintu besar dari kayu bubinga dengan ukiran rumit dan berplitur terang. Sekilas tidak terlalu banyak perubahan di bagian depan istana. Tapi Harry Hawthrone yakin, di dalam sudah banyak berubah karena seingatnya dulu istana sempat terbakar.

"Apa menurutmu mereka akan percaya pada kita?" Harry terdengar ragu.

"Kau tampak menyesal kita datang ke sini."

"Tidak juga," sangkalnya. "Sebagian ya aku menyesal," aku Harry.

"Mereka akan percaya. Lagi pula namamu Harry Austin. Dan jangan bersikap mencurigakan jika kau tidak ingin membuka identitasmu sendiri."

"Tapi bagaimana dengan mataku ini? Mateo mengatakan hal aneh tentang mataku."

Harry Hawthrone mengerjapkan matanya beberapa kali. Ucapan Mateo tempo hari mengganggunya. Bagaimana jika itu memang betul. Bagaimana jika memang warna matanya ini langka dan hanya milik keluarga kerajaan. Bagaimana dia bisa menyembunyikan jati dirinya? Sekarang ini terasa rumit baginya.

"Jujur aku memang belum pernah bertemu orang lain dengan warna mata sepertimu. Tapi itu bukan masalah, kita tahu dunia ini luas. Berpikirlah bukan hanya kau dan keluarga kerajaan yang punya."

Adam Glandwin ada benarnya. Harry memang terlalu takut jika dia ketahuan. Rasanya tidak siap harus menghadapi hal-hal yang dulu baginya hal biasa sekarang terasa asing. Jika bukan karena peristiwa ini dia tidak akan tahu kapan dia akan mengumpulkan keberanian memasuki istana lagi. Dia sangsi akan bisa tidak gugup jika bertemu dengan kakek dan bibinya secara langsung—itu pun jika mereka benar-benar bisa bertemu.

Sesaat keduanya diam sembari menunggu, Julio Harding datang dengan dua pengawal yang tadi menemani mereka. Keduanya langsung bersikap tegak dan memberi hormat. Harry berusaha keras untuk tidak terlihat gugup. Sekarang dia bisa melihat jelas wajah suami bibinya itu. Haruskah Harry menyebutkan betapa tampannya dia?

"Kalian berdua yang ingin menemuiku? Ada apa?" suara bariton milik Julio membuat kegugupan Harry kembali melanda.

Adam menyikut Harry, menyuruhnya untuk berbicara. Harry melirik Adam dengan tatapan kesal. Julio memerhatikan mereka berdua.

"Saya masih setia menunggu apa yang ingin kalian sampaikan," ujarnya.

"Yang Mulia," Harry mulai memberanikan diri untuk berbicara.

"Cukup panggil saya Panglima, karena seperti itulah jabatan saya di sini."

Adam Glandwin harus mengakui jika Julio Harding orang yang sangat berkharisma serta rendah hati.

"Baiklah," dia menarik napasnya sekali lagi. "Saya ingin menyampaikan apa yang saya lihat pagi tadi. Kejadian aneh yang entahlah saya tidak tahu apakah ini benar-benar bisa disebut penting atau tidak, tapi saya berjanji apa yang saya katakan bukan kebohongan. Teman saya ini melihatnya juga!" nada suara Harry terdengar campur aduk, antara gugup dan terdesak, tetapi dia jujur.

METANOIAWhere stories live. Discover now