Sarjana Pengangguran

122 2 0
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Menurut gue, Karyawan adalah sekelompok manusia yang dipekerjakan oleh lembaga, instansi atau perusahaan dalam batasan waktu tertentu. Mereka bekerja sesuai dengan aturan yang sudah di tetapkan. Berangkat pagi pulang petang. Bawa bekal dari rumah. Di kantor duduk manis sambil baca koran. Gue adalah salah satu mantan karyawan yang pernah mengalami hal serupa. Awal masuk kantor rasanya seneng banget. Gue yang notabenya anak kampung, merantau di kota besar. Mereka menganggap kerja kantoran itu sudah wah dan luar biasa.

Banyak orang yang mengira menjadi karyawan itu enak. Kita kerja setiap bulanya dapat gaji. Padahal menurut gue sama aja. Menjadi seorang karyawan tidak semudah yang lho bayangkan. Gue harus mentaati seluruh peraturan kantor. Semuanya di atur dalam berbagai macam kebijakan. Awalnya gue bangga menjadi seorang karyawan. Penampilanya sungguh mempesona dengan memakai seragam putih kotak – kotak dan satu buah dasi berwarna merah yang menggantung di bawah leher. Tak lupa gue memakai jas berwarna hitam supaya kelihatan kece. Semua yang gue pakai hanya sebagai formalitas belaka. Ada kalanya gue merasa bosan. Setiap hari gue berteman dengan satu buah komputer tua. Komputer ini sudah selayaknya diganti dengan komputer yang baru. Tapi, gue harus sabar. Biaya pengadaan komputer yang baru belum di ACC sama Pak Bos. Beruntung gue punya Bos yang hatinya lunak seperti baja. Sebagai seorang karyawan harus patuh dan taat kepada Bos. Anehnya, Bos gue selalu memberikan perintah – perintah yang tak masuk akal. Sebagai contoh, suatu saat gue pernah disuruh ngirim email pada saat pukul 00.00 WIB. Padahal, saat itu gue lagi enak – enaknya tidur. Terpaksa gue harus melaksanakan perintah itu. Kalau saja gue tidak mentaati perintahnya, bisa jadi keesokan harinya gue akan kena SP-1.

Banyak karyawan yang tidak betah berlama – lama kerja di kantor ini. Sekuat – kuatnya gue. Alhamdulillah gue mampu bertahan selama tiga tahun bekerja di kantor ini. Rencana untuk keluar sudah gue agendakan sejak satu tahun silam. Semua rencanaku gagal, karena gue harus melanjutkan kuliah. Gue masuk kuliah jurusan Desain Komunikasi Visual di Kampus UMAHA Sidoarjo. Gue ngambil kelas karyawan. Pagi kerja, malamnya gue kuliah.

Sejak kecil gue tidak pernah bercita – cita kepingin menjadi seorang karyawan. Cita – cita gue pingin menjadi seorang penulis dan seorang designer yang prestisius di bidangnya. Terpaksa gue harus menerima keadaan ini demi masa depan gue yang lebih baik. Saat ini aku merasakan zona yang paling nyaman. Agenda pekerjaan yang gue lakukan setiap hari selalu sama. Kadang gue merasa monoton dan sedikit bosan. Semua yang kita kerjakan harus memenuhi target tertentu. Biasanya karyawan kantoran paling sibuk di awal bulan dan di akhir bulan. Pada saat pertengahan bulan, banyak sekali karyawan yang nganggur. Terkadang ada juga yang ketahuan nonton film di you tube, bahkan ada juga yang main video game.

Hari yang paling menyenangkan bagi seorang karyawan kantoran adalah ketika Pak Bos sedang bepergian ke luar kota, biasanya Pak Bos ijin tugas luar selama 3 hari. Nah, saat itulah kita merayakanya dengan mengadakan acara makan besar. Selama Pak Bos tidak ada, kondisi kantor seperti pasar loak. Mereka bisa bekerja dengan enjoy sambil ngegosipin artis – artis ternama Indonesia. Setelah Pak Bos pulang ke kantor, suasana kembali sepi. Semuanya terlihat serius dengan pekerjaanya masing – masing.

Sebelum gue bercerita lebih lanjut, alangkah baiknya gue memperkenalkan diri. Kenalin, nama gue Slamet Sentosa. Lebih akrab di panggil "Mas Tosa". Kalau lho pikir mungkin nama gue terdengar unik. Coba bayangin aja, setiap kali ada orang yang lagi sambutan, pasti di akhir sambutanya di tutup dengan kalimat seperti ini : "Semoga kehidupan anda ke depan slamet, sentosa dan sejahtera".

Di kantor, gue di kenal dengan sosok yang pendiam tapi bisa ngelucu. Kenapa gue bisa lucu?. Mungkin pertanyaan ini terdengar absurd. Gue bukan seorang komedian dan gue juga bukan seorang pelawak. Ngomong – ngomong pelawak sama komedian bedanya dimana?. Entahlah. Yang pasti gue bisa lucu karena sering di buat bahan pembullyan teman – teman se-kantor.

Banyak yang mengira gue ini ponakanya limbad. Padahal itu salah besar. Sebenarnya gue ini ponakanya limbah. Paman gue bekerja di bidang industri perlimbahan. Dia bisa mengolah limbah plastik menjadi cinderamata unik. Sebut saja namanya Cak Kamto. Begitu panggilan akrabnya. Seorang pria bertubuh kekar ini memiliki kumis tebal dan rambut gondrong setinggi bahu. Sekilas wajahnya tampak menyeramkan. Semua anak kecil pasti takut ketika melihat Cak Kamto marah. Sebenarnya dia bukan tipe orang yang pemarah. Dia adalah sosok seorang ayah yang baik hati, hanya saja nada bicaranya yang terlalu tinggi sering membuat bingung orang, antara marah atau tidak.

Nyokap dan Bokap gue keduanya sudah meninggal. Boleh di bilang gue ini mantan anak yatim piatu. Selama tiga tahun gue tinggal di rumah Cak Kamto, paman gue. Rumah Cak Kamto tergolong rumah yang sangat mewah. Disekelilingnya terdapat puluhan rumah kardus yang berjejer dari arah pasar menuju TPS alias tempat pembuangan sampah. Setiap hari gue melewati jalur neraka. Jalur ini hanya bisa dilewati oleh lelaki berhidung belang. Sayangnya hidung gue gak ada belangnya. Di sepanjang jalan terdapat pemandangan gunungan sampah. Aromanya sangat wangi bagaikan jamban yang tidak disiram selama satu abad. Mau gak mau gue harus melewati jalur ini.

Cak Kamto dulunya adalah seorang pegawai bank yang cukup terkenal di Kota Surabaya. Mungkin lho masih ingat kasus Bank Century di era SBY. Semenjak kasus itu mencuat, kehidupan Cak Kamto yang awal mulanya bahagai, aman, damai dan sentosa menjadi kalang kabut. Sedihnya, Cak Kamto harus pensiun di usia muda tanpa ada uang pesangon yang ia terima. Selama satu bulan Cak Kamto menjadi pengangguran. Dia sudah berusaha kesana kemari mencari lowongan pekerjaan, namun tak satupun ia dapatkan. Kalau gue sendiri menyebutnya dengan istilah "Gembel Berdasi". Lantas, Cak Kamto bingung mau melamar kerja dimana lagi.

Gembel BerdasiWhere stories live. Discover now